Pemilu Pertama Tahun 1955: Membongkar Strategi Kebangkitan PKI dari Liang Kubur

Sabtu, 4 Februari 2023 06:08 Reporter : Merdeka
Pemilu Pertama Tahun 1955: Membongkar Strategi Kebangkitan PKI dari Liang Kubur Spanduk parpol di Pemilu 1955. ©2023 Merdeka.com

Merdeka.com - Pemilu pertama di Indonesia menorehkan pengalaman buruk bagi para aktivis partai islam: kebangkitan PKI dari liang kubur.

Penulis: Hendi Jo

Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum yang tak terlupakan bagi Suarsa. Mantan aktivis Partai Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) di Cianjur itu sama sekali tak menduga jika partainya tidak bisa meraih posisi terbanyak dalam perolehan suara. Hingga pengumuman terakhir, secara nasional Masyumi hanya mampu menempati posisi nomor dua, setelah PNI (Partai Nasional Indonesia).

"Padahal kami saat itu sangat yakin bisa memenangkan Pemilu mengingat jumlah umat Islam paling banyak di Indonesia," ujar Suarsa (92).

Kisah tentang Suarsa adalah cermin harapan orang-orang Masyumi di Indonesia saat itu. Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, dengan kepercayaan diri yang kuat sebagai penganut agama mayoritas, mereka begitu yakin akan menjadi pemenang.

Tidak hanya itu, Masyumi juga termasuk partai yang memiliki modal besar. Tidak heran jika kemudian mereka bisa mengadakan sarana-sarana untuk kampanye seperti pengeras suara, pemutar film dan tape recorder sehingga bisa mengadakan rapat-rapat besar.

Tak ketinggalan, para juru kampanye yang dikenal memiliki reputasi sebagai 'singa podium' seperti Isa Anshary (Ketua Cabang Masyumi Jawa Barat) bisa mengundang massa yang berlimpah ruah. Justru situasi-situasi inilah, kata Madinier, yang turut andil memberi gambaran keliru di benak orang-orang Masyumi mengenai kekuatan pengaruh mereka sebenarnya.

"Itulah barangkali salah satu contoh yang menjelaskan keterpautan antara harapan yang dipupuk begitu tinggi dengan kenyataan pahit di hari pemungutan suara," ungkap pakar sejarah politik dari Prancis tersebut.

2 dari 4 halaman

PKI Kejutkan Masyumi

Pemungutan suara yang dilakukan pada 29 September 1955 justru menjadi mimpi buruk Masyumi. Alih-alih menjadi juara, mereka harus menerima kenyataan hanya bisa menduduki posisi kedua di bawah PNI dengan angka 20,9 persen. Sedangkan PNI 22,3 persen.

Tetapi yang paling membuat para aktivis Masyumi terpukul justru PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menjadi 'musuh bebuyutan', justru bisa menempati peringkat ke-4 dengan angka 16,4 persen.

Kendati masih terpaut jauh dalam hal jumlah keterwakilan, namun hal tersebut tidak membuat senang orang-orang Masyumi. Mengingat selama kampanye Pemilu 1955, mereka praktis memperlakukan PKI sebagai 'setan besar'. Begitu juga sebaliknya.

Sikap bijak justru diperlihatkan oleh Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir terkait kenyataan tersebut. Dalam Abadi edisi 2 Maret 1955, Natsir menyatakan bahwa kekalahan itu harus menjadi pelajaran bahwa keyakinan yang terlalu tinggi hanya akan menjadikan munculnya ketidakwaspadaan.

"Pemilu telah membuka tabir asap yang tadinya meliputi kita yang merasa diri paling besar jumlahnya… Ternyata semua yang menamakan dirinya umat Islam tidak sama merata dukungan mereka itu kepada ideologi Islam," kata Natsir.

3 dari 4 halaman

PKI Bergerilya

PKI sendiri bisa menyerobot ke posisi empat besar bukan tanpa usaha. Dengan militansi yang mengagumkan, para aktivis PKI 'bergerilya' di basis-basis tradisional partai islam seperti Wonosobo, Brebes, Cilacap, Purbalingga dan Kudus. Mereka bahkan sukses merangkul beberapa kiyai ternama seperti Kiyai Ahmad Dasoeki dan Kiyai Sabitun.

Di Solo, PKI malah mendirikan sebuah organisasi mantel yang menampung keberadaan umat Islam di partainya. Namanya Ikhwanul Muslimin. Menurut Idham Chalid dalam buku biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Ikhwanul Muslimin bikinan PKI itu dipimpin oleh KH. Sirat. Namun menurut ulama NU terkemuka tersebut, dirinya sangsi bahwa KH. Sirat mengerti marxisme dan leninisme yang menjadi dua garis perjuangan PKI.

Selain itu, tim sukses PKI pun sangat pandai membuat sarana kampanye yang sangkil. Sadar keuangan mereka tidak sebanyak parpol-parpol besar lainnya, mereka mencari cara agar kampanye bisa dilakukan semurah meriah mungkin namun mangkus.

Dalam memoarnya, Siswoyo dalam Pusaran Arus Kiri, mantan anggota Sekretariat CC PKI Siswoyo bercerita kendati mereka tidak mengesampingkan rapat-rapat besar, namun pertemuan-pertemuan kecil seperti mengunjungi para buruh dan petani di komunitasnya masing-masing lebih sering dilakukan. Kampanye lebih diarahkan kepada dialog dan diskusi daripada indoktrinasi.

4 dari 4 halaman

Strategi Kampanye

Kampanye mereka pun biasanya hanya menggunakan sarana seadanya namun mangkus. Salah satu contoh, di Jawa Tengah, mereka membuat rakit-rakit dari gedebok pisang lantas ditancapi bendera palu arit (simbol PKI). Rakit-rakit itu kemudian dilabuhkan dari hulu sungai dan dibiarkan mengikuti arus hingga bisa dilihat oleh penduduk sepanjang sungai.

Di Semarang, Kendal dan Pekalongan, para petani PKI membuat ratusan layang-layang yang sudah digambari simbol palu arit. Setelah jadi, layang-layang itu diterbangkan lalu diputus begitu saja hingga jatuh di berbagai tempat hingga desa yang terpencil sekali pun.

Satya Graha, jurnalis dari Suluh Indonesia (koran-nya PNI) menjadi saksi bagaimana militannya para buruh PKI beraksi. Mereka melukis simbol-simbol partai di kereta api-kereta api barang.

"Rupanya mereka mau memanfaatkan kereta api barang yang banyak berkeliling ke banyak tempat di pulau Jawa untuk kampanye," ungkap jurnalis senior itu.

Semua upaya keras itu berbuah hasil yang manis buat PKI: 6.179.914 suara. Itu suatu prestasi jauh dari lumayan bagi sebuah partai politik yang tujuh tahun sebelumnya nyaris diberangus dan hilang dari peredaran politik di Indonesia.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini