Merdeka.com - Ratusan anak-anak ditangkap militer Myanmar sejak kudeta satu tahun lalu. Banyak anak ditangkap untuk dijadikan tebusan oleh tentara dan polisi yang memburu keluarga mereka, menurut menteri dari Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) Myanmar, yang terdiri dari anggota parlemen yang digulingkan militer pada kudeta 1 Februari 2021.
Menteri Urusan Perempuan, Pemuda, dan Anak NUG, Naw Susanna Hla Hla Soe menyampaikan, 287 anak di bawah usia 18 tahun ditangkap sejak 1 Februari 2021. Sebagian besar anak-anak itu ditahan di rutan kantor polisi dan beberapa di lapas.
Media lokal melaporkan bulan lalu, sebanyak 80 anak sekolah di bawah usia 12 tahun ditahan selama 36 jam di kuil Buddha di Kabupaten Yinmabin, Wilayah Sagaing. Wilayah itu ditargetkan militer karena menjadi lokasi para pasukan pertahanan anti militer.
Keberadaan anak-anak yang ditangkapi militer ini sebagian besar tak diketahui, kata Naw Susanna.
Dia menyebut penahanan Dr Htar Htar Lin, mantan kepala program vaksinasi Covid Myanmar, yang ditangkap militer pada Juni 2021 bersama suami, putra mereka yang berusia 7 tahun, dan seekor anjing peliharaan mereka.
Naw Susanna mengatakan Dr Htar Htar Lin ditargetkan karena dia mengembalikan dana 168 juta kyat atau sekitar Rp 1,3 miliar ke PBB, mencegah agar dana itu tidak disita militer. Naw menambahkan, keberadaan keluarga dokter itu belum masih misteri.
"(Anak-anak) tidak bersalah, tapi militer berusaha menangkap para aktivis dan juga anggota NLD (Partai Liga Nasional untuk Demokrasi) dan para aktivis politik," jelasnya, menyebut partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi itu.
"Ketika mereka tidak bisa menemukan orang-orang itu, mereka menangkap anak-anak sebagai tebusan. Mereka juga meminta para aktivis datang dan ditangkap supaya anak-anak itu bisa dibebaskan," lanjutnya, dikutip dari The Guardian, Senin (28/3).
Orang tua menghadapi pilihan sulit, takut mereka, atau keluarga mereka, bisa dibunuh jika mereka muncul.
"Begitu banyak orang tua hancur. Anak-anak mereka ditangkap tapi mereka tidak bisa melakukan apapun karena mereka harus menjalankan hidup mereka," jelasnya.
UNICEF sebelumnya memperkirakan ratusan lebih anak muda juga ditangkap. Disebutkan bahwa tahun lalu sekitar 1.000 anak-anak dan anak muda berusia sampai 25 tahun ditahan militer tanpa alasan.
Naw Susannna diwawancarai The Guardian dari tempat persembunyiannya di Myanmar, di mana dia terus bekerja untuk NUG yang juga terdiri dari para aktivis dan perwakilan etnis minoritas.
NUG dicap militer sebagai kelompok "teroris" oleh junta, dan meminta pengakuan internasional sebagai pemerintahan sah Myanmar.
Setelah kudeta, Naw Susanna tinggal bersama para dokter, memakai jas tenaga medis untuk menghindari penangkapan. Dia akhirnya pergi ke wilayah Myanmar yang dikuasai kelompok etnis bersenjata yang mendukung aktivis pro demokrasi.
Seperti banyak warga sipil lainnya, Naw Susanna menghadapi ancaman serangan udara, dan menderita dehidrasi dan diare karena kondisi saat dia terpaksa harus mencari perlindungan.
Sejak kudeta, sedikitnya 1.600 orang dibunuh pasukan keamanan, menurut data PBB. Lebih dari 12.800 orang ditangkap, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), kelompok advokasi yang menelusuri penangkapan.
Advertisement
Naw Susanna juga menyuarakan keprihatinannya terkait tindakan kekerasan seksual yang dilakukan militer terhadap mereka yang menentang kudeta, tapi mengatakan datanya sulit dikumpulkan.
Dia mengatakan, anak-anak muda lah yang memimpin perjuangan demokrasi berhadapan dengan kekajaman aparat. Banyak orang angkat senjata sebagai tanggapan atas kekerasan militer, sementara yang lainnya melakukan unjuk rasa damai untuk menentang junta.
Naw Susanna mengatakan perjuangan mereka bukan soal dukungan untuk Aung San Suu Kyi atau partainya, tapi didorong oleh tekad agar "tidak kembali ke masa kegelapan", dan oleh keinginan untuk memberantas diskriminasi terhadap etnis minoritas yang telah berlangsung cukup lama di Myanmar, juga diskriminasi berbasis usia dan gender.
Dia juga menyebut permintaan maaf demonstran muda Myanmar, yang mengatakan mereka seharusnya melakukan hal yang lebih besar untuk mendukung Rohingya, yang mendapat sedikit simpati publik ketika mereka menjadi sasaran kampanye kekerasan brutal militer Myanmar pada 2017. Penyelidik PBB menyebut kekerasan itu "bertujuan genosida". Naw Susanna juga menyampaikan permintaan maaf.
