Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Islamofobia Meningkat di Prancis Jelang Pemilihan Presiden

Islamofobia Meningkat di Prancis Jelang Pemilihan Presiden Muslim Prancis salat Jumat di jalanan. ©REUTERS/Benoit Tessier

Merdeka.com - Menjelang pemilihan presiden di Prancis, pandangan sayap kanan telah meresapi wacana publik arus utama tentang komunitas Muslim, imigrasi, dan keamanan.

Bagi Anasse Kazib, serangkaian tindakan dan undang-undang negara itu dalam beberapa dekade terakhir berusaha untuk membatasi cara hidup Muslim dengan kedok memerangi "terorisme" dan "Islamisme".

Pegawai kereta api yang juga seorang Marxis berusia 35 tahun dan putra seorang imigran Marokonitu maju sebagai kandidat kiri untuk putaran pertama pemilihan presiden Prancis pada 10 April. Tapi dia gagal mengumpulkan 500 sponsor yang diperlukan dari pejabat terpilih untuk tampil di surat suara, dan mengatakan reaksi pencalonannya oleh lembaga didasarkan pada ketakutan dan permusuhan.

"Ketika saya mencalonkan diri, ada jejak-jejak Islamofobia dan politik reaksioner di sana," jelasnya, dikutip dari Al Jazeera, Senin (4/4).

"Ada poster wajah saya di Paris, dengan kata-kata '0% Prancis, 100% Islamis' tertulis di situ. Ketika Anda seorang aktivis politik, Anda tidak berhak menjadi Muslim, atau bahkan Arab."

Sangat kontras dengan kandidat lainnya, Kazib tidak diberikan jam tayang kampanye oleh media arus utama, yang dia sebut merupakan bukti pesan politiknya dirusak sistem.

Kazib mengatakan dia mencalonkan diri mewakili para pemuda, kelas pekerja, dan orang yang merasa tidak terwakili dalam pemilihan ini.

"Ini melampaui masalah jam tayang; mereka menyangkal keberadaan kami," ujarnya.

"Ketika nama Anda sesuatu seperti 'Anasse Kazib', itu bahkan lebih buruk. Ada bias Islamofobia dan xenofobia yang dipertaruhkan," lanjutnya.

Meskipun dia bangga menjadi keturunan imigran, dan menjadi pekerja dan berasal dari daerah kelas pekerja, dia tidak berbasa-basi ketika ditanya di mana Muslim cocok dalam masyarakat Prancis.

"Identitas Prancis tidak termasuk komunitas Muslim," ujarnya.

"Mereka tidak pernah menghormati kami sebagai orang Prancis. Mereka ingin memutuskan seberapa Prancis kita."

Stigmatisasi komunitas Muslim

Menurut Julien Talpin, peneliti ilmu politik di National Centre for Scientific Research (CNRS), masa jabatan pertama Presiden Emmanuel Macron "suram" bagi Muslim Prancis, dengan pengesahan UU separatisme pada musim panas 2021.

Walaupun pemerintah mengklaim UU itu bertujuan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis, para pengkritik mengatakan UU secara tidak adil mengasingkan komunitas Muslim dan membatasi kebebasan beragama.

"Kami melihat dengan jelas pembahasan di Majelis Nasional bahwa targetnya adalah komunitas Muslim," jelasnya.

"Ada gagasan bahwa ada masalah besar-besaran separatisme dan komunitarianisme di masyarakat, yang harus dilawan oleh Prancis dengan hukum."

UU itu pertama kali diajukan setelah pembunuhan Samuel Paty, seorang guru yang dipenggal oleh pengungsi Muslim Rusia berusia 18 tahun setelah Paty menunjukkan kepada siswanya kartun Charlie Hebdo yang menggambarkan Nabi Muhammad.

Talpin mengatakan, konsekuensinya dihadapi komunitas Muslim. Puluhan masjid ditutup, organisasi Perkumpulan Melawan Islamofobia di Prancis (CCIF) ditutup, dan beberapa lembaga amal Muslim dibubarkan.

Dia juga menambahkan, salah satu konsekuensi paling besar selama Macron menjabat adalah meningkatnya stigmatisasi terhadap Islam dan komunitas Muslim di Prancis.

Tinggalkan Prancis

Prancis memperkirakan ada 5,7 juta Muslim di negara itu, populasi Muslim terbesar di Eropa barat.

Namun menurut penelitian akademik, diskriminasi, kekerasan rasial, dan politik reaksioner terhadap komunitas Muslim telah menyebabkan banyak dari mereka, khususnya golongan berpendidikan tinggi, beremigrasi dari Prancis untuk mencari kesempatan kerja yang lebih baik dan kebebasan yang lebih baik.

Olivier Esteves, seorang profesor Studi Inggris di Universitas Lille, mewawancari 148 Muslim Prancis yang tinggal di luar negeri. Menurut penelitiannya, negara tujuan utama para emigran Muslim ini adalah Inggris, Uni Emirat Arab, Kanada, Maroko, dan Aljazair.

Dalam survei yang lebih luas yang melibatkan 1.074 responden, 69 persen mengatakan diskriminasi dan rasisme menjadi faktor yang membuat mereka meninggalkan Prancis. Sedangkan 63 persen mengatakan mereka meninggalkan Prancis agar bisa menjalankan perintah agama dengan lebih damai, dan 40,5 persen menyebut alasan pekerjaan.

Ketika ditanya apakah mereka akan kembali ke Prancis, hanya 4,56 persen yang menjawab setuju, sedangkan 44,7 persen mengatakan mereka tidak akan pernah kembali.

Esteves mengatakan orang yang memakai simbol keagamaan dengan jelas seperti jenggot atau jilbab kerap sulit mendapatkan pekerjaan di Prancis.

Menurut Talpin, isu identitas Prancis ini tampaknya dipolarisasi oleh kelompok sayap kanan yang menilai menjadi Prancis dikaitkan dengan identitas Kristen, sejarah negara tersebut, dan menerima nilai-nilai Republik.

Tapi bagi Kazib, masyarakat multikuktur tidak berarti penerimaan.

"Sayap kanan menganggap kami sebagai orang Prancis hanya di atas kertas," ujarnya.

"Sayap kanan mengatakan banlieues (pinggir kota) dan quartiers populaires (lingkungan berpenghasilan rendah) adalah zona yang tidak kemana-mana (no-go zone), dan kelompok kiri mengatakan ini adalah kawasan yang dilupakan Republik," jelasnya.

"Apapun itu, ada bentuk subordinasi terus menerus terhadap keturunan imigran - tidak hanya Muslim - di Prancis," pungkas Kazib.

(mdk/pan)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Jangan Termakan Hasutan Kelompok Intoleran Jelang Nataru
Jangan Termakan Hasutan Kelompok Intoleran Jelang Nataru

Jangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.

Baca Selengkapnya
Perangi Radikalisme dan Terorisme dengan Moderasi Beragama
Perangi Radikalisme dan Terorisme dengan Moderasi Beragama

Di tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama.

Baca Selengkapnya
Jihad Sering Disalahpahami untuk Kepentingan Politik dan Ekonomi
Jihad Sering Disalahpahami untuk Kepentingan Politik dan Ekonomi

Islamophobia juga bisa disebabkan oleh propaganda media yang bertujuan membuat kerusakan.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Cara Memuaskan Diri Sendiri Menurut Islam, Perlu Diketahui
Cara Memuaskan Diri Sendiri Menurut Islam, Perlu Diketahui

Islam mengajarkan umatnya untuk mencari kepuasan yang bersumber dari pemenuhan kebutuhan spiritual dan moral.

Baca Selengkapnya
Tasamuh Artinya Toleransi, Begini Penjelasan Manfaat, Dalil serta Contohnya dalam Islam
Tasamuh Artinya Toleransi, Begini Penjelasan Manfaat, Dalil serta Contohnya dalam Islam

Tasamuh merupakan toleransi yang sangat dianjurka untuk diterapkan bagi umat Islam di kehidupan sehari-hari.

Baca Selengkapnya
5 Cara Mengatasi Depresi dalam Islam, Wajib Diketahui Agar Tak Salah Langkah
5 Cara Mengatasi Depresi dalam Islam, Wajib Diketahui Agar Tak Salah Langkah

Depresi bukanlah suatu kondisi yang bisa disepelekan begitu saja. Bahkan dalam agama Islam diajarkan cara mengatasi depresi bagi umat-Nya.

Baca Selengkapnya
Islam Ada Berapa? Berikut ini 7 Aliran Islam yang Wajib Kamu Ketahui beserta Pandangannya
Islam Ada Berapa? Berikut ini 7 Aliran Islam yang Wajib Kamu Ketahui beserta Pandangannya

Merdeka.com merangkum informasi tentang 7 aliran Islam yang wajib diketahui beserta pandangannya.

Baca Selengkapnya
Perbedaan Pilihan Jangan Timbulkan Perpecahan Pasca-Pemilu, Perkuat Kembali Persaudaraan
Perbedaan Pilihan Jangan Timbulkan Perpecahan Pasca-Pemilu, Perkuat Kembali Persaudaraan

Perbedaan pilihan saat Pemilu lalu seharusnya bisa disikapi dengan bijak. Sudah saatnya semua pihak ikut menjaga situasi tetap tenang terlebih di bulan Ramadan.

Baca Selengkapnya