Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Paul Robeson

Profil Paul Robeson | Merdeka.com

Paul Robeson lahir di Princeton, New Jersey, 9 April 1898. Robeson dibesarkan di tengah-tengah keluarga pekerja keras dan berpendidikan. Ayahnya seorang pendeta sekaligus pembela hak-hak warga sipil. Semasa remajanya, Robeson tak hanya menghabiskan waktunya dengan belajar, ia juga bekerja di tengah-tengah kesibukan belajarnya untuk membantu perekonomian keluarga. 

Belajar sembari bekerja sepertinya bukan menjadi masalah bagi Robeson. Lihat saja kemampuan akademisnya yang cemerlang, ia mendapat beasiswa kuliah di Rutgers University selama empat tahun. Seperti halnya semasa sekolah, semasa kuliah pun Robeson juga menyambi dengan bekerja paruh waktu. Mempunyai suara merdu dan nyaring membuat Robeson dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai penyanyi di klub lokal di sisi kemampuannya sebagai seorang mahasiswa yang pandai berdebat dan berulang kali memenangkan  lomba pidato selama belajar di Rutgers.

Pandai menyanyi, piawai dalam berdebat, cerdas dalam bidang akademik, prestasinya tersebut rupanya masih kurang dirasa bagi pria setinggi 191 cm ini. Dengan tubuh tinggi tegap dan cekatan dalam memainkan bola basket, Robeson merupakan mahasiswa pertama dari Rutgers yang terpilih dan masuk ke dalam tim All-American. Sebentar saja bergabung dengan tim basket kenamaan, Robeson harus menerima kenyataan pahit bahwa di tahun-tahun itu, tepatnya tahun 1917, adalah tahun-tahun dimana tingkat rasisme warga kulit putih sangat tinggi. Ia didepak dari tim All-American lantaran ia berkulit hitam.

Keluar dari tim basket yang rasis, pada tahun 1920 Robeson bergabung dengan para pemain teater amatir Afrika-Amerika yang ingin memainkan peran tentang isu-isu rasisme dan ia berperan sebagai pemain utama. Pertunjukan tersebut berjalan sukses dan membuat nama Robeson seketika dikenal banyak orang meski para kritikus tidak menyukai perannya, namun, reviewer menyatakan bahwa Robeson memainkan peran dengan cukup apik.

Sukses di bidang teatrikal, pada tahun 1923 Robeson meniti karir di bidang hukum sesuai dengan latar belakang pendidikan formalnya. Namun, lagi-lagi karirnya harus terhenti lantaran ia berkulit hitam. Mengerti karir hukumnya terhambat, suami dari Eslanda Goode ini memutuskan untuk melepaskan karir hukumnya dan beralih ke bidang teatrikal. Ia bergabung dengan Provincetown Theatre Group dan segera memainkan drama yang bertajuk All God's Chillun Got Wings bersama Eugene O'neill. Dalam pertunjukan tersebut, lagi-lagi Robenson menerima pujian berkat aktingnya yang dianggap mengesankan. Seorang penulis, George J. Nathan, menuliskan bahwa dengan pengalaman yang sedikit, Robenson nyatanya mampu menarik simpati banyak orang berkat aktingnya yang memukau dan luar biasa. Drama yang dianggap fenomenal tersebut akhirnya ditutup setelah dimainkan sebanyak seratus kali pertunjukan pada bulan Oktober 1924.

Melalui teater nama Robenson semakin melejit. Hingga pada tahun 1925-1935, Robenson melakukan banyak tur perjalanan teaternya di banyak negara di Eropa. Namanya semakin banyak dikenal di kalangan publik. Tak hanya di Eropa, pada tahun 1935, bersama istrinya Robenson mengunjungi Uni Soviet untuk menemui pimpinan Partai Komunis Amerika, William Patterson. Selama di sana, Robenson mengaku terkesima lantaran ia baru pertama kalinya menjejakkan kaki di suatu negara yang tidak menganggap adanya diskriminasi kaum kulit putih dan hitam. 

Di sela-sela karir aktingnya, rupanya Robeson tertarik untuk meniti karir di dunia politik. Ia aktif berpolitik pada Spanish Aid Committee, Food for Republican Spain Campaign, National Unemployed Workers' Movement dan Boycott of Aggressor Nations. Namun, selama berpolitik dan memperjuangkan hak-hak rakyat sipil rupanya rasisme memang masih membelenggu. Saat itu, ia dikucilkan dengan mencabut paspor pria yang akrab disapa Robey ini agar ia tak bisa ke luar negeri untuk memperjuangkan hak-hak sipil dan warga negro. Berbagai tekanan datang dari berbagai pihak hingga membuatnya depresi dan sakit berkepanjangan. Dalam masa perawatan, Robeson beberapa kali mengalami kesalahan diagnosa oleh tim medis AS yang membuatnya sadar akan satu hal; bahwa dirinya tak mampu lagi berjuang demi warga negro dan sipil di kancah politik.

Robeson akhirnya meninggal pada tahun 1976 dalam masa-masa pengasingan yang tragis di Philadelphia. Jasanya teramat banyak bagi kemajuan warga kaum negro yang ada di AS, namun, kenyataannya, hingga kini banyak serangkaian prestasi Robeson lainnya yang dikaburkan oleh mereka para kaum rasisme.

Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.

