Konflik lahan di daerah dinilai berdampak langsung pada perempuan

Merdeka.com - Aktivis Agraria dari Sayogo Institut, Siti Maimunah mengatakan konflik lahan yang terjadi di beberapa daerah berdampak besar kepada kehidupan seorang perempuan. Dampak itu dialami perempuan dalam kehidupan berkeluarga dan kesehatan alat produksi.

"Perempuan memiliki tanggung jawabnya banyak. Seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak dan suami. Selain itu, mereka mesti menjaga alat produksi, apabila terkena pencemaran pertambangan muncul kanker rahim," kata Siti dalam diskusi bertajuk 'Sepak Terjang Perempuan Pejuang Lingkungan Hidup' di gedung Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Salemba Jakarta Pusat, Selasa (23/6).

Atas kondisi tersebut, muncul tiga perempuan gigih berjuang merebut lahan pertanian dari perusahaan pertambangan. Ada Eva Susanti Hanafi Bande, yang memperjuangkan lahan di Desa Bumi Harapan Sulawei Tengah dari perusahaan kelapa sawit PT Kurnia.

Selanjutnya, Opung Putra, perempuan yang mempertahankan tanah adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta Sumatra yang dirampas oleh PT Toba Pulp Lestari. Selain itu, ada Gunarti perempuan petani Sedulur Sikep Pati yang menolak pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng, Rembang.

Menurut Eva, hidup yang indah dan damai bersama petani Banggai berubah setelah kedatangan perusahaan kelapa sawit. Kata dia, lahan miliki petani diambil paksa.

"Wilayah di sana sangat indah, tapi kini berubah. Petani mengalami penggususaran dengan alasan ratusan tentara ingin melakukan pelatihan disana. Dulu, Banggalai menjadi pengasil beras terbesar di Indonesia, tetapi sekarang menjadi penerima raskin terbesar," kata Eva, perempuan kelahiran Luwuk, Sulawesi Tengah.

Ia pun terdorong melakukan perlawanan kepada PT Kurnia. Sampai akhirnya dilaporkan ke polisi karena dituduh berunjuk rasa yang berujung pengrusakan aset milik PT Kurnia. Pengadilan pun menjatuhkan vonis empat tahun untuk Eva.

Di Provinsi Sumatera Utara, ada Opung Putra yang pernah pantang menyerah untuk mempertahankan tanah adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung. Tanah warisan yang telah ditinggali secara turun temurun dirampah oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Opung menceritakan ada tindakan kekerasan yang dilakukan pihak TPL karena menghalangi perusahaan tersebut menebang pohon kemenyan dan akan menanam pohon eucalypus. Akibatnya, ia merasakan warga disana kehilangan pekerjaan dan anak-anak sulit mendapat makan.

"Saya ingin semuanya selesai. Kasihan cucu dan anak tidak punya uang dan makanan. Sedangkan orang tua mereka kehilangan pekerjaan. Selain itu, awalnya hutan kemenyan bermanfaat sebagai obat gratis, tetapi sekarang sudah tidak ada," kata ibu bernama asli Rusemdia Boru Lumban Gaol.

Dalam hal ini, Siti Maimunah memandang eksplotasi sumber daya manusia dan alam telah berlangsung lama memakan banyak korban. Keikutsertaan perempuan adalah dampak dari pemerasan pengusaha besar.

"Cerita mereka memang beragam, tetapi dalam satu pola ekspolitasi SDM. Ini adalah pelajaran bagi perempuan, untuk bersama-sama mengoreksi kebijakan pemerintah tentang konflik agraria. Yang merugikan banyak orang," katanya.