Koran, warisan pusaka suami
Merdeka.com - Ety (49) tidak mau menjadi istri rumahan yang hanya menunggu hasil bulanan dari suami. Dia datang ke Jakarta untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga bersama suaminya, Taufik.
Tapi niat jauh mengetahui seluk beluk usaha ditepis Taufik. Alasan sederhana, suaminya itu tidak mau merepotkan Ety. Ety pun berdiam diri di kampung mereka, Sumedang, Jawa Barat bersama ketiga putri mereka ketiga putrinya, Romlah (26), Amsong (23) dan Eny (19) yang kala itu masih belia. Sesekali dia bertandang ke ibukota untuk membantu suaminya.
"Suami tidak mau mengizinkan saya untuk belajar serius. Bapak bilang nanti juga tahu sendiri. Lagian katanya kasihan sayanya," cerita Ety kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Tapi keadaan berubah ketika Taufik jatuh sakit. Simpanan demi simpanan hingga harta benda terjual satu demi satu. Ujungnya Taufik meninggal dunia tanpa mau meluluskan niat Ety untuk berguru bisnis pada suaminya itu. Pikiran Ety terkuras antara sakit ditinggal suami dan rasa kasihan pada kondisi rumah tangganya.
Ety merupakan salah satu dari sekian orang yang bergantung hidupnya dari media cetak. Usaha mendiang suami menjadi sub-agen koran diteruskannya sejak sang suami meninggal lima tahun lalu. Ety mengaku, seandainya Taufik mengizinkannya dulu, mungkin dia tak bakal kesulitan untuk memulai atau suaminya tidak sakit parah.
"Saya tidak punya pengalaman sama sekali. Buta soal dagang koran ini," kata Ety di depan emperan toko di Kwitang, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat.
Satu-satunya peninggalan Taufik adalah buku catatan bon. Buku bon itu tak sengaja dia temukan ketika membereskan rumah mereka. Alih-alih mencari pekerjaan baru, Ety pun ingin menjual koran seperti yang dilakoni suaminya dulu.
Loper koran ©2017 Merdeka.com/Marselinus Gual
"Saya melihat catatan suami. Saya belajar sedikit demi sedikit dari apa yang dia tulis di sana," kenangnya.
Suara Ety mendadak tinggi ketika kendaraan mulai ramai di badan jalan. Suaranya yang pelan beradu saing dengan bunyi bising kendaraan yang lewat. Ety sibuk melayani loper koran yang merupakan anak buahnya.
Sebagai sub-agen, Ety bekerja sama dengan 20 loper koran yang rata-rata sudah menjadi rekanan Taufik suaminya. Mereka 'dipelihara' Ety dengan baik. Jumlah loper koran itu memang sudah berkurang semenjak suaminya meninggal, tapi persahabatan mereka tetap terjaga hingga kini.
"Mereka seperti keluarga saya. Karena sebetulnya hidup saya tergantung penjualan mereka," jelas wanita yang tak pernah berniat menikah lagi semenjak suaminya itu meninggal dunia.
Lima tahun menekuni usaha sendiri membuat Ety sudah memahami perilaku anak buahnya. Tapi, diakui Ety, dia tidak mau membuat mereka susah dengan meminta bayaran di muka ketika mengambil koran darinya. Para loper itu, kata Ety berapa di antaranya sudah berusia lanjut yang hanya sanggup membayar kepadanya setelah koran laku.
"Ada nenek-nenek yang ambil dulu baru bayar setelah laku. Kalaupun tidak laku ya dia taruh saja di depan rumah. Biasanya saya jadikan kiloan saja," tutur Ety.
Usaha dagang koran buka perkara mudah bagi Ety. Dia harus bersaing dengan agen atau sub-agen lainnya yang memiliki modal lebih besar darinya. Sejauh ini, kata Ety, dari dua puluh anak buahnya, hanya satu orang saja yang mampu membeli koran sebanyak 35 eksemplar darinya. Selebihnya, kata Ety mengambil secara ecer, tiga sampai tujuh eksemplar dengan selisih harga sekitar Rp 200 hingga Rp 300 perak dari harga yang dibelinya dari agen.
Loper koran ©2017 Merdeka.com/Marselinus Gual
"Yang paling banyak itu koran Kompas. Anak buah saya memang banyak yang jual di lampu merah. Hanya sedikit yang punya langganan," lanjutnya dengan senyum ramah.
Penghasilan bersih Ety sebulan berkisar Rp 2 hingga tiga juta sebulan. Jumlah itu kadang tak menentu, tergantung laku tidaknya penjualan anak buahnya. Ety mengaku, uang itu digunakannya untuk menutup semua biaya kebutuhan rumah tangga bersama kedua anaknya yang tinggal satu kontrakan dengannya saat ini.
"Romlah ngekos dengan temannya. Hanya Amsong dan Any yang tinggal dengan saya," tuturnya.
Berbekal kesabaran dan tanggung jawabnya pada ketiga putrinya, sedikit demi sedikit Ety keluar dari rasa takutnya. Dia dikuatkan oleh beban yang menghimpit untuk bisa bertahan oleh kerasnya hidup di ibukota.
Masa sulit itu perlahan lewat. Ketiga putrinya bertumbuh menjadi gadis dewasa dengan pendidikan yang cukup. Kerja keras Ety dibayar mahal oleh ketiga anaknya itu. Romlah kini bekerja di salah satu bank di Kuningan, Jakarta Pusat. Amsong pun demikian. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sumedang, dia menyusul ke Jakarta dan tengah magang di perusahaan telekomunikasi. Sementara itu, Ani yang baru saja menyelesaikan SMA juga berniat melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi.
"Romlah dan Amsong biaya kuliah sendiri. Ani juga katanya pengen kuliah tapi biaya sendiri," tutur Ety.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sempat kerja di Bandara Soekarno-Hatta selama dua tahun, Opi memutuskan buat banting setir berjualan bakso ikan dengan gerobak.
Baca SelengkapnyaSeorang pria belum lama ini berziarah ke makam istrinya. Bukan hanya memanjatkan doa, pria itu juga menyempatkan untuk curhat. Isinya begitu menyayat hati.
Baca SelengkapnyaSosoknya mulai menjadi sorotan usai tetangganya mengabadikan tindakan terpuji sekaligus profesi mulianya ini.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Istrinya meninggal 3 minggu sebelum dikukuhkan, ini momen haru pengukuhan guru besar pasangan suami istri di UMM.
Baca SelengkapnyaTingkah lucu seorang bocah membaca doa makan saat melihat hantu bikin gemas dan menggelitik. Begini jadinya.
Baca SelengkapnyaBocah di Muara Baru, Jakarta Utara tewas dibanting sang ayah Usmanto (43).
Baca SelengkapnyaBerikut momen TKW Indonesia pulang ke Tanah Air diantar langsung oleh bosnya.
Baca SelengkapnyaBerikut kisah cewek yang wisuda sendirian tanpa kehadiran orang tuanya.
Baca SelengkapnyaCara didikan orang tua menentukan keberhasilan anak di masa depan.
Baca Selengkapnya