Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Dunia Batin Lengger Lanang

Dunia Batin Lengger Lanang Lengger Lanang dari Banyumas. ©2018 Merdeka.com/Abdul Aziz Rasjid

Merdeka.com - Nama bayi berusia dua bulan itu Rianto. Ia lahir di Dusun Mertinggi, Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Tanda lahir kemerahan bebercak di kulit keningnya di antara dua pangkal alis.

Saat itu penghujung tahun 1981. Si ibu kerap mencangkung gelisah. Ia khawatir bercak merah bakal mengganggu kesehatan putranya,

Suatu malam, dalam gendongan ibunya, Rianto lantas diajak pergi ke pertunjukan lengger di Dusun Wogen, Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Tujuan sang ibu bukan untuk melihat gerak pinggul atau goyangan pundak penari lengger. Tetapi berniat meminta suwuk (doa kesehatan) dari penari lengger.

"Kening saya ditiup oleh penari lengger. Mungkin saat itu, energi lengger masuk ke tubuh saya. Tanda lahir yang dicemaskan ibu saya lambat laun hilang", kata Rianto mengisahkan kembali cerita ibunya.

Di dunia lengger ada kepercayaan kuat tentang kehadiran indang atau roh lengger yang merasuk dalam tubuh penari. Dijelaskan oleh Sunaryadi dalam buku Lengger Tradisi & Transformasi (2000. ISI Yogyakarta), seseorang yang mendapat indang bisa melakukan tarian lengger dan menembang tanpa belajar. Jika indang lengger telah masuk ke dalam raga seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak ada yang dapat menolaknya.

Rianto mengenang, saat masih bocah ia pun sudah gemar menari lengger dan menembang tanpa ada yang mengajari. Padahal di Dusun Mertinggi tempat ia tinggal, lengger pantang dipertunjukkan. Sebabnya, dusun tersebut merupakan pusat kesenian tradisi ebeg atau jaran kepang.

Tak menemukan pengetahuan tentang lengger dari lingkungan sosialnya, beranjak remaja Rianto lantas memutuskan masuk sekolah menengah kesenian di Banyumas. Di titik inilah nilai-nilai kebudayaan lengger mulai ia tangkap melalui penghayatan emotif bukan semata kognitif. Rianto pun terhanyut dalam ekstase seni mengolah tubuh sebagai alat komunikasi.

"Tubuh saya adalah tubuh tradisi lengger". kata Rianto.

Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Arizal Mutahir mengatakan tradisi lengger telah berlangsung selama ratusan tahun di pedesaan Banyumas dan dekat dengan ritus budaya pertanian. Lengger ia nilai mampu beradaptasi dengan kondisi yang melingkupinya. Hal ini terlihat dari bahan baku intrumen musik pengiring lengger yang memanfaatkan bambu.

"Dahulu para seniman lengger melakukan pertunjukan dengan cara berkeliling. Calung dari bahan bambu tentunya lebih ringan dibawa ketimbang gamelan kecil dari besi bernama ringeng atau mondreng", kata Rizal dalam orasi budaya tentang lengger di Kendalisada Art Festival.

Mengingat asal muasal lengger yang tumbuh dari pedesaan, Rianto tergerak untuk mengembalikan posisi lengger sebagai bagian tradisi kerakyatan Banyumas. Meski lebih banyak tinggal di Jepang dan dan berkeliling ke benua Amerika dan Eropa memperkenalkan lengger lanang sebagai salah satu seni tradisi 'cros gender' nusantara, hati Rianto tetap di Banyumas. Dari seberang lautan, Rianto punya andil besar menumpukan organisasi menjadi ruang pendidikan dan regenerasi lengger lanang di Banyumas.

Ia pun membentuk Lengger Lanang Langgeng Sari Banyumas yang menggelar pertunjukan-pertunjukan lengger di pedesaan semisal di Kembaran, Purwojati, Pengadegan dan Plana. "Regenerasi lengger lanang jangan terputus. Karena ini kekayaan budaya Banyumas yang lahir dari rahim rakyat", ujarnya.

Membangkitkan kembali ingatan-ingatan kolektif tentang tradisi rakyat yang mulai dilupakan masyarakat Banyumas jadi visi besar Rianto. Pada Sabtu (15/9) di Kendalisada Art Festival semisal, bersama Lengger Lanang Langgeng Sari Banyumas, ia memainkan tari Lengger Sintren. Koreografi tari ini ia rangkai dengan memadukan gerakan lengger yang didominasi pinggul dan sintren yakni keadaan saat penari mengalami kesurupan atau trance dirasuki Dewi Lanjar.

Lengger bagi Rianto telah jadi cara berekspresi menyampaikan gagasan-gagasan untuk melihat lingkungan Banyumas tempat ia berasal. Pada Minggu (16/9) bersama Dosen Institut Seni Indonesia Surakarta, Sri Hadi Bismo, ia memainkan tari Sastra Jiwangga. Tari ini berbicara tentang tubuh sebagai bahasa, dimana lengger sebagai anak kebudayaan tumbuh adaptif terhadap perubahan zaman.

"Lewat lengger, di atas panggung, saya ingin bicara tentang kekayaan tradisi Banyumas yang meleburkan batas antara laki-laki dan perempuan. Saat gerakan tarian saya mengarah keluar itu feminim, sebaliknya saat mengarah kedalam itu maskulin", ujar Rianto.

Sebagaimana dikatakan Sunaryadi di dalam penelitiannya, makna kata lengger sendiri meruapakan perpaduan antara simbol laki-laki dan perempuan. Perpaduan ini menafsirkan keseimbangan kehidupan dalam konsep dualisme, antara kategori-kategori yang berlawanan. Lengger sendiri pada mulanya sejak abad ke-16 memang ditarikan oleh laki-laki sebelum kedudukannya digantikan oleh perempuan sejak tahun 1918. Pasalnya, ketika itu sudah jarang didapati anak laki-laki yang memiliki kemampuan untuk menjadi penari lengger.

Kini, tradisi Leneng Lanang mulai dipopulerkan kembali salah satunya oleh Rianto. Lewat tarian-tariannya juga kesadaran perlunya menumpukan organisasi untuk regenerasi lengger, Rianto telah memberi nafas baru pada tradisi Banyumas berusia ratusan tahun ini. Menekuni lengger lanang Rianto telah menawarkan ke-Indonesian yang tradisional serta merefleksikan tradisi kerakyatan Banyumas agar dimaknai oleh mata dunia. (mdk/eko)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP