Kisah Hidup Noyo Gimbal, Pejuang Anti Kolonial dari Blora
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada.
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada.
Pada abad ke-18, di wilayah Blora pernah hidup seorang pejuang bernama Noyo Gimbal atau Noyo Sentiko. Pada masa hidupnya, ia pernah melakukan tapa brata di Gunung Genuk, wilayah pegunungan Kendeng Utara, Kabupaten Rembang.
Dilansir dari kanal Liputan6.com, Noyo Gimbal mengawali perlawanan terhadap kolonial Belanda dari daerah Rembang. Pada saat itu, keputusannya untuk memerangi Belanda disambut sorak-sorai masyarakat.
Setelah itu, Noyo Sentiko mengumpulkan kekuatan di sebuah wilayah bernama Gunung Surak. Pasukannya terdiri dari para berandal Sedan dan Pamotan.
Dalam sebuah perang melawan tentara Belanda, mereka terjebak di tanah lapang daerah Tireman, Rembang. Pusakanya yang berwujud payung terbakar menjadi abu karena terkena meriam Belanda.
Namun, tekad pantang menyerah sudah menyatu dan tidak membuat mereka mundur selangkahpun. Hal ini membuat banyak rakyat bersimpati dan mendukung perjuangan Noyo Gimbal.
“Akhirnya para pejuang yang terdiri dari orang-orang Pribumi dan keturunan Cina, para berandal, santri, hingga kiai berkumpul di alun-alun Masjid Jami’ Lasem,” kata Sariman Lawantiran, Koordinator Komunitas Jelajah Blora, dikutip dari Liputan6.com.
Setelah Sholat Jumat, mereka Bersatu untuk angkat senjata melawan Kompeni Belanda. Mereka berjuang sampai mati mengorbankan jiwa dan raga untuk mengusir penjajah.
Pada saat itulah Noyo Gimbal bersumpah tidak akan memotong rambutnya hingga penjajah kolonial Belanda mundur dan hengkang dari bumi Jawa.
Karena lama bergerilya di gunung, hutan, desa, hingga kota, rambutnya terurai panjang. Hal inilah yang membuatnya mendapat julukan “Gimbal” di nama belakangnya.
Mbah Moeljadi, tokoh masyarakat dan sesepuh Desa Bangsri, Jepon, Blora, menjelaskan di kemudian hari perjalanan gerilya Noyo Gimbal sampai di Desa Bangsri.
Di sana, terjadi perang terbuka antara para pejuang pimpinan Noyo Gimbal dengan kompeni Belanda bersama antek-anteknya.
Pada perang itu, banyak musuh yang terbunuh sehingga rambutnya yang terurai panjang bercampur dengan darah.
Dari perjalanan gerilya tersebut, munculah nama-nama desa seperti Desa Ngrapah, Desa Nglorong, Desa Sitinggil, Desa Semampir, Desa Kemiri, Desa Sambeng, dan Desa Besah.
Karena perlawanan itu cukup masif, akhirnya Belanda kewalahan. Pihak kolonial mencari strategi untuk mengalahkannya dengan segala cara, termasuk siasat licik. Konon lewat makanan yang telah dicampur racun, Noyo Gimbal tidak sadarkan diri dan berhasil ditangkap.
“Karena tergolong sakti dan punya banyak kelebihan, tubuh Noyo Gimbal diikat, dimasukkan ke dalam tong besar, dipatri, lalu diceburkan ke laut,” kata Mbah Moeljadi.
Hingga kini, tak ada yang tahu di mana makam Noyo Gimbal berada. Hanya ada satu monumen di Desa Bangsri, Kecamatan Jepon, Blora, yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa Noyo Gimbal.
Dia juga kerap terlibat kejahatan pencurian di Papua yang sempat ditangkap lalu melarikan diri
Baca SelengkapnyaLantaran aksinya, dia diganjar apresiasi dari AHY hingga SBY.
Baca SelengkapnyaSosok Pengamen Kukuh Haryanto pun jadi perbincangan publik.
Baca SelengkapnyaSalah seorang Caleg Partai Demokrat berambut gimbal bikin kejutan.
Baca SelengkapnyaJalan Kukuh menuju gedung dewan tidak lantas berjalan mulus.
Baca SelengkapnyaWalaupun sudah dipotong dan diruwat, beberapa anak rambut gimbalnya tetap tumbuh hingga menginjak dewasa.
Baca SelengkapnyaUntuk drone ini nantinya bisa melakukan zoom mencapai 30 kali.
Baca SelengkapnyaMomen Panglima TNI bersama Kapolri lakukan patroli udara dengan helikopter.
Baca Selengkapnya