Dibangun Tahun 1886, Bekas Rumah Bupati Cianjur Ini Jadi Tempat Terbentuknya Tentara Peta
Dulu banyak peristiwa penting yang terjadi di bangunan kuno ini, mulai dari perumusan tentara Peta sampai penyelamatan nyawa lansia, anak-anak dan perempuan.
Dulu banyak peristiwa penting yang terjadi di bangunan kuno ini, mulai dari perumusan tentara Peta sampai penyelamatan nyawa lansia, anak-anak dan perempuan.
Bangunan bergaya kuno khas abad ke-19 ini dulunya merupakan rumah Bupati Cianjur ke-10, Raden Aria Adipati Prawiradiredja. Oleh masyarakat dan kalangan pencinta sejarah, bangunannya dikenal dengan nama Bumi Ageung Cikidang.
Gaya khas yang ditonjolkan justru bukan ciri kolonial, melainkan khas nusantara dengan dinding depan yang terbuat dari kayu termasuk motif-motif ukirannya berbentuk tradisional.
Ada banyak kisah di sini, terutama yang berkaitan dengan perjuangan para pejuang kemerdekaan yang merumuskan pembentukan tentara Peta atau Pembela Tanah Air.
Selain itu, rumah ini juga menjadi tempat menyusun strategi untuk menghalau penjajah agar tidak menyerang lingkungan sekitar.
Penamaan Bumi Ageung Cikidang konon memiliki arti rumah seorang pembesar (bupati) yang letaknya di wilayah Cikidang, Solokpandan, Cianjur. Berikut selengkapnya.
Mengutip laman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur, rumah ini dibangun pada 1886. Saat itu, sang bupati ke-10, Raden Aria Adipati Prawiradiredja menjadikannya sebagai tempat beristirahat.
Pemilihan lokasi bukan tanpa alasan, karena dahulu wilayah ini termasuk kawasan yang asri dan tenang. Wilayahnya juga termasuk masih kampung, dan penjajah tidak melakukan konsentrasi penyerangan di wilayah ini.
Raden Aria Adipati Prawiradiredja menjadi salah satu bupati dengan masa jabatan yang lama yakni 48 tahun, sejak 1862 sampai 1910. Bumi Ageung selanjutnya diwariskan kepada putrinya yang bernama Raden Ayu Tjitjih Wiarsih.
Ada banyak benda bersejarah yang ditampilkan di bangunan ini seperti perabotan dapur, lemari, meja dan kursi. Namun sayangnya barang yang masih tersisa sejak masa lampau hanya kurang dari 50 persen.
Kerusakan barang terjadi saat masa penjajahan Jepang, karena mereka menganggap rumah ini sebagai rumah persembunyian sekaligus mengancam sebagai tempat perumusan strategi perang.
Di tahun 1940-an, bangunan ini kemudian dirusak Jepang sehingga sebagian benda-benda di sini mengalami kerusakan. Penghuninya mengungsi ke wilayah Kuningan dan selatan Cianjur. Walau begitu, tak sedikit warga yang menyelematkannya sehingga masih terpajang hingga sekarang.
Jepang sempat mengendus adanya aktivitas terlarang oleh mereka, karena ada upaya dari para pejuang yang memberontak.
Sebenarnya, tempat ini sempat menjadi lokasi perumusan tentara Peta (Pembela Tanah Air) sebagai produk militer Jepang. Gerakan ini kemudian memberontak terhadap Jepang, dan melakukan penyerangan secara gerilya. Kala itu perumusnya adalah Gatot Mangku Pradja.
Walau begitu, setelah tahun 1946, lokasi bangunan sempat terkendali walau di tahun sebelumnya Bumi Ageung Cikidang sempat akan dibom oleh militer penjajah karena dianggap sarang pemberontak.
Kisah lain dari rumah ini adalah pernah dijadikan sebagai tempat perlindungan bagi perempuan dan anak di masa kerusuhan etnis di Cianjur pada 1962 sampai 1963.
Ketika itu terjadi konflik yang cukup besar antara etnis Tionghoa dan Pribumi, karena hasutan dari pihak yang tak bertanggung jawab.
Akibatnya kedua belah pihak saling menyerang, padahal sebelumnya warga Tionghoa dan Cianjur saling membantu dalam menopang ekonomi.
Karen adanya kerusuhan, rumah ini pernah dijadikan lokasi yang aman bagi kalangan perempuan, anak-anak dan lanjut usia dari penyerangan.
Bumi Ageung Cikidang telah resmi diakui sebagai Warisan Budaya Nasional sejak 2010 lalu. Penetapannya dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kala itu, dengan pertimbangan nilai bangunan dan kisah sejarah dalam merebut kemerdekaan.
Saat ini, bangunan dijadikan sebagai wisata edukasi dan sejarah lewat museum dengan menampilkan sisa barang-barang milik bupati Cianjur tersebut.
Museum ini juga terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya, dan lokasinya persis di Jalan Mochamad Ali, Kelurahan Solokpandan.
Terkait pengelolaan, dilakukan langsung oleh keturunan generasi kelima Raden Adipati Aria Prawiradiredja II, yakni Rachmat Fajar.
Terdapat sejumlah tahapan pembangunan rumah Siwaluh Jabu yang dibantu dukun.
Baca SelengkapnyaKunjungan ini untuk melihat sejumlah proyek infrastruktur fisik di Ibu Kota Nusantara.
Baca SelengkapnyaSaat ini petugas sudah disiagakan di kota Pangkalpinang untuk memantau wilayah rawan bencana.
Baca SelengkapnyaSiapa sangka, kediaman tersebut sarat benda-benda unik nan antik.
Baca SelengkapnyaPenampakan istana bawah tanah milik pria asal Mojokerto, Jawa Timur yang dibangun selama 23 tahun.
Baca SelengkapnyaAda peran Sunan Gunung Jati dari Cirebon dalam pendirian Kerajaan Banten
Baca SelengkapnyaAkibat banjir, masyarakat beraktivitas menggunakan paruh karena akses jalan tidak bisa dilalui.
Baca SelengkapnyaTepat di tengah-tengah bangunan candi terdapat sebuah sumur.
Baca SelengkapnyaKini kampung di sekitar rumah Abah Jajang jadi keren.
Baca Selengkapnya