Pelacuran yang tak pernah mati
Merdeka.com - Pelacuran dan bisnis esek-esek tak pernah mati. Walau Pemerintah dan aparat keamanan giat melakukan razia, menutup tempat pelacuran bahkan menggusur lokalisasi. Apalagi di Bulan Suci Ramadan, razia gencar dilakukan setiap malam.
Para kupu-kupu malam ini ditangkapi dan dinaikkan truk. Mereka dibawa ke dinas sosial dan diberi pengarahan. Lalu dengan tindakan itu, matikah pelacuran?
Tidak. Beberapa hari mungkin berhenti, tapi pelacuran tak pernah mati. Dia akan menemukan jalan untuk tetap beroperasi.
Di hotel bintang lima, hingga gubuk-gubuk kumuh sepanjang rel kereta api, para wanita malam tetap menjajakan diri. Menukar 'cinta' dengan lembar rupiah.
Jika hanya dengan razia pelacuran sudah diberantas, maka tak akan timbul masalah. Cukup kerahkan saja Satpol PP sebanyak-banyaknya. Sayangnya tak bisa seperti itu. Para wanita butuh uang, sementara pria hidung belang butuh kepuasan.
Ada permintaan dan ada penawaran, hukum ekonomi inilah yang membuat pelacuran terus hidup. Walau agama dan semua kepercayaan tidak ada yang melegalkan pelacuran.
Bisnis pelacuran sama tuanya dengan peradaban manusia. Pelacuran di Jakarta sudah muncul sejak zaman VOC di abad 17. Mulanya berdiri di kawasan Kota Tua di sekitar Stasiun Jakarta Kota. Lalu berkembang ke Kawasan Glodok dan Mangga Besar.
Setelah kemerdekaan, muncul di Gang Hauber atau Gang Sadar. Kemudian Planet di kawasan Senen, Jakarta Pusat dan sepanjang rel kereta api Gunung Sahari.
Bang Ali kemudian membangun Kramat Tunggak sebagai satu-satunya lokalisasi di Jakarta. Tetapi kemudian Kramat Tunggak dibubarkan oleh Sutiyoso. Sejak itu para wanita malam kembali ke jalanan.
Bukan hanya di Jakarta, hampir setiap kota memiliki lokalisasi legendaris. Bandung dengan Saritem, Yogyakarta dengan Pasar Kembang alias Sarkem, dan Surabaya dengan Gang Dolly.
Langkah pemerintah Kota untuk memulangkan para pelacur itu terus mengalami kesulitan. Tak mudah mengubah pola pikir wanita yang biasa bekerja mudah menjadi harus banting tulang untuk mendapatkan uang. Sama sulitnya mengubah lelaki hidung belang menjadi lelaki alim yang memilih beribadah daripada mengunjungi lokalisasi.
Di bulan Ramadan, prostitusi tetap berjalan. Kebutuhan ekonomi jelang lebaran memang meningkat. Para wanita ini butuh uang lebih untuk dibawa pulang kampung. Mereka tidak bisa libur bekerja. Begitu juga para pria hidung belang yang tetap tidak mampu mengekang nafsu nya di bulan puasa. Kalau begini siapa yang harus disalahkan? Mungkinkah pelacuran benar-benar bisa diberantas?
Simak ulasan lengkap soal pelacuran yang tidak pernah mati ini di tematik merdeka.com hari ini
(mdk/hhw)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Suami Ajak Balita Saat Jajakan Istri ke Pria Hidung Belang
Baca SelengkapnyaSeorang pria di Bali menyematkan wanita dari godaan dua pemotor ugal-ugalan.
Baca SelengkapnyaPria ini memperlihatkan suasana IKN di malam hari yang begitu indah. Banyak pepohonan dan lampu-lampu yang bersinar terang.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Mayat perempuan ditemukan di sebuah koper oleh warga sekitar pinggir aliran sungai Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat
Baca SelengkapnyaSikap Manajer hotel ke tukang sapu jalan yang kehujanan banjir pujian warganet. Berikut informasinya.
Baca SelengkapnyaMerdeka.com merangkum informasi tentang 8 tempat wisata di Lembang yang patut dijelajahi untuk liburan keluarga di akhir pekan.
Baca SelengkapnyaPeta wisata Bali dapat menjadi penuntun Anda saat hendak berlibur ke sana bersama keluarga, sahabat, ataupun sendirian.
Baca SelengkapnyaPolres Malang langsung menggelar olah TKP di lokasi kejadian untuk mengetahui penyebab kematian korban.
Baca SelengkapnyaKetika kebakaran kedua balita malang tersebut sedang tertidur dengan kondisi rumah dikunci dari luar
Baca Selengkapnya