Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Multitafsir Aturan Pernikahan Beda Agama

Multitafsir Aturan Pernikahan Beda Agama Ilustrasi pernikahan. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/AEKKORN

Merdeka.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa menikah beda agama pada tahun 2005 lalu. Hukumnya haram dan tidak sah. Meski begitu, pada praktiknya pernikahan beda keyakinan terus berlangsung. Ada celah hukum dan penafsiran berbeda. Banyak cara untuk menyiasatinya.

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan yang dihubungi merdeka.com pekan lalu menyesalkan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya karena mengabulkan permohonan penetapan pernikahan pasangan beda agama RA dan EDS yang sebelumnya ditolak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya.

Amirsyah berpendapat, logika hukum yang digunakan PN Surabaya bertentangan ketika membolehkan kedua pasangan beda agama itu menikah. Di antaranya menggunakan UU Adminduk dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

"Artinya ketika memeriksa dan memutuskan, sepatutnya membatalkan, karena kedua pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan karena bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 pasal Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku," jelasnya.

Amirsyah menjelaskan kembali isi fatwa bernomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Fatwa itu dikeluarkan saat MUI menggelar Musyawarah Nasional VII pada 26-29 Juli 2005. Ada dua poin utama isi fatwa itu.

"Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah," kata Amirsyah.

Amirsyah menambahkan, fatwa yang dikeluarkan MUI itu berlandaskan pada nash agama baik itu Alquran, hadits, hingga qaidah fikih. Seluruh kesepakatan, merujuk serta mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan dari perkawinan beda agama di kemudian hari.

"Oleh sebab itu, penetapan larangan adanya pernikahan beda agama yang dilakukan MUI merupakan ikhtiar sekaligus pedoman bagi masyarakat dalam mencegah perbuatan-perbuatan yang memicu lahirnya kerusakan dalam tatanan kehidupan keluarga," ujarnya.

Untuk itu, Amirsyah meminta semua pihak mematuhi aturan dalam undang-undang yang ada. "Sebenarnya sudah ada UU No 1 Tahun 1974. Hanya saja pelaksanaan yang harus tegas oleh aparat penegak hukum," tukasnya.

Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Bina Kepenghuluan, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Anwar Saadi yang dihubungi terpisah menjelaskan, Kemenag selama ini mengikuti aturan dalam UU Perkawinan yang menyatakan di pasal 2 ayat 1, perkawinan sah apabila dilakukan oleh hukum masing-masing agamanya.

"Ya artinya begini kalau orang muslim kan jelas ada larangan perkawinan dengan orang yang bukan muslim nanti bisa baca di Inpres nomor 1 tahun 91 tentang hukum Islam. Juga bisa lihat pasal 40, pasal 44, itu larangan perempuan muslimah menikah dengan lelaki yang beragama selain Islam dilarang. Dan sebaliknya laki-laki yang muslim dengan perempuan yang non muslim itu juga tidak boleh, dilarang," paparnya.

Terkait gugatan uji materiil yang meminta pernikahan beda agama diakui negara, Anwar mengatakan masing-masing warga negara diberikan jaminan melaksanakan ajarannya agama masing-masing. "Nah agamanya melarang untuk menikah beda agama. Jadi yang mau digugat agamanya, apa konstitusinya?" tanya Anwar.

Uji Materiil UU Perkawinan di MK

Kementerian Agama kata Anwar Saadi, ikut memantau gugatan uji materiil terkait pernikahan beda agama yang saat ini tengah diproses di Mahkamah Konstitusi. Apapun keputusan yang dihasilkan, Kemenag akan mengikuti.

Anwar menyebut, gugatan serupa pernah ditolak MK pada tahun 2015. "Jadi kalau kita Kementerian agama itu mengikuti regulasi. Kan sekarang lagi diuji materiil di MK. Seperti apa nanti hakim memutuskan, Kementerian Agama itu akan mengikuti kebijakan ini karena itu konstitusi," jelasnya.

Seperti diketahui, pemohon atas nama E Ramos Partege mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Ramos Petege, pemeluk agama Katolik batal menikah dengan perempuan beragama Islam karena perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Akibatnya, hak-hak konstitusional Pemohon dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.

Ramos Partege juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas.

Materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."

Kemudian Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Terakhir, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan, "mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin."

