Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Diskusi Sana-sini Lalu Bubarkan FPI

Diskusi Sana-sini Lalu Bubarkan FPI Polisi turunkan atribut FPI di Petamburan. ©2020 Merdeka.com/Imam Buhori

Merdeka.com - Langkah Front Pembela Islam (FPI) akhirnya terhenti di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka dibubarkan lewat surat keputusan bersama (SKB) enam pimpinan Kementerian dan Lembaga. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tidak banyak melakukan pembelaan.

Muhammadiyah dan PBNU merasa keputusan pembubaran FPI menjadi wewenang pemerintah. Desas-desus kedua ormas ini sudah diajak berdiskusi terkait sikap pemerintah kepada ormas pimpinan Rizieq Shihab pun mengemuka.

Ketua PBNU Marsudi Syuhud tidak menampik bahwa komunikasi terjadi antara pemerintah dengan pimpinan ormas. Biasanya pertemuan itu pemerintah meminta saran terkait situasi tertentu. Khususnya masalah umat. Hal serupa kemungkinan besar juga terjadi ketika ada rencana pembubaran FPI. "Itu bisa-bisa saja mungkin ketua umum atau sekjen (PBNU). Saya belum mengerti siapa yang diundang," kata Marsudi kepada merdeka.com pada Sabut pekan lalu.

Kondisi serupa juga dialami di Muhammadiyah. Sunanto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, mengakui tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi dialog panjang dengan antara pemerintah para Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Menurut Sunanto, pembahasan bukan hanya terfokus pembubaran FPI. Melainkan upaya negara mengajak berbagai elemen masyarakat maupun ormas untuk membangun bangsa. Meskipun dirinya memahami banyak riak suara terkait pembicaraan terkait konsep agama untuk menempatkan kedamaian dan modernisasi Islam.

"Sudah pasti melakukan konsultasi mungkin formal atau nonformal. Tetapi bukan soal membubarkannya. Ini mendengarkan pendapat membangun bangsa dan tentang perilaku-perilaku organisasi untuk membangun bangsa seperti apa, tapi kesimpulannya tetap di pemerintahan," ujar pria akrab disapa Cak Nanto tersebut.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD enggan menjelaskan detil terkait pembahasan sebelum pemerintah menyatakan pembubaran FPI. Dia meminta semua pihak membaca isi SKB pembubaran FPI. "Baca SKB saja," jawa Mahfud singkat kepada merdeka.com.

Setelah berdiri selama hampir 22 tahun, FPI yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 harus menyudahi perjalanan. Pemerintah secara resmi melarang kegiatan, atribut, maupun simbol FPI lewat SKB enam pimpinan Kementerian dan Lembaga.

Keputusan bersama itu dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kapolri Jenderal Idham Azis, dan Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar.

Dalam Konferensi Pers di kantornya, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, secara de jure, FPI telah bubar sejak 21 Juni 2019. Namun, organisasi ini tetap menjalankan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum. Beberapa contoh aktivitas yang disebut Mahfud, yakni tindak kekerasan, sweeping atau razia secara sepihak, mau provokasi.

Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013, pemerintah melarang aktivitas FPI. Pemerintah juga akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI. “Karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa,” kata Mahfud.

Pembubaran FPI pun seakan mendapat banyak dukungan. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Masduki Baidlowi, menilai keputusan yang diambil pemerintah demi melindungi masyarakat yang lebih luas. Terlebih lagi, legalitas FPI memang sudah tidak ada dengan tidak dimilikinya Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Dengan demikian, pelarangan hanya penegasan saja.

“Karena sesungguhnya FPI sudah bubar dengan sendirinya, dengan tidak adanya legal standing berupa SKT. Langkah tegas pemerintah itu justru untuk melindungi masyarakat yang lebih luas, " ungkap dia.

PPP juga mendukung kebijakan pemerintah melarang kegiatan FPI. Mereka melihat FPI menyimpang dari ideologi Islam. Hal tersebut diungkapkan politikus PPP Syaifullah Tamliha sekaligus Anggota Komisi I DPR RI.

Menurut dia, pembubaran terhadap FPI harus diambil hikmahnya oleh banyak ormas Islam lain. Terutama untuk menghindari terlibat dengan organisasi teroris seperti ISIS.

"PPP sebagai partai yang berasaskan Islam tentu saja mendukung setiap upaya kelompok atau aliran yang menyimpang dari ideologi Islam dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang rahmatan lil’alamin dibubarkan aliran yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah pasti akan berdampak negatif bagi keamanan dan ketertiban umum," ujar Syaifullah Tamliha.

Sejumlah alasan menjadi pertimbangan pemerintah ketika memutuskan pembubaran FPI. Salah satunya demi menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara, yaitu Pancasila, UUD RI 1945, keutuhan NKRI, Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi masyarakat (Ormas).