Profil

  • Nama Lengkap

    Paul Robeson

  • Alias

    Robeson

  • Agama

  • Tempat Lahir

    Princeton, New Jersey

  • Tanggal Lahir

    1898-04-09

  • Zodiak

    Aries

  • Warga Negara

    Amerika Serikat

  • Istri

    Eslanda Goode

  • Biografi

    Paul Robeson lahir di Princeton, New Jersey, 9 April 1898. Robeson dibesarkan di tengah-tengah keluarga pekerja keras dan berpendidikan. Ayahnya seorang pendeta sekaligus pembela hak-hak warga sipil. Semasa remajanya, Robeson tak hanya menghabiskan waktunya dengan belajar, ia juga bekerja di tengah-tengah kesibukan belajarnya untuk membantu perekonomian keluarga. 

    Belajar sembari bekerja sepertinya bukan menjadi masalah bagi Robeson. Lihat saja kemampuan akademisnya yang cemerlang, ia mendapat beasiswa kuliah di Rutgers University selama empat tahun. Seperti halnya semasa sekolah, semasa kuliah pun Robeson juga menyambi dengan bekerja paruh waktu. Mempunyai suara merdu dan nyaring membuat Robeson dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai penyanyi di klub lokal di sisi kemampuannya sebagai seorang mahasiswa yang pandai berdebat dan berulang kali memenangkan  lomba pidato selama belajar di Rutgers.

    Pandai menyanyi, piawai dalam berdebat, cerdas dalam bidang akademik, prestasinya tersebut rupanya masih kurang dirasa bagi pria setinggi 191 cm ini. Dengan tubuh tinggi tegap dan cekatan dalam memainkan bola basket, Robeson merupakan mahasiswa pertama dari Rutgers yang terpilih dan masuk ke dalam tim All-American. Sebentar saja bergabung dengan tim basket kenamaan, Robeson harus menerima kenyataan pahit bahwa di tahun-tahun itu, tepatnya tahun 1917, adalah tahun-tahun dimana tingkat rasisme warga kulit putih sangat tinggi. Ia didepak dari tim All-American lantaran ia berkulit hitam.

    Keluar dari tim basket yang rasis, pada tahun 1920 Robeson bergabung dengan para pemain teater amatir Afrika-Amerika yang ingin memainkan peran tentang isu-isu rasisme dan ia berperan sebagai pemain utama. Pertunjukan tersebut berjalan sukses dan membuat nama Robeson seketika dikenal banyak orang meski para kritikus tidak menyukai perannya, namun, reviewer menyatakan bahwa Robeson memainkan peran dengan cukup apik.

    Sukses di bidang teatrikal, pada tahun 1923 Robeson meniti karir di bidang hukum sesuai dengan latar belakang pendidikan formalnya. Namun, lagi-lagi karirnya harus terhenti lantaran ia berkulit hitam. Mengerti karir hukumnya terhambat, suami dari Eslanda Goode ini memutuskan untuk melepaskan karir hukumnya dan beralih ke bidang teatrikal. Ia bergabung dengan Provincetown Theatre Group dan segera memainkan drama yang bertajuk All God's Chillun Got Wings bersama Eugene O'neill. Dalam pertunjukan tersebut, lagi-lagi Robenson menerima pujian berkat aktingnya yang dianggap mengesankan. Seorang penulis, George J. Nathan, menuliskan bahwa dengan pengalaman yang sedikit, Robenson nyatanya mampu menarik simpati banyak orang berkat aktingnya yang memukau dan luar biasa. Drama yang dianggap fenomenal tersebut akhirnya ditutup setelah dimainkan sebanyak seratus kali pertunjukan pada bulan Oktober 1924.

    Melalui teater nama Robenson semakin melejit. Hingga pada tahun 1925-1935, Robenson melakukan banyak tur perjalanan teaternya di banyak negara di Eropa. Namanya semakin banyak dikenal di kalangan publik. Tak hanya di Eropa, pada tahun 1935, bersama istrinya Robenson mengunjungi Uni Soviet untuk menemui pimpinan Partai Komunis Amerika, William Patterson. Selama di sana, Robenson mengaku terkesima lantaran ia baru pertama kalinya menjejakkan kaki di suatu negara yang tidak menganggap adanya diskriminasi kaum kulit putih dan hitam. 

    Di sela-sela karir aktingnya, rupanya Robeson tertarik untuk meniti karir di dunia politik. Ia aktif berpolitik pada Spanish Aid Committee, Food for Republican Spain Campaign, National Unemployed Workers' Movement dan Boycott of Aggressor Nations. Namun, selama berpolitik dan memperjuangkan hak-hak rakyat sipil rupanya rasisme memang masih membelenggu. Saat itu, ia dikucilkan dengan mencabut paspor pria yang akrab disapa Robey ini agar ia tak bisa ke luar negeri untuk memperjuangkan hak-hak sipil dan warga negro. Berbagai tekanan datang dari berbagai pihak hingga membuatnya depresi dan sakit berkepanjangan. Dalam masa perawatan, Robeson beberapa kali mengalami kesalahan diagnosa oleh tim medis AS yang membuatnya sadar akan satu hal; bahwa dirinya tak mampu lagi berjuang demi warga negro dan sipil di kancah politik.

    Robeson akhirnya meninggal pada tahun 1976 dalam masa-masa pengasingan yang tragis di Philadelphia. Jasanya teramat banyak bagi kemajuan warga kaum negro yang ada di AS, namun, kenyataannya, hingga kini banyak serangkaian prestasi Robeson lainnya yang dikaburkan oleh mereka para kaum rasisme.

    Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.

  • Pendidikan

    • Columbia Law School, 1919-1923
    • Rutgers University, 1915-1919

  • Karir

    Aktor, penyanyi konser, atlet, pengacara, aktivis sosial 

  • Penghargaan

Geser ke atas Berita Selanjutnya