Menguak Sejarah di Balik Pembangunan Benteng Van Der Wijk Kebumen, Antisipasi Terjadinya Perang Jawa Kedua
Di kemudian hari, benteng itu berubah fungsi menjadi sekolah bagi calon militer
Di kemudian hari, benteng itu berubah fungsi menjadi sekolah bagi calon militer
Saat meletus Perang Jawa atau Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830, situasi Yogyakarta kurang aman.
Saat itu, para etnis Tionghoa yang sebelumnya tinggal di Yogyakarta mengungsi dan mencari tempat yang lebih aman.
Salah satu daerah pengungsian mereka di pesisir selatan Jawa adalah sebuah kota kecil bernama Gombong.
Saat itu, banyak etnis Tionghoa yang menjadi pesuruh Belanda. Mereka diminta untuk mencari tempat strategis militer Belanda.
Maka setelah perang berakhir, daerah Gombogn cocok dijadikan area militer Belanda saat itu.
Tujuannya adalah antisipasi Belanda akan terjadinya kembali perang yang sama seperti Perang Jawa.
Area militer pemerintah Hindia Belanda yang selalu ada yaitu rumah sakit, pusat pendidikan militer, batalyon artileri, pusat angkutan dan infanteri.
Di daerah Gombong pula Belanda mendirikan sebuah benteng yang cukup unik.
Benteng itu dinamakan Fort General Cochius, atau yang di kemudian hari dinamakan Benteng Van Der Wijk.
Lalu seperti apa sejarah berdirinya benteng tersebut?
Benteng Van Der Wijk didirikan pada tahun 1844-1848.
Ada pula yang menyebutkan kalau benteng tersebut sudah berdiri sejak zaman VOC sebagai kantor dagang.
Pada awalnya, benteng itu bernama Fort Cochius. Nama itu diambil dari pemimpin perang Belanda, Frans David Cochius, yang pernah bertugas di daerah Bagelen.
Komandan Frans David Cochius juga menjadi pemimpin perang Belanda saat meletus Perang Diponegoro.
Pada tahun 1956, benteng itu berubah fungsi menjadi sekolah khusus untuk anak-anak. Sekolah itu bernama Pupilen School, atau sekolah calon militer.
“Dulu sekolah itu untuk inlander, atau untuk anak-anak pejabat pribumi yang afiliasinya ke Belanda. Karena daerah sini kan ada Demang, Bupati, Wedana, Asisten Wedana, dan seterusnya. Kemungkinan anak-anaknya sekolah di sini,” kata pengelola tempat itu dikutip dari kanal YouTube Jejak Siborik.
Seiring waktu, benteng itu difungsikan sebagai kantor militer Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, bangunan tersebut digunakan sebagai markas tentara PETA.
Setelah masa kemerdekaan, Jepang menyerahkan diri kepada sekutu.
Bangunan itu kemudian terbengkalai cukup lama. Kemudian bangunan itu diambil alih oleh TNI.
Setelah TNI punya bangunan militer baru, Benteng Van Der Wijk kemudian dijadikan sebagai tempat wisata.
Tak hanya di Jawa, Tanah Minang turut melahirkan tokoh-tokoh besar Muhammadiyah era perjuangan.
Baca SelengkapnyaSekilas tentang Stasiun Tanjung Priok yang konon atapnya terinspirasi dari stasiun besar di Amsterdam.
Baca SelengkapnyaSalah satu bangunan peninggalan DSM yang sampai sekarang masih berdiri kokoh adalah Stasiun Medan
Baca SelengkapnyaSebelum menjadi sekolah seperti sekarang, SMPN 5 Bandung punya cerita sejarah kelam. Dulu pernah menjadi penjara bagi orang Belanda.
Baca SelengkapnyaBentrokan dua kelompok warga di di Kompleks Perumahan Pemda, Maluku Tenggara menyebabkan satu pelajar tewas.
Baca SelengkapnyaKini kondisi bangunan bekas Stasiun Cikajang benar-benar memprihatinkan
Baca SelengkapnyaNamanya dianggap terlalu Jawa hingga tidak diizinkan sekolah di institusi pendidikan milik Belanda
Baca SelengkapnyaMeski harus bergelantung di atap agar seragam tak basah, perempuan itu tampak bahagia.
Baca SelengkapnyaTanaman ini dibawa oleh orang-orang Belanda ke Nusantara.
Baca Selengkapnya