Komnas HAM: Pelaku Pencemaran Nama Baik Tidak Boleh Dipidana
Merdeka.com - Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, M Choirul Anam, mengatakan, pelaku pencemaran nama baik tidak boleh dipidana oleh hukum yang berlaku.
“Kalau ada orang yang tersinggung reputasinya, tercemar reputasinya, ya gugat saja di perdata. Itu mekanismenya,” kata dia, ketika memberi paparan materi dalam kuliah umum hukum hak asasi manusia bertajuk “Mekanisme Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat” yang disiarkan di kanal YouTube FHUB Official, dan dipantau dari Jakarta, Jumat (29/10).
Akan tetapi, dia melanjutkan, di Indonesia, pemerintah justru memfasilitasi penindakan pelaku pencemaran nama baik melalui jalur pidana dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal 27 ayat (3).
Pasal tersebut memuat salah satu perbuatan dilarang, yakni dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Atas perbuatan tersebut, berdasarkan pasal 45 ayat (1) UU ITE, seseorang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memang mengatakan bahwa kebebasan berekspresi atau berpendapat bisa dibatasi, kata dia. Pembatasan tersebut tertuang pada pasal 19 UU Nomor 12/2005.
Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 12/2005 membahas mengenai pembatasan hak kebebasan berpendapat dengan tujuan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, atau moral masyarakat.
“Pembatasan kebebasan berekspresi ini dipraktikkan (oleh pemerintah, red.) tetapi buruk sekali. Buktinya, banyak korban UU ITE,” tutur dia.
Ia berpandangan bahwa di Indonesia, pasal pembatasan kebebasan berpendapat telah ditafsirkan secara berlebihan oleh para pembuat aturan. Seharusnya, yang menjadi substansi dari aturan adalah kebebasan berpendapat yang harus dikelola, diatur, dan dibatasi.
“Tapi, karena saking ketatnya pembatasan, yang terjadi bukan mendiskusikan kebebasan berpendapat, tapi mendiskusikan pembatasan itu, sehingga tidak ada makna kebebasan dalam konteks hak asasi manusia,” kata dia.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Salah satu yang disorot soal netralitas aparat selama mengawal jalannya Pemilu tahun ini.
Baca SelengkapnyaAVISI: Perlu Bersama-sama Temukan Solusi Melawan Pembajakan Konten Ilegal
Baca SelengkapnyaMerdeka.com merangkum informasi tentang pantun pembukaan ceramah lucu yang bisa bikin jemaah terhibur.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
14 Mahasiswa Penerima Beasiswa Otsus Papua di AS Terancam Dipulangkan, Orang Tua Lapor Komnas HAM
Baca SelengkapnyaMerdeka.com merangkum informasi tentang pantun perkenalan nama lucu dan unik yang ampuh untuk bikin orang terkesan.
Baca SelengkapnyaDengan insting jurnalistiknya, B.M. Diah memutuskan untuk memungut kembali naskah teks proklamasi yang asli dari tempat sampah.
Baca SelengkapnyaMasyarakat diimbau untuk selalu mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkannya dan melaporkan hoaks kepada pihak berwenang.
Baca SelengkapnyaAksi berani ditunjukkan seorang emak-emak bernama Eni (54). Dia mengejar dua penjambret handphonenya hingga salah seorang di antara mereka tertangkap.
Baca SelengkapnyaMerdeka.com merangkum tentang niat sahur nisfu Sya’ban dan tata cara puasanya yang perlu Anda ketahui.
Baca Selengkapnya