Pemerintah pun menilai bahwa anggaran dasar FPI bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Kegiatan FPI juga dianggap telah bertentangan dengan pasal 5 huruf g, pasal 6 huruf f, pasal 21 huruf b dan d, pasal 59 ayat 3 huruf a, c, dan d, pasal 59 ayat 4 huruf c, dan pasal 82 UU Ormas.

Alasan berikut yang menjadi pertimbangan pemerintah, yakni FPI belum memperpanjang surat keterangan terdaftar (SKT) sebagai ormas. Adapun SKT FPI berlaku sampai 20 Juni 2019. FPI juga tidak memenuhi syarat untuk memperpanjang SKT. Dengan begitu, secara de jure sejak 21 Juni 2019 FPI dianggap bubar.

Tak hanya itu. Pemerintah juga memperhatikan rekam jejak anggota dan pengurus FPI. Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah anggota maupun pengurus FPI terlibat dalam tindak pidana terorisme serta tindak pidana umum. Tercatat sebanyak 35 orang terlibat tindak pidana terorisme. Dari jumlah ini, 20 orang di antaranya telah dijatuhi pidana.

Tercatat pula, ada 206 orang anggota dan atau pengurus FPI terlibat berbagai tindak pidana umum yang 100 diantaranya telah dijatuhi pidana. Anggota dan pengurus FPI juga kerap melakukan tindakan razia atau sweeping di masyarakat yang sesungguhnya merupakan tugas dan kewenangan aparat penegak hukum.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, jika mengacu pada UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), maka pembubaran FPI memang sudah sesuai dengan ketentuan. Namun, tidak demikian jika keputusan tersebut ditilik dari sisi konstitusi atau UUD 1945. Bisa dikatakan, lanjut dia, pembubaran FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip UUD.

Menurut dia hak untuk berserikat dan berkumpul dilindungi oleh UUD. Pasal 28, 28c, 28d, 28i UUD 1945, lanjut Feri menjaga dan melindungi hak-hak orang untuk merdeka, berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat. Baik secara lisan maupun tulisan. “Jadi secara konstitusional UU Ormas yang baru itu bertentangan. Itu sebabnya UU Ormas yang baru ini terkesan sangat Orde Baru ya. Dimana pemerintah yang menunjuk langsung sebuah pembubaran,” kata dia kepada Merdeka.com, pekan lalu.

Dia pun membandingkan UU Nomor 16/2017 dengan Undang-Undang Ormas yang lama, yakni UU Nomor 17/2013. Dalam Undang-Undang yang lama, proses pembubaran ormas harus melalui mekanisme pengadilan. Jadi tidak serta-merta diputuskan langsung oleh pemerintah. Adapun dasar pertimbangan yang dipakai dalam Undang-Undang Ormas yang lama, karena keputusan yang diambil bisa sangat subjektif dan membuat pemerintah terkesan otoriter. “Sehingga dilakukan melalui proses pengadilan.”

Feri menjelaskan bahwa pembubaran sebuah organisasi, termasuk FPI sebaiknya dilakukan lewat mekanisme pengadilan. Jika menilik data maupun fakta yang disampaikan pemerintah terkait pelanggaran FPI maka sesungguhnya tidak sulit untuk menang di pengadilan. Bukan malah dengan serta-merta membubarkan FPI.

Akibat tindakan tersebut bisa berbahaya. Pemerintah bisa terjebak ke dalam nuansa otoritarianisme. Di mana pemerintah nanti sesuka hatinya membubarkan atau lembaga atau institusi lain. “Secara prinsip, secara hak asasi manusia, tidak bisa hak seseorang kemudian dikebiri dengan membentuk UU sendiri. Mestinya dilakukan melalui proses pengadilan yang fair, yang terbuka agar FPI bisa membela dirinya," ujar dia.

Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengharapkan pemerintah berlaku adil. Dalam arti tidak hanya bersikap demikian hanya kepada FPI saja. Dalam pandangan dia, jika yang menjadi alasan pemerintah melarang FPI karena SKT yang sudah tidak lagi berlaku, maka hal yang sama juga harus diberlakukan pada Ormas-Ormas lain yang SKT-nya tidak berlaku dan tidak mengajukan perpanjangan.

Selanjutnya, alasan pembubaran FPI juga terkait aktivitasnya yang dinilai melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Alasan ini juga harus menjadi pertimbangan pemerintah untuk menindak ormas lainnya. “Karena dalam pemahaman saya tidak hanya FPI yang dalam kegiatannya juga melakukan tindakan seperti sweeping dan perbuatan-perbuatan main hakim sendiri,” ujar dia menjelaskan kepada merdeka.com, pekan lalu.

Kuasa Hukum FPI Azis Yanuar menanggapi sejumlah alasan yang dipakai pemerintah ketika membubarkan FPI. Dia membantah pernyataan bahwa FPI melakukan kegiatan yang melanggar hukum. Menurut dia, anggota FPI tunduk pada hukum ketika menjalankan kegiatan. Jika pun ada oknum FPI yang melakukan pelanggaran, maka silakan ditindak. Sejauh ini, lanjut dia, aparat penegak hukum sudah menindak oknum-oknum anggota FPI yang melanggar hukum.

“Ada oknum yang melakukan sweeping kemudian melanggar hukum, dihukum. Sudah kan? Ya sudah. Selesai, trus apa lagi? Kan sama. Saya mau tanya, ada institusi yg bebas dari oknum? Nggak ada. Polisi ada juga yang melakukan kesalahan dihukum, apa terus kita bilang polisi ini salah semua orang, kan nggak,” tegasnya kepada Merdeka.com, pekan lalu.

Menurut dia, kesalahan yang dilakukan individu dalam sebuah organisasi seharusnya tidak menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa organisasi tersebut buruk semata. Pihak manapun, tegas dia, tentu tidak akan menerima jika diberikan stempel berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh segelintir anggotanya. “Pidana itu kan individu. Individunya salah, dihukum. Kalau diidentikkan, kalau saya bales identikan kan tidak ada yang mau,” imbuh dia.

Meskipun berpandangan bahwa pembubaran ormas selaiknya dilakukan lewat putusan pengadilan, Feri mengakui bahwa saat ini mekanisme telah berubah. Menurut dia, pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan pemerintah serta Undang-Undang Ormas yang baru, dapat menempuh jalur hukum. Baik lewat Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Mahkamah Konstitusi.

“Sekarang kan prosesnya berbeda ya. Dulu pengadilan dulu baru pembubaran. Sekarang pembubaran dulu baru pengadilan. Karena ini surat keputusan bersama 6 Menteri dan Lembaga maka menurut saya bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, untuk SKB-nya. Tapi kalau UU Ormas ini bermasalah bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji. Kan dulu sudah pernah diuji. Bisa diuji lagi dengan alasan yang berbeda,” ungkap Azis menjelaskan.

(mdk/ang)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Sekjen PSI soal Dana Kampanye Rp180 Ribu: Bukan Salah, tapi Belum Selesai Diinput
Sekjen PSI soal Dana Kampanye Rp180 Ribu: Bukan Salah, tapi Belum Selesai Diinput

PSI telah menyelesaikan penginputan laporan penggunaan dana kampanye ke KPU.

Baca Selengkapnya
Menelusuri Perbedaan Perolehan Suara PSI antara C1 dan Data Sirekap
Menelusuri Perbedaan Perolehan Suara PSI antara C1 dan Data Sirekap

Pada 26 Februari lalu, partai yang diketuai oleh putra bungsu Presiden Jokowi itu hanya memperoleh 2.001.493 suara atau 2,68 persen.

Baca Selengkapnya
PSI: Lanjutkan Sirekap, tapi Penyempurnaan Harus Dilakukan
PSI: Lanjutkan Sirekap, tapi Penyempurnaan Harus Dilakukan

Sirekap penting sebagai wujud keterbukaan informasi pada masyarakat.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Polisi Kembali Periksa Firli Bahuri Senin Pekan Depan Terkait Kasus Pemerasan
Polisi Kembali Periksa Firli Bahuri Senin Pekan Depan Terkait Kasus Pemerasan

Firli dijadwalkan diperiksa pada 26 Februari pukul 10.00 wib di ruang riksa Dittipidkor Bareskrim Polri lantai 6 Gedung Bareskrim Polri

Baca Selengkapnya
17 April Memperingati Hari Sirkus Sedunia, Kenali Sejarahnya
17 April Memperingati Hari Sirkus Sedunia, Kenali Sejarahnya

Hari Sirkus Sedunia adalah perayaan internasional yang didedikasikan untuk menghormati dan mengapresiasi seni pertunjukan sirkus.

Baca Selengkapnya
4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Berikut Sejarah dan Hasil Suaranya
4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Berikut Sejarah dan Hasil Suaranya

Pemilu 1955 memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia karena hasil pemilu tersebut menjadi dasar pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Selengkapnya
KPU Tetapkan PDIP Peroleh Suara Terbanyak Pemilu 2024
KPU Tetapkan PDIP Peroleh Suara Terbanyak Pemilu 2024

Suara PDIP pada pemilu ini turun dibanding raihan 2019 yaitu 27.053.961 atau 19,33 persen dari total 139.971.260 suara sah.

Baca Selengkapnya
PDIP Pastikan Gugatan di PTUN Jalan Terus Meski Permohonan Sengketa Pilpres Ditolak MK
PDIP Pastikan Gugatan di PTUN Jalan Terus Meski Permohonan Sengketa Pilpres Ditolak MK

PDIP menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak keseluruhan permohonan sengketa hasil Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya
Dewas KPK Tak Permasalahkan Firli Tidak Hadir saat Sidang Putusan Etik
Dewas KPK Tak Permasalahkan Firli Tidak Hadir saat Sidang Putusan Etik

Firli terjerat tiga dugaan pelanggaran etik. Pertama yakni terkait komunikasi dan pertemuan dengan SYL.

Baca Selengkapnya