Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Kiras Bangun

Profil Kiras Bangun | Merdeka.com

Kiras Bangun adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Kiras Bangun menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik.

Masyarakat memberi julukan pada Kiras dengan Garamata yang bermakna Mata Merah. Saat masih muda, Kiras gemar sekali berkunjung dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.

Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.

Kepopuleran Kiras Bangun sendiri akhirnya diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan dari Belanda untuk menjalin persahabatan dengan Garamata agar diperbolehkan masuk ke Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan.

Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata. Untuk melancarkan niatnya ini, pihak Belanda mengutus Nimbang Bangun yang sudah berkali-kali membujuk Kiras Bangun agar Belanda diberi ijin masuk ke Tanah Karo. Namun keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo tetap ditolak.

Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo yang lainnya. Pada tahun 1902, akhirnya pihak Belanda berhasil memasuki Tanah Karo dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.

Melihat hal ini, Garamata pun berulang kali memberikan peringatan pada pihak Belanda untuk segera meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau beranjak. Situasi di Tanah Karo sendiri sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan.

Pertemuan Urung atau Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana. Bekerja sama dengan beberapa Urung, Garatama akhirnya berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Peristiwa pengusiran itulah yang menjadi puncak permusuhan dengan Belanda.

Melalui kerja keras, Kiras Bangun berhasil menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kerjasama yang digalang tersebut menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo. Kiras gugur pada 22 Oktober 1942 dan jenazahnya dimakamkan di Desa Batu­karang, Kecamatan Payung. Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.

Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

Profil

  • Nama Lengkap

    Kiras Bangun

  • Alias

    Garamata

  • Agama

  • Tempat Lahir

    Batukarang, Karo, Sumatera Utara

  • Tanggal Lahir

    1852-00-00

  • Zodiak

    -

  • Warga Negara

    Indonesia

  • Biografi

    Kiras Bangun adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Kiras Bangun menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik.

    Masyarakat memberi julukan pada Kiras dengan Garamata yang bermakna Mata Merah. Saat masih muda, Kiras gemar sekali berkunjung dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.

    Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.

    Kepopuleran Kiras Bangun sendiri akhirnya diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan dari Belanda untuk menjalin persahabatan dengan Garamata agar diperbolehkan masuk ke Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan.

    Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata. Untuk melancarkan niatnya ini, pihak Belanda mengutus Nimbang Bangun yang sudah berkali-kali membujuk Kiras Bangun agar Belanda diberi ijin masuk ke Tanah Karo. Namun keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo tetap ditolak.

    Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo yang lainnya. Pada tahun 1902, akhirnya pihak Belanda berhasil memasuki Tanah Karo dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.

    Melihat hal ini, Garamata pun berulang kali memberikan peringatan pada pihak Belanda untuk segera meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau beranjak. Situasi di Tanah Karo sendiri sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan.

    Pertemuan Urung atau Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana. Bekerja sama dengan beberapa Urung, Garatama akhirnya berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Peristiwa pengusiran itulah yang menjadi puncak permusuhan dengan Belanda.

    Melalui kerja keras, Kiras Bangun berhasil menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kerjasama yang digalang tersebut menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo. Kiras gugur pada 22 Oktober 1942 dan jenazahnya dimakamkan di Desa Batu­karang, Kecamatan Payung. Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.

    Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh

  • Pendidikan

  • Karir

  • Penghargaan

    • Gelar pahlawan nasional pada 9 November 2005

Geser ke atas Berita Selanjutnya