Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Priyo Budi Santoso

Profil Priyo Budi Santoso | Merdeka.com

Pria  kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 30 Maret 1966 ini memilih Golkar karena sejalan dengan pemikirannya. Loyalitasnya sebagai kader pun sudah tak diragukan lagi, bertahun-tahun ia mengabdikan diri pada partai berlambang pohon beringin itu.

Semasa mahasiswa, Priyo membekali dirinya dengan aktif di berbagai forum dan kelompok diskusi. Pada saat itu, di berbagai kampus besar di Indonesia sedang menjamur lahirnya kelompok-kelompok diskusi seperti di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar, dan Padang.

Untuk ukuran seorang aktivis dengan setumpuk kegiatan, prestasi akademisnya terbilang cukup cemerlang. Indeks prestasinya hampir mendekati cum laude, Priyo pun lulus dengan pujian. Ia yakin bahwa seorang aktivis mahasiswa merupakan tunas pemimpin bangsa masa depan, oleh karena itu harus dibekali dengan ilmu yang memadai serta pengetahuan yang luas. Tanpa semua itu, kepemimpinan akan kosong dari nilai-nilai, miskin visi, hampa substansi dan tidak berkarakter.

Priyo juga menyuarakan cita-citanya lewat tulisan. “Tumbangnya Sebuah Dinasti” menjadi salah satu tulisannya yang menggugat peran mahasiswa yang dinilai semakin nihil dalam pentas pergerakan dan perubahan sosial di tanah air saat itu. Ibarat dinasti yang mewarisi sejarah, seharusnya mahasiswa selalu tampil di garda terdepan bahkan siap menjadi martir untuk setiap jengkal perubahan zamannya.

Karyanya yang lain adalah buku berjudul “Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural”. Buku terbitan Rajawali Pers yang telah beberapa kali naik cetak ini mendapat pujian dari Prof. Dr. Moeljarto Tjokrowinoto (alm), Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM sebagai buku yang paling lengkap mengungkap gurita politik birokrasi pada zaman Orde Baru. Selain buku, ratusan artikel, makalah, dan opini yang tersebar di berbagai media massa, buku ilmiah, seminar, kajian, dan diskusi telah dihasilkan ayah empat anak ini.

Sebagai politisi muda, Priyo menyadari keterbatasan wawasannya. Oleh karena itu, alumni Fisipol UGM ini tak henti-hentinya belajar, termasuk pada para pendahulunya, seperti Proklamator Bung Karno dan mantan Presiden Soeharto. Kedua tokoh itu di mata Priyo telah banyak berjasa dalam perjalanan republik ini. Bung Karno, tutur mantan Direktur Eksekutif Cides ini, memiliki keberanian yang tidak dipunyai banyak orang. Sementara Pak Harto adalah sosok pendiam tapi banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa.

Pria yang pernah gigih mengawal duet SBY-JK ini tak gentar menghadapi rintangan dan halangan. Sebagai politikus, Priyo termasuk pribadi yang memiliki insting politik yang kuat, ia pandai menempatkan diri pada posisi gerak yang tepat. Meski demikian, Priyo tak ingin menjadi orang yang ambisius, ia tetap ingin hidupnya mengalir bak air, namun kalaupun ada gelombang besar menghadang, ia tak gentar menghadapinya.

Riset dan analisa oleh Galih Setyo P.