Epidemiolog Pertanyakan Publikasi Fakta Ilmiah Uji Klinik Fase 1 Vaksin Nusantara
Merdeka.com - Pengembangan vaksin Covid-19 Nusantara menjadi sorotan publik. Sebab, uji klinik fase satu vaksin yang menggunakan sel dendritik itu mengalami sejumlah persoalan. Di antaranya, pembuatan vaksin tidak steril dan data keamanan dihapus peneliti.
Akibatnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin kelanjutan uji klinik fase dua vaksin Nusantara. Namun, peneliti tetap melanjutkan uji coba vaksinnya kepada sejumlah subjek penelitian.
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair), Windhu Purnomo mempertanyakan pengembangan vaksin Nusantara. Dia mengaku heran ada dokter yang melanggar standar pengembangan vaksin.
"Kenapa seorang ilmuwan yang kebetulan dokter kemudian ternyata menggunakan cara-cara yang tidak standar di dalam sebuah riset. Jangan-jangan ini sudah kebiasaannya, ya saya enggak tahu," katanya saat dihubungi merdeka.com, Jumat (16/4).
Windhu menegaskan, setiap pengembangan vaksin maupun obat harus mematuhi standar. Selain itu, pengembangan vaksin harus mengikuti arahan BPOM. BPOM, kata dia, merupakan benteng pengawas pembuatan vaksin, obat hingga makanan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat.
"Ayo kita kembali pada standar, standar ini sudah disepakati secara internasional demi keselamatan manusia. Ada standar etik, prosedur, kita jalankan," ujarnya.
Tak hanya itu, Windhu juga mempertanyakan publikasi fakta ilmiah uji klinik fase satu vaksin Nusantara. Dia mengaku hingga saat ini belum pernah mendengar dan membaca publikasi data uji klinik fase satu vaksin Nusantara baik di jurnal nasional maupun internasional.
"Saya enggak pernah dengar itu, enggak pernah membaca. Mudah-mudahan sudah ada tapi saya belum pernah baca. Para ahli lain juga merasa belum pernah membaca," ucap dia.
Windhu menambahkan, pada dasarnya, publikasi fakta ilmiah pengembangan vaksin melalui jurnal sangat penting. Melalui publikasi tersebut, peneliti bisa mendapat masukan mengenai penelitian atau kelayakan untuk memasuki tahap pengembangan vaksin berikutnya dari ahli virus maupun vaksin.
"Semua harus dipublikasikan, supaya direview oleh para ahli di bidangnya seperti virolog, mikrobiolog, vaksinolog, imunolog, epidemiolog sehingga dikatakan ini oke. Kita ini kalau melakukan penelitian ilmiah di bidang apapun selalu harus ada publikasi, di jurnal baik nasional maupun internasional. Jadi enggak diam-diam begitu, enggak boleh," tandasnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan 78.400 dokter spesialis.
Baca SelengkapnyaIDI mengungkapkan tidak seimbangnya rasio dokter umum dan spesialis di Indonesia sangat berdampak terhadap kualitas kesehatan di setiap daerah.
Baca SelengkapnyaSejumlah penelitian mengungkap bahwa ukuran tangan pria bisa menunjukkan sejumlah kondisi kesehatannya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Hasil studi terbaru ini juga mengungkap bagaimana tenaga medis melakukan pengobatan terhadap pasien.
Baca SelengkapnyaPolio bisa menginfeksi anak lewat berbagai cara. Dengan mengetahui cara penularan polio ini, orang tua bisa mewaspadai apa saja yang berisiko untuk anaknya.
Baca SelengkapnyaSejumlah bagian tubuh ternyata tidak boleh kita sentuh sembarangan, terutama dengan kondisi tangan yang belum steril.
Baca SelengkapnyaUsus buntu pada anak adalah kondisi medis di mana apendiks, organ kecil yang menempel pada usus besar mengalami infeksi dan peradangan.
Baca SelengkapnyaSindrom nasi goreng merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut masalah keracunan makanan. Kenali penyebab dan cara menagtasinya.
Baca SelengkapnyaPersiapan pembukaan program studi kedokteran Universitas Airlangga (Unair) di kampus Banyuwangi terus dilakukan.
Baca Selengkapnya