BNPT: Tren Teroris Sekarang yang Terpengaruh Kuat Adalah Istri
Merdeka.com - Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan tren teroris yang terpapar paham radikalisme sudah berubah. Saat ini paparan radikalisme sudah menyebar hingga kalangan istri dan anak-anak.
"Tren baru sekarang, kalau dulu dengan laki-laki, suami yang ikut, dan tidak membawa banyak pengaruh, membawa anak dan istri. Tapi trennya sekarang, sejak Sibolga, Surabaya, kemudian seperti Eselon IV Kementerian Keuangan, kemudian Eselon II Batang, yang terpengaruh kuat adalah istrinya. Istrinya ajak anaknya. Anaknya ajak bapaknya," ucap Irfan dalam sebuah diskusi di bilangan Jakarta, Sabtu (16/11).
Dia menuturkan, melihat latar belakang yang terpapar, alasan ekonomi bukan tunggal. "Jadi kalau alasannya ekonomi, Eselon II Batang aja sudah sejahtera. Eselon IV Kementerian Keuangan, bahkan S2 Flinders University, ditemukan di Suriah dengan 5 gadisnya berjuang," ungkap Irfan.
Dia menyebut, banyak faktor seseorang menjadi teroris. Meski menyebutkan faktor ekonomi tidak tunggal, kebanyakan di Indonesia dibungkus akan hal ini.
"Kalau di negara-negara lain bukan faktor ekonomi, tapi di negara kita kemasannya lebih banyak faktor ekonomi tetapi lebih benar dikemas tafsiran agama, dengan jihad diarahkan satu makna, tafsiran hijrah diarahkan satu makna, tafsiran thogut diarahkan satu makna. Dan tafsiran kafir itu dipaksakan ke semua orang, bukan hanya polisi," pungkasnya.
Radikalisme Dinilai Masih Jadi Ancaman Nyata di Indonesia
Paham radikalisme dinilai masih menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir.
"Sepuluh tahun tahun terakhir ini mengkonfirmasi radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah, namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan ancaman radikalisme ini nyata," kata Jaleswari Pramodhawardhani dalam seminar menuju kongres 2 NasDem menggelar diskusi tematik dengan tema Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia" yang digagas Partai Nasdem, Jumat (25/10). Dikutip dari Antara.
Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi. Termasuk ketika Indonesia sedang melakukan agenda Pemilu serta menurunnya kualitas toleransi di Indonesia.
Karena itulah, di dalam periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan memprioritaskan pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila. Semua dilakukan agar muncul penguatan Pancasila di tengah masyarakat.
"Soal radikalisme kita tahu bahwa alarm kita sudah berbunyi. Saat ini pun pembangunan jokowi 5 tahun ke depan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila," ujarnya.
Mantan Asops Panglima TNI, Mayor Jenderal (purn) Supiadin Aries Saputra menjelaskan, gerakan radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia. Dia pun mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
"Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun dengan berkembangnya media sosial, maka gerakan radikal juga ikut berkembang," kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 itu.
Menurutnya, sampai dengan saat ini ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.
"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal untuk menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.
Dia mengingatkan, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia justru adalah bangsanya sendiri. Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional diketahui, di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi 2, atau tidak tangguh.
"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di Medsos," ungkapnya.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penangkapan teroris itu berjalan linier dengan menurunnya aksi terorisme di Indonesia.
Baca SelengkapnyaAksi terorisme memberi dampak buruk, maka setiap 21 Agustus ditetapkan Hari Peringatan dan Penghargaan Korban Terorisme
Baca SelengkapnyaTim Densus 88 Antiteror Polri menangkap DE (28) di Bekasi, Senin (14/8). Tersangka tindak pidana terorisme ini merupakan karyawan BUMN.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Karnita meminta warga untuk menjaga jarak aman dan agar tidak berbuat macam-macam yang bisa mengancam keselamatan.
Baca SelengkapnyaPolisi ungkap detik-detik peristiwa tewasnya eks calon siswa Bintara Iwan oleh anggota TNI AL Serda Adan.
Baca SelengkapnyaDiduga tak bisa mengendalikan kemudi, truk itu menambrak korban hingga membuatnya meninggal di tempat.
Baca SelengkapnyaKasus pegawai KAI ini menjadi sorotan Densus 88 karena meski ISIS bubar, tapi pendukungnya masih ada
Baca SelengkapnyaJangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.
Baca SelengkapnyaDengan perilaku toleransi tinggi, Indonesia diyakini kebal dengan serangan paham radikal terorisme ingin pecah belah NKRI.
Baca Selengkapnya