Akal bulus kepala daerah rakus
Merdeka.com - Lelaki ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul Selasa (12/4) sore. Awak media sudah berjejal di tangga gedung kavling C1, Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan. Tempat Komisi Pemberantasan Korupsi beroperasi.
Pria itu muncul dari ruang dalam diiringi dua pengawal tahanan KPK. Dia adalah Ojang Sohandi. Bupati Subang itu dicokok lantaran menyuap penanganan perkara dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dia menyogok jaksa dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat supaya lolos dari perkara penyelewengan duit BPJS itu. Malah belakangan dia juga terlibat perkara pencucian uang bermuara dari fulus hasil gratifikasi. Sore itu, dengan mengenakan celana panjang coklat, warna khas pegawai negeri sipil, serta kaus hitam berbalut rompi tahanan KPK, Ojang masih mengumbar senyum.
Tak berapa lama, pada Agustus 2016, giliran Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, ditetapkan menjadi tersangka kasus suap penerbitan izin lahan pertambangan. Dia adalah salah satu kepala daerah yang rekeningnya mencurigakan. Duitnya bertebaran mulai dari polisi asuransi dan di beberapa rekening. Fulus itu didapat dari perusahaan tambang. Laporan itu sudah disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan ke Kejaksaan Agung sekitar dua tahun lalu. Namun, Kejagung memutuskan tidak meneruskannya. Petunjuk itu pun disambar KPK.
Bukan kali ini saja banyak kepala daerah masuk bui saat maupun setelah berkuasa. Sejak keran otonomi daerah dibuka, fenomena raja kecil dan dinasti kekuasaan di daerah perlahan muncul. Baik di wilayah sudah mapan maupun pemekaran.
Cengkeraman mereka amat kuat. Bahkan, budaya politik uang seolah menjadi lazim. Persekongkolan antara kekuasaan dan kepentingan bisnis lebih diutamakan, ketimbang kesejahteraan rakyat. Maka tak heran ketimpangan sosial dan kemiskinan seakan enggan pergi. Buat daerah kaya sumber daya alam, lingkungan diisap habis-habisan. Sisanya tinggal kerusakan hingga menyebabkan
Negara bukan tutup mata. KPK pada masa kepemimpinan Abraham Samad dan kawan-kawan pernah membeberkan penelitian tentang itu. Utamanya mereka menyoroti pengelolaan daerah kaya sumber daya alam. Baik dari potensi hutan, tambang, kelautan, energi, atau pengolahan keuangan. Menurut mereka, potensi keuangan negara banyak raib dalam sektor itu. Padahal, itu adalah tulang punggung pemasukan negara. Alhasil, keuntungan itu hanya beredar di antara penguasa, pengusaha, dan orang-orang dekatnya. Tak jarang para tokoh politik hendak maju Pilkada minta sokongan ke para cukong. Hasilnya tentu bisa ditebak. Mereka akan minta imbalan, sebab tak ada makan siang yang gratis.
Bahkan, beberapa kepala daerah itu sudah dipanggil buat mendengarkan paparan tentang kebobrokan di tubuh organisasi mereka pimpin itu. Namun, sepertinya mereka menganggap angin lalu.
Ketua PPATK, Muhammad Yusuf, dua tahun lalu sudah melansir ada 26 bupati mempunyai rekening mencurigakan, dengan jumlah mencapai Rp 1,38 triliun. Bahkan, ada 12 gubernur memiliki catatan transaksi mencurigakan hingga Rp 100 miliar. Jika dibandingkan dengan penghasilan mereka, tentu sulit diterima nalar. Hanya saja, laporan itu sempat mandek.
Yusuf juga membeberkan cara masing-masing para kepala daerah menyamarkan data keuangan. Tujuannya supaya tak terendus penegak hukum.
Contohnya, kata Yusuf, ada kepala daerah sengaja melakukan transaksi keuangan melalui perusahaan pribadi di bidang pertanian. Namun, aliran keluar-masuk fulus perusahaan mencurigakan, lantaran tidak mengikuti siklus masa panen dan masa jual. Setelah diusut, ternyata perusahaan itu fiktif. Sedangkan duit masuk ke rekening adalah dari jatah proyek pemerintah.
Ada lagi cara kepala daerah mengakali data pemasukan perusahaan dengan mengaku mendapat imbalan dari pihak swasta di luar negeri. Setelah diusut, perseroan itu tak pernah ada. Bahkan mereka kadang tak segan melibatkan keluarga buat mengecoh dan menyamarkan transaksi uang haram.
"Mereka menyimpan uang tak tanggung-tanggung. Dalam satu hari bisa ada transaksi ratusan juta di banyak bank berbeda," kata Yusuf.
Sistem pemilihan langsung memang membuka ruang luas praktik politik uang itu. Ujung-ujungnya kepala daerah harus berpikir mengembalikan modal kampanye. Namun logika itu tak seluruhnya benar. Sebab ada di antara mereka memang bermental tamak. Merengkuh kekuasaan maka memuluskan langkah mereka mengisi kocek. Para penegak hukum mestinya terdepan buat menguak praktik akal-akalan ini, tetapi bekerja terpadu. Sebab jika hanya berjalan masing-masing, maka bakal susah mencegah benih kepala daerah doyan rasuah.
(mdk/ary)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Itu perlu diantisipasi terutama kecelakaan lalu lintas dan kemacetan" ujar Slamet
Baca SelengkapnyaSejak ratusan tahun lalu, setiap kali tanah di kawasan ini digali, selalu muncul api.
Baca SelengkapnyaKades menambahkan, hasil komunikasi dengan Dinas Sosial Kabupaten Kendal, ratusan kantong beras yang rusak itu telah diklaimkan ke Badan Urusan Logistik (Bulog)
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kerajaan ini memiliki kekayaan alam dan tanah yang subur serta dikenal sebagai penguasa perairan di bagian utara Selat Malaka.
Baca SelengkapnyaAan mengatakan sejak malam tadi sempat terjadi kepadatan namun tidak sampai menimbulkan kemacetan.
Baca Selengkapnya"Korban ditemukan tewas dengan banyak luka. Diduga akibat pembunuhan," ungkap Kasi Humas Polres OKU Iptu Ibnu Holdon
Baca Selengkapnya“Banyak sekali elemen masyarakat yang ingin melihat di sini dan kami sangat terbuka. Tak ada yang ditutupi di sini,” ujar Bambang.
Baca SelengkapnyaAkibat peristiwa itu, anggota Polres Jakpus mengalami luka robek pada bagian kepala.
Baca SelengkapnyaMereka memotong teralis itu setelah mengetahui kondisi teralis besi ventilasi di kamar mandi yang sedikit terbuka.
Baca Selengkapnya