Mengenal Ayam Ingkung, Kuliner Legendaris Khas Jawa Sudah Ada Jauh sebelum Masuknya Islam
Makanan ini kerap disajikan pada acara-acara penting seperti pengajian, syukuran, atau upacara adat yang lain.

Makanan ini kerap disajikan pada acara-acara penting seperti pengajian, syukuran, atau upacara adat yang lain.
Foto: Ig @ingkung_mbah_kentol

Mengenal Ayam Ingkung, Kuliner Legendaris Khas Jawa Sudah Ada Jauh sebelum Masuknya Islam
Masyarakat Jawa sudah tak asing lagi dengan salah satu kuliner legendaris bernama Ayam Ingkung.
Makanan ini kerap disajikan pada acara-acara penting seperti pengajian, syukuran, atau upacara adat yang lain. Persembahan Ayam Ingkung ini begitu sakral karena makanan itu sarat makna filosofis.
Dikutip dari Jogjaprov.go.id, berdasarkan buku “Atlas Walisongo” karya Agus Suntoyo, kuliner Ayam Ingkung ini merupakan turunan dari Ayam Tukung. Ayam Tukung merupakan sesaji yang berakar dari agama kapitayan yang dulunya berkembang jauh lebih dulu dari agama Islam.

Persembahan Ayam Ingkung ini punya makna filosofis. Salah satunya adalah makna mengayomi. Kata “ingkung” berasal dari kata “jinakung” dari bahasa Jawa Kuno dan “manekung” yang berarti memanjatkan doa.
Pada waktu itu, ayam dipilih sebagai salah satu sesaji karena menyimbolkan manusia. Ayam Ingkung yang disajikan secara utuh dan terlihat sedang bersungkur menggambarkan tunduknya manusia ketika berada di hadapan Sang Pencipta.
Dikutip dari Gunungkidulkab.go.id, Ayam Ingkung juga menjadi simbol kebersamaan, keberkahan, dan kesuburan. Makanan ini menjadi simbol persatuan dalam keberagaman karena disantap bersama-sama oleh masyarakat yang mengikuti sebuah tradisi.
Dalam budaya Jawa, simbol Ayam Ingkung yang disajikan dalam acara adat merupakan sebuah penyatuan antara nilai-nilai kebersamaan, kesyukuran, dan keberagaman yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya, para pembuat ayam ingkung banyak dijumpai. Salah satunya adalah Mbah Dalijan. Ia membuka usaha kuliner ayam ingkung sejak tahun 2015.
“Saya membuka usaha ini sebagai bentuk perjuangan melestarikan seni dan budaya kita sebagai orang Jawa. Dulu waktu zaman perjuangan satu ayam ingkung dinikmati 100 orang untuk kenduri, sesuwir-suwir. Nah sekarang satu ayam ingkung bisa dinikmati cukup oleh empat orang karena sudah merdeka,”
ujar Mbah Dalijan dikutip dari Jogjaprov.go.id.
Mbah Dalijan menyajikan ayam ingkung dengan menggunakan kreneng. Ayam yang dipilih merupakan ayam Jantan. Kreneng sendiri merupakan sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu dan diikat menggunakan tali suh untuk mengeratkannya selama dimasak di dalam panci kurang lebih selama 4 jam.
Ia mengatakan, ayam ingkung yang berada di dalam kreneng yang diikat dengan tali suh menggambarkan keadaan NKRI yang akhirnya mencapai keamanan dan persatuan di bawah kepemipinan Presiden RI setelah merdeka.