Penafsiran Berbeda

Fatwa MUI menyatakan pernikahan beda agama tidak sah dan haram. Namun ada pendapat dan penafsiran berbeda di kalangan ulama sejak lama. Nova Effenty Muhammad, Dosen Fakultas Syariah, IAIN Sultan Amai Gorontalo yang pernah meneliti fatwa MUI itu menyatakan, isu ini selalu kontemporer dan berulang.

"Menurut fikihnya sebenarnya ada memang ulama yang kemudian membolehkan dan ada juga yang tidak membolehkan. Semuanya punya alasan masing-masing," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com awal Juli lalu.

Nova menjelaskan, di dalam Alquran, yang dilarang adalah seorang muslim menikah dengan kafir atau orang musyrik. Yang menjadi perbedaan penafsiran kemudian, apakah pemeluk agama selain Islam dikategorikan kafir.

"Ini persoalan pengertian sebenarnya. Jadi kalau dibolehkan itu menikah dengan ahlul kitab. Orang non muslim itu di Alquran tidak disebut sebagai kafir atau musyrik. Di Alquran itu bilangnya ahlul kitab, nah sementara kalau ahlul kitab itu diperbolehkan untuk dinikahi," kata Nova.

Perbedaan pandangan itu belum selesai. Nova mengatakan, ada ulama yang berpendapat, ahlul kitab itu hanya ada di zaman Nabi Muhammad SAW, dan saat ini sudah tidak ada lagi. Namun, lanjut, Nova, ulama lainnya berpendapat, ahlul kitab itu adalah orang yang beragama selain Islam seperti Hindu, Buddha, Kristen, dan Yahudi

"Artinya mereka boleh loh dinikahi, itu ada ulama-ulama yang membolehkan," ujarnya.

Sementara konselor pernikahan beda agama yang juga Wakil Direktur Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) Ahmad Nurcholis mengungkapkan, dalam Islam sedikitnya ada tiga penafsiran terhadap pernikahan beda agama.

Penafsiran pertama, melarang secara mutlak baik bagi perempuan maupun pria muslim untuk menikahi non muslim. Pandangan ini seperti yang muncul dalam fatwa MUI tahun 2005.

Penafsiran kedua, kata Nurcholis, pernikahan beda agama dibolehkan secara bersyarat. Hanya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim. Sebaliknya, perempuan muslim tidak boleh menikahi pria non muslim.

Nurcholis, menyatakan dirinya mengikuti pada penafsiran yang ketiga. Penafsiran ini menyatakan, pria maupun perempuan muslim boleh menikah dengan non muslim.

Kepada pasangan yang berkonsultasi, Nurcholis selalu menjelaskan tiga pandangan pernikahan beda agama dalam Islam. "Semua itu ada dalil dan argumentasinya. Setelah itu saya kembalikan kepada mereka mau mengikuti pandangan yang mana. Pada akhirnya, mau mengikuti manapun ada jalannya. Menurut saya begitu," tuturnya.

Menyeragamkan Aturan

Pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil awalnya ditujukan untuk pasangan non muslim dan penghayat kepercayaan. Sedangkan untuk muslim dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Terkait pernikahan beda agama, sebelumnya ada kantor Disdukcapil yang mau mencatatkan sepanjang ada bukti pengesahan secara agama.

"Tapi sekarang itu per 1 Juni itu sudah enggak ada yang mau. Enggak ada yang bisa karena itu beberapa pasangan akhirnya melalui penetapan Pengadilan Negeri," kata Ahmad Nurcholis.

Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah menyatakan bahwa pencatatan pernikahan beda agama bisa dilakukan merujuk pada Pasal 35 huruf a jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

"Hukumnya sudah diatur, Dukcapil mencatatkan yang non muslim dan penghayat, di pasal 35 itu ada pernetapan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan," ungkap Zudan beberapa waktu lalu.

Zudan menyatakan, dasar pencatatan pernikahan beda agama bila ada penetapan pengadilan. "Kita mengikuti putusan pengadilan, memerintahkan dicatat atau tidak dicatat," imbuhnya.

Meski begitu, Zudan mengungkapkan, pada 2019 pihaknya pernah meminta fatwa kepada Mahkamah Agung terkait pernikahan beda agama.

Zudan menjelaskan, dalam jawaban melalui surat, Mahkamah Agung menyatakan: Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan itu dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menunddukan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan.

Misalnya jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen, maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam, maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Kata 'menundukkan diri' tersebut menurut Zudan diartikan sebagai pindah agama. "Ya pindah agama," tukasnya.

Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Bina Kepenghuluan, Dirjen Bimas Islam Kemenag, Anwar Saadi menyatakan pihaknya patuh pada fatwa MA itu. Selama ini, KUA tidak pernah mencatatkan pernikahan beda agama.

"Sudah ada regulasinya makanya kita tunggu ini keputusan MK. Jadi kalau MK menolak gugatan, ya seperti itulah negara memberikan porsi kebebasan melaksanakan agamanya. Dan salah satunya tadi itu menikah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing," ujarnya.

(mdk/bal)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Banyak Pertanyaan Kapan Nikah saat Lebaran, Ternyata Ini Hukumnya Menikah dengan Sepupu

Banyak Pertanyaan Kapan Nikah saat Lebaran, Ternyata Ini Hukumnya Menikah dengan Sepupu

Hukum menikahi sepupu berbeda-beda di berbagai negara dan budaya. Inilah hukum menikahi sepupu menurut islam yang bisa diterapkan di Indonesia.

Baca Selengkapnya
Keistimewaan Menikah di Bulan Syawal, Umat Islam Wajib Tahu

Keistimewaan Menikah di Bulan Syawal, Umat Islam Wajib Tahu

Menikah di bulan Syawal dalam Islam memiliki beberapa keistimewaan yang dianggap penting bagi umat Muslim.

Baca Selengkapnya
Ini Alasan Mengapa Seseorang Jadi Tambah Gendut Setelah Menikah dan Cara Mengatasinya

Ini Alasan Mengapa Seseorang Jadi Tambah Gendut Setelah Menikah dan Cara Mengatasinya

Salah satu hal yang biasanya paling menonjol tampak setelah pernikahan adalah perut yang kian membuncit.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Tak Hanya Umat Islam, Sekarang KUA Bisa Jadi Tempat Nikah Semua Agama: Segini Biaya dan Syaratnya

Tak Hanya Umat Islam, Sekarang KUA Bisa Jadi Tempat Nikah Semua Agama: Segini Biaya dan Syaratnya

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan semua agama boleh melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Baca Selengkapnya
Kisah Cinta Kiai Bisri Syansuri, Menikah karena Dijodohkan hingga Bangun Pesantren di Desa Rawan Kekerasan

Kisah Cinta Kiai Bisri Syansuri, Menikah karena Dijodohkan hingga Bangun Pesantren di Desa Rawan Kekerasan

Kakek Gus Dur dari jalur ibu diakui sebagai ulama besar karena keilmuannya

Baca Selengkapnya
Sosok Kiai Hasyim Pendiri NU Bojonegoro, Perintahkan Anaknya Menikahi Perempuan Kota demi Syiarkan Ajaran Aswaja

Sosok Kiai Hasyim Pendiri NU Bojonegoro, Perintahkan Anaknya Menikahi Perempuan Kota demi Syiarkan Ajaran Aswaja

Keilmuannya diakui banyak orang, banyaj murid-muridnya jadi kiai besar, salah satunya Mustofa Bisri atau Gus Mus

Baca Selengkapnya
Mengurungkan Niat Berangkat Ke Jepang Untuk Bekerja, Pemuda Ini Memilih Berternak Entok 'Alhamdulillah Sudah Punya Mobil dan Menikah'

Mengurungkan Niat Berangkat Ke Jepang Untuk Bekerja, Pemuda Ini Memilih Berternak Entok 'Alhamdulillah Sudah Punya Mobil dan Menikah'

Berbekal kesungguhan dan keyakinan, nyatanya ternak yang dijalaninya membuahkan hasil tak terduga. Ia sukses menjadi seorang peternak entok muda.

Baca Selengkapnya
Resmi Menikah dengan Pujaan Hati, Momen Pria Menangis hingga Terduduk di Pangkuan Sang Ibunda Ini Tuai Sorotan

Resmi Menikah dengan Pujaan Hati, Momen Pria Menangis hingga Terduduk di Pangkuan Sang Ibunda Ini Tuai Sorotan

Pria tersebut tak kuasa menahan tangis hingga terduduk di pangkuan sang ibunda saat menerima kenyataan yang ada.

Baca Selengkapnya
Menistakan Agama dan Hina Ulama, Pria Asal Gowa Ditangkap

Menistakan Agama dan Hina Ulama, Pria Asal Gowa Ditangkap

Z merupakan pimpinan kelompok yang menamakan Taklim Makrifat.

Baca Selengkapnya