Menikmati keindahan matahari terbit di Sungai Gangga
Merdeka.com - Cerita sebelumnya: Serunya, berpetualang menjelajah Negeri Bollywood!
"Ayo ladies, kenapa kalian nggak menghabiskan waktu dengan travelling, daripada cuma tidur dan makan?" kata Jaideep alias JD, host family saya di India yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Saya tahu kata-katanya memang agak kurang ajar.
"Where?"
"Taj Mahal, Ganges River, Golden Temple, we have everything girl..." jelasnya lagi.
Berbekal suntikan semangat dari JD, serta keinginan saya dan Nara untuk membeli oleh-oleh untuk keluarga tercinta, maka kami pun memesan tiket kereta ke Varanasi. Kami sengaja memesan sleeper train class seharga 350 rupee (sekitar Rp 62.847) untuk rute Jalandhar-Varanasi supaya dapat merasakan the real India.
Namun, ternyata kereta yang kami tumpangi itu dijadwalkan berangkat dini hari. Bepergian dengan kendaraan umum saat dini hari, bukanlah hal yang baik di India apalagi bagi wanita. Tetapi apa boleh buat, kami harus menaikinya karena tiket sudah terlanjur dibeli. Sungguh, saya sendiri tidak tahu apa yang terlintas di benak saya saat itu.
Keselamatan dan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi pada saya, sama sekali tidak terpikir oleh saya dan Nara, karena apa yang saya rasakan saat itu hanyalah keinginan untuk mengunjungi kota di mana Sungai Gangga berada dan Dewa Durga bersemayam. Maka, dengan tas ransel di punggung dan gunting kecil di kantong celana jins, kami berangkat menuju stasiun Jalandhar Cant. guna menemui "makhluk biru" yang akan membawa kami menuju Varanasi, kota tersuci di India.
Pada tiket dituliskan bahwa perjalanan ke Varanasi ini akan memakan waktu sekitar 24 jam. Saya tidak terlalu ambil pusing, toh nantinya saya tetap akan menghabiskan banyak waktu di kereta dengan tidur, karena saya memilih sleeper train. Setelah menemukan kompartemen yang sesuai dengan yang tertera di tiket, saya segera menaiki "kasur" saya yang berada di tingkat tiga. Saya pun menata posisi senyaman mungkin untuk tidur dengan menggunakan ransel saya sebagai bantal.
Satu hal penting yang lupa saya bawa saat itu. Jaket! Amunisi paling penting ketika kita bepergian menggunakan kereta pada saat musim dingin. Saya hanya bisa merapatkan syal sambil memandang iri pada penumpang lain yang tertidur pulas dengan selimut tebal mereka.
"Oh Tuhan... Sumpah saya tidak bisa tidur karena badan saya menggigil tidak karuan," keluh saya.
Suhu di India kala itu berkisar 3-5 derajat, dan betapa rasa dingin menusuk tulang-tulang saya. Saya benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Untuk mengalihkan rasa dingin, saya mulai berkonsentrasi pada kata 'Shivam' yang menjadi merek kipas angin yang menempel di atap kereta.
Kemudian sekitar pukul 6 pagi, udara mulai sedikit menghangat dan saya putuskan untuk menemui Nara yang "kasurnya" terletak di bawah. Saya mencoba untuk tidur tetapi mata bapak-bapak India yang sedari tadi melihat ke arah saya terus mengusik saya. "Kamu harus siap diplototi oleh penduduk lokal ketika berada di India", begitu bunyi kata-kata yang saya temukan di salah satu guide book tentang India.
Saya pun memasang wajah ramah. Tak disangka bapak-bapak itu juga tersenyum. Dan obrolan gayeng pun berlangsung. Pertanyaan seputar dari mana saya berasal, kenapa saya ke India, dan berapa lama saya ke India mengisi perbincangan itu. Hingga kemudian saya memberikan pecahan seribu rupiah kepadanya karena saya ingin memberikan souvenir untuk membalas kebaikan hatinya. Tak disangka lagi, ia menolaknya karena melihat nominal 1000 yang tertera di uang kertas itu. Ia berkata bahwa saya tidak perlu memberikannya uang sebesar itu karena dipikirnya uang seribu rupiah sama dengan seribu rupee yang menjadi pecahan terbesar di India. Well, redenominasi sebaiknya harus cepat dilakukan.
Tak lama berselang, bapak itu pun turun dan kereta terus berjalan hingga akhirnya sekitar pukul 12 malam kami sampai di Varanasi. Saat keluar dari stasiun Varanasi, saya dan Nara langsung diserbu oleh para supir otorickshaw (sejenis bajaj) dan para calo hotel. Semua memanggil kami dengan sebutan Madam. Sungguh suasana yang sangat ramai sekali. Banyak orang berteriak, bergerak dengan agresif menyerang kami yang sudah sangat kepayahan ini.
Akhirnya berbekal alamat guest house yang sebelumnya sudah saya pesan melalui email, saya mengiyakan tawaran salah satu supir otorickshaw yang sangat gigih menarik perhatian saya. Ia begitu bahagia sekali saat saya memintanya untuk mengantarkan kami ke guest house di pinggiran Varanasi dengan ongkos 100 rupees yang semula saya tawar namun ia menolaknya sebab saat itu sudah larut malam.
Pengurus Om Guest House dengan ramah menyambut kami walaupun saya tahu ia nampak lelah karena menunggu kedatangan kami. Maka setelah ia menunjukkan kamar dan menerima pembayaran, kami langsung membersihkan tubuh kami dan kemudian tertidur pulas. Mempersiapkan diri demi menyambut matahari terbit di tepian sungai Gangga.
Bunyi lonceng kecil dan pujian-pujian yang dinyanyikan umat Hindu membangunkan kami berdua. Kami pun bergegas menuju tepian sungai Gangga, duduk di tempat yang agak bersih, dan melihat matahari terbit. Panorama di pagi hari di sungai Gangga sungguh merupakan hal yang harus dinikmati oleh para traveler yang mengunjungi tempat ini.
Entah kenapa, namun kami hanya merasakan kedamaian kala itu. Saya menarik napas panjang (jujur, saya mencoba mengabaikan bau-bauan yang timbul karena kotoran sapi, anjing, dan mungkin manusia yang banyak tersebar di tepian sungai Gangga) dan mengembuskannya secara perlahan sambil melihat matahari yang muncul malu-malu di ufuk timur. Begitu terus hingga saya merasa tenang dan damai.
Sayup-sayup doa umat Hindu menambah kesyahduan pagi itu. Burung-burung kecil yang keberadaannya dibiarkan bebas begitu saja (umat Hindu di India sungguh menjaga keselarasan alam dengan berupaya tidak menyakiti hewan) menjadi pelengkap yang indah di pagi nan elok itu. Dari kejauhan terdengar suara seruling bambu yang dimainkan oleh hippy traveler yang menurut saya berasal dari Tibet. Saat saya menoleh, ia tersenyum lembut sambil memainkan serulingnya. Kedamaian itu sungguh mampu menghapus segala macam keruwetan yang selama ini saya alami di India.
Hanya syukur yang bisa saya panjatkan pada Tuhan saat itu sebab saya bisa menikmati karunia-Nya dengