Bos MIND ID Beberkan 3 Fakta Vale SA Investasi Asal-asalan di Indonesia
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso menilai, Vale SA tidak berniat menggelontorkan investasinya di Indonesia.
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso menilai, Vale SA tidak berniat menggelontorkan investasinya di Indonesia.
Bos MIND ID Beberkan 3 Fakta Vale SA Investasi Asal-asalan di Indonesia
Tiga Fakta Vale SA Investasi Asal-asalan di Indonesia
Direktur Utama MIND ID Hendi Prio Santoso menilai, Vale SA selaku induk usaha PT Vale Indonesia Tbk tidak berniat menggelontorkan investasinya di Indonesia.
Dia pun membeberkan tiga bukti dari penilaiannya dalam proyek investasi tambang nikel.
Pertama, Hendi menyinggung rencana pengembangan Blok Sorowako di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Adapun dalam kontrak karya (KK) tertera kewajiban Vale Indonesia melakukan pengembangan kapasitas produksi sebesar 25 persen.
"Akan tetapi sejak 2014 sampai terakhir itu dua kali gagal dilakukan, dan Vale mengajukan usulan substitusi dari kewajiban berupa tambang nikel dan HPAL di Sorowako. Jadi tidak mengembangkan RKEF lagi, tapi mengajukan subtitusi menjadi HPAL," kata Hendi di hadapan Komisi VII DPR RI, Selasa (29/8).
Hendi melaporkan, pasca pengembangan smelter nikel berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) tak jadi dilakukan, Vale Indonesia lantas menawarkan teknologi hidrometalurgi atau HPAL yang kini masih tahap studi dan persiapan.
"Ini harus dicatat, karena ini terkait dengan syarat dalam KK yang harus diikuti," tegas Hendi.
Kedua, Hendi juga menyoroti kewajiban pengembangan tambang nikel dan HPAL di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara yang mengalami perubahan usulan.
Namun mengalami perubahan mitra dalam tahap detail engineering design (DED) dengan kapasitas proyek sebesar 120 kilo ton per tahun (KTPA).
Menurut dia, itu menunjukan Vale SA kurang menunjukan komitmen investasi lantaran hanya akan meminta call option.
Artinya, Vale tidak memberikan pernyataan dari awal proyek, namun meminta pilihan seandainya proyek selesai dilakukan pihak mitra, mereka bisa membeli 30 persen saham dari penyertaan yang dilakukan.
"Ini menurut kami kurang optimal karena kurang jelasnya gambaran keekonomian yang diterima. Yang jelas mungkin hanya menjadi sokongan terhadap smelter baru yang akan dibangun oleh mitra, tapi berapa nilai tambahnya tidak jelas bagi kami," papar Hendi.
Ketiga, Hendi mencermati usulan tambang nikel dan RKEF di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Menurutnya usulan tersebut juga tidak optimal karena ada kesan subsidi silang dari sektor hulu ke midstream.
"Lalu sumber energi yang diproyeksikan dari LNG, bukan sumber energi termurah yang bisa dilakukan untuk pengembangan proyek smelter RKEF ini. Juga sebagai catatan, belum adanya komitmen kargo, alokasi yang jelas untuk proyek ini," paparnya
Hendi berharap pemerintah bisa melakukan kajian dan penilaian terhadap tiga kewajiban Vale SA yang tertuang dalam kontrak karya, namun diabaikan
"Sehingga apabila komitmen pengembangan tidak terpenuhi, maka sesuai dengan aturan dalam KK maka perlu dilakukan relinquishment di area terkait dengan proyek," pungkas Hendi.