Sekarat di era serba cepat

Merdeka.com - "Kalau band-band mainstream yang pemasukannya banyak berkurang dari penjualan rilisan fisik, itu memang jelas. Karena jika dulu banyak band yang bisa jual jutaan copy dari rilisan fisik albumnya, kalau sekarang kan susah," ujar Arian Arifin akrab disapa Arian13 saat berbincang dengan merdeka.com, di kantornya, Jalan Kemang Selatan, Kamis pekan kemarin. Arian yang lebih dikenal sebagai frontman grup band Seringai ini menanggapi pertanyaan soal maraknya kembali perburuan rilisan fisik karya-karya musisi tanah air.

Industri musik Indonesia saat ini memang sedang sesak nafas. Serbuan teknologi digital merupakan salah satu penyebab bagi industri musik karena dianggap tidak menguntungkan. Bagaimana tidak, jika pada tahun 2003 orang masih akrab dengan compact disc (CD) dalam diskman, kini aplikasi seluler pintar sudah jauh lebih canggih ketimbang membawa benda tersebut untuk mendengarkan musik. Hematnya, cukup beli memori card dua giga, ratusan musik bisa masuk dan mudah untuk di dengarkan.

Mungkin grup band Peterpan, merupakan salah satu dari sekian banyak musisi yang sempat merasakan suksesnya penjualan album berbentuk rilisan fisik. Album Bintang di Surga (2004), pernah menembus angka penjualan tinggi. Album itu laku sebanyak 3 juta keping. Yang menjadi fenomenal dari penjualan album itu adalah ketika pembajakan di Indonesia mencapai titik terparah.

Kemudian Album milik Sheila On 7 bertajuk Kisah Klasik untuk Masa Depan (2000), juga meraih kesuksesan. Awal keluarnya album ini banyak yang pesimis jika tidak akan suskses, namun lagu 'Bila Tak kau Di sampingku' dan 'Sephia' mampu mengaet jutaan para pengemar mereka. Album ini laris terjual 1,7 juta keping atau 11 platinum.

Teknologi digital memang tak berpihak bagi para musisi yang mengandalkan pemasukan dari penjualan album mereka dari rilisan fisik berupa kaset atau CD. Namun tidak bagi mereka, grup-grup band indie. Menurut Arian, bagi para musisi indie, justru gerusan teknologi tak seberapa berpengaruh karena penggemar mereka lebih doyan dengan rilisan fisik. Apalagi jalur distribusi album musik indie memang mengandalkan rilisan fisik sebagai pemasukan. "Karena mereka (penggemar musik indie) kan memang cenderung membeli rilisan fisik asli dari band-nya sih, dan karena itu jugalah kita bisa tetep hidup," tutur Arian.

Dampak gerusan teknologi digital menurut Managing Editor RollingStone, Wendi Putranto memang berpengaruh bagi perkembangan industri musik tanah air. Menurut dia, tren rilisan fisik saat ini memang berpihak pada pelaku di industri indie label. Apalagi pembeli rilisan fisik itu merupakan pendengar musik berusia muda yang belum pernah merasakan jayanya industri musik Indonesia. Dia pun menyebutkan jika tahun 1999 hingga tahun 2002 merupakan puncak kejayaan musisi tanah air berbarengan dengan aksi pembajakan yang berujung pada banyaknya label gulung tikar.

"Diluar kedigdayaan jalur distribusi yang dikuasai Colonel Sanders (jalur distribusi musik ala Fast Food), dalam skala besar 'kejayaan' ini tidak dirasakan meluas oleh industri rekaman. Mereka tetap saja sekarat," ujar Wendi melalui sambungan seluler.

Arian yang juga frontman grup band Seringai punya pandangan lain. Dia mengatakan jika ia merupakan salah satu orang yang tidak mempermasalahkan maraknya rilisan fisik maupun jualan karya dalam format digital. Namun terpenting dia berharap Seringai bisa di dengar sampai kemana-mana dalam format atau bentuk apapun. "Kalau gue sih bukan orang dari audio file sih yah, jadi mau dengerin dari data digital asal kenceng dan enak, udah ok sih. Karena gue lebih seneng si karya gue ini didengerin kemana-mana dari pada mikirin formatnya apa," ujarnya.