Membedah Turunnya Angka Pernikahan Usia Muda di Indonesia
Angka pernikahan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat drastis.
Angka pernikahan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat drastis.
Pernikahan saat ini bukan lagi menjadi prioritas bagi pemuda Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat drastis.
Berdasarkan laporan teranyar BPS berjudul Statistik Indonesia 2024. Angka pernikahan di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 1.742.049, kemudian pada tahun 2022 menurun menjadi 1.705.348. Pada 2023, angka pernikahan kembali mengalami penurunan menjadi 1.577.255.
Tahun 2014: 2.110.776
Tahun 2015: 1.968.386
Tahun 2016: 1.837.185
Tahun 2017: 1.936.934
Tahun 2018: 2.016.171
Tahun 2019: 1.968.878
Tahun 2020: 1.792.548
Tahun 2021: 1.742.049
Tahun 2022: 1.705.348
Tahun 2023: 1.577.255
Laporan Statistik Indonesia 2024 juga menyoroti angka perceraian di Indonesia dalam tiga tahun terakhir.
Di mana angka perceraian meningkat pada tahun 2022, berikut rinciannya:
- Angka Perceraian Tahun 2021: 447.743
- Angka Perceraian Tahun 2022: 516.344
- Angka Perceraian Tahun 2023: 463.654
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang bercerai. Di antaranya karena poligami, KDRT, dan perselisihan. Masalah perselisihan menjadi faktor paling banyak orang bercerai mencapai 251.828. Disusul kasus KDRT 5.174, poligami 738.
Data pernikahan dan perceraian yang tersedia dalam publikasi ini hanya mencakup pernikahan dan perceraian untuk yang beragama Islam.
Data pernikahan diperoleh dari Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama RI. Sementara data perceraian diperoleh dari Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung.
Sementara itu BPS juga merilis Statistik Pemuda Indonesia 2023. Dalam sepuluh tahun terakhir, perkembangan persentase pemuda yang berstatus kawin dan belum kawin bertolak belakang.
Persentase pemuda yang berstatus kawin semakin menurun sedangkan pemuda yang belum kawin semakin meningkat.
Tercatat pada tahun 2023 mayoritas pemuda berstatus belum kawin mencapai 68,29 persen. Hanya 30,61 persen pemuda berstatus sudah kawin pada 2023.
1. Pemuda Berstatus Belum Menikah
Tahun 2014: 54,11 persen
Tahun 2015: 55,79 persen
Tahun 2016: 58,10 persen
Tahun 2017: 58,42 persen
Tahun 2018: 58,24 persen
Tahun 2019: 59,17 persen
Tahun 2020: 59,82 persen
Tahun 2021: 61,09 persen
Tahun 2022: 64,56 persen
Tahun 2023: 68,29 persen
Tahun 2014: 44,45 persen
Tahun 2015: 42,64 persen
Tahun 2016: 40,46 persen
Tahun 2017: 40,12 persen
Tahun 2018: 40,35 persen
Tahun 2019: 39,44 persen
Tahun 2020: 38,85 persen
Tahun 2021: 37,69 persen
Tahun 2022: 34,33 persen
Tahun 2023: 30,61 persen
Berdasarkan laporan BPS tersebut, menurunnya tingkat pemuda yang statusnya sudah menikah, menunjukkan ada pergeseran usia perkawinan pemuda. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut dapat menjadi penyebab penurunan jumlah pemuda berstatus kawin.
Selain itu, adanya faktor-faktor seperti keinginan mengejar kesuksesan dalam pendidikan dan karir, mengembangkan diri, dan berkurangnya tekanan dari lingkungan sosial memengaruhi keputusan generasi muda untuk menunda pernikahan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo menyebutkan perbedaan tujuan antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu alasan yang menyebabkan angka pernikahan turun.
"Tujuan menikah itu ada tiga, security (keamanan), prokreasi (menghasilkan keturunan), dan rekreasi, nah kalau naluri perempuan itu lebih ke security, perempuan kalau dicintai sepenuhnya, meskipun tidak punya anak akan tenang, tetapi laki-laki kalau belum punya anak bisa gelisah terus," kata dia saat ditemui setelah acara temu media di Kota Yogyakarta, Jumat (8/3), dikutip Antara.
Hasto menyebutkan rata-rata usia perempuan yang menikah juga semakin mundur, dari 20 menjadi 22,3 tahun.
kata dr Hasto Wardoyo.
Menurut dia, tekanan orang-orang sekitar juga menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat tidak ingin melangsungkan pernikahan.
"Kita ini kalau menikah di Indonesia pasti ada tekanan untuk mempunyai anak, karena kalau di Indonesia sudah menikah itu, saat Idul Fitri misalnya, pasti ditanya sudah punya anak atau belum?" kata dr Hasto.
"Semakin kaya, pendidikan tinggi dan bermukim di perkotaan, berkolerasi erat dengan median usia menikah yang semakin mundur," kata Hasto," kata Kepala BKKBN
Baca SelengkapnyaMalang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, perumpamaan ini seolah pas dengan kemalangan yang dihadapi pasangan pengantin di Demak.
Baca SelengkapnyaBak durian runtuh, dia dan sang suami mendapat banyak keuntungan.
Baca SelengkapnyaWanita ini membeberkan murahnya biaya saat dirinya menikah di KUA.
Baca SelengkapnyaPengantin wanita ini menunjukkan komitmennya sebagai anggota KPPS
Baca SelengkapnyaBerbekal kesungguhan dan keyakinan, nyatanya ternak yang dijalaninya membuahkan hasil tak terduga. Ia sukses menjadi seorang peternak entok muda.
Baca SelengkapnyaTak sekedar dipakai di kepala, siger sebagai hiasan pengantin perempuan punya banyak makna.
Baca SelengkapnyaSelain harus mendekam di penjara, pelaku juga gagal menikahi kekasihnya karena akan menikah dengan laki-laki lain.
Baca SelengkapnyaPeristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca Selengkapnya