Dia mengatakan para politikus senior seharusnya mengikuti apa yang dicontohkan anak-anak muda itu.
"Pendapat saya (anak-anak muda) itu berjuang dalam revolusi ini untuk menyingkirkan kediktatoran militer dan untuk mengakhiri diskriminasi berbasis gender, usia, warna kulit, ras, dan agama yang telah berlangsung lama. Para diktator melecehkan nasionalisme demi mengedepankan kebencian antara kami untuk melanggengkan status quo mereka. Kami muak dengan mereka dan kami tidak akan terpecah lagi. Mereka tidak bisa memecah belah kami lagi. Kami akan membalikkan sistem ini," pungkasnya. [pan]
Baca juga:
Jenderal Myanmar Tegaskan Tak Mau Berunding dengan Kelompok Perlawanan Milisi
AS Putuskan Militer Myanmar Lakukan Genosida terhadap Rohingya
PBB Tuding Tentara Myanmar Lakukan Kejahatan Perang, Penyiksaan & Pembunuhan
Pakar PBB Sebut China dan Rusia Pasok Senjata untuk Junta Myanmar
Putusnya Hubungan Anak dan Orangtua karena Ketakutan pada Junta Militer Myanmar
Pimpinan Junta Myanmar Izinkan Utusan ASEAN Bertemu Anggota Partai Aung San Suu Kyi
Mengenal Tatmadaw, Militer Myanmar yang Terkenal Brutal dan Kejam
Penelitian: Satu dari Empat Orang di Dunia Terancam Banjir Besar
Sekitar 31 Menit yang laluDalam 18 Bulan 149 Buruh Migran Indonesia Tewas di Tahanan Imigrasi Malaysia
Sekitar 1 Jam yang laluPesawat Antariksa China Rekam Seluruh Permukaan Mars, Temukan Objek Mengejutkan
Sekitar 1 Jam yang laluNenek Moyang Paling Awal Manusia 1 Juta Tahun Lebih Tua dari Perkiraan Sebelumnya
Sekitar 3 Jam yang laluSelain Perdamaian, Apa yang Diincar Jokowi Saat Pergi ke Ukraina dan Rusia?
Sekitar 3 Jam yang laluKTT NATO di Madrid Tampilkan Menu Makanan Rusia
Sekitar 5 Jam yang laluKerusuhan di Penjara Kolombia, 49 Napi Tewas Saat Hendak Kabur
Sekitar 6 Jam yang laluWaspada Gelombang Baru Covid, Ini Daftar Varian Virus Corona Paling Menular
Sekitar 9 Jam yang laluPotret Jokowi dan Iriana Berangkat ke Ukraina dengan Kereta Luar Biasa
Sekitar 10 Jam yang laluCerita Reshuffle Kabinet Jokowi
Sekitar 1 Minggu yang laluSosok John Wempi Wetipo, Kader PDIP Miliki Rp65 M Dipuji Megawati Karena Disiplin
Sekitar 1 Minggu yang laluLuhut Bongkar Rahasia, Kisah di Balik Jokowi Sering Merotasinya Sebagai Menteri
Sekitar 1 Minggu yang laluMomen Jokowi Lupa Sapa Zulkifli Hasan dan Hadi Tjahjanto di Sidang Kabinet Paripurna
Sekitar 1 Minggu yang laluCerita Reshuffle Kabinet Jokowi
Sekitar 1 Minggu yang laluRKUHP Pasal Penghinaan, Wamenkum HAM: Tak Dihapus, Dilarang Menghina Bukan Kritis
Sekitar 34 Menit yang laluSenyum Presiden Jokowi Tiba di Ukraina, Dikawal Tentara Bersenjata Laras Panjang
Sekitar 2 Jam yang laluPenampakan Tentara Bersenjata Laras Panjang saat Jokowi Tiba di Ukraina
Sekitar 2 Jam yang laluSelain Perdamaian, Apa yang Diincar Jokowi Saat Pergi ke Ukraina dan Rusia?
Sekitar 3 Jam yang laluPakar UGM Sebut Masyarakat Sudah Kebal Covid-19, Ingatkan Soal Bahaya Ini
Sekitar 4 Jam yang laluWaspada Gelombang Baru Covid, Ini Daftar Varian Virus Corona Paling Menular
Sekitar 9 Jam yang laluUpdate Kasus Covid Nasional Hari Ini Per 28 Juni 2022
Sekitar 23 Jam yang laluHarga BBM Shell Kembali Naik, Bagaimana dengan Pertamina?
Sekitar 3 Minggu yang laluJokowi Soal Harga BBM: Subsidi APBN Gede Sekali, Tahan Sampai Kapan?
Sekitar 1 Bulan yang laluRusia Sebut yang Dirudal Gudang Senjata dari AS-Eropa, Bukan Mal Ukraina
Sekitar 7 Menit yang laluGerindra: Kunjungan Jokowi ke Ukraina & Rusia Bawa Misi Perdamaian Amanat UUD
Sekitar 1 Jam yang laluAdvertisement
Advertisement
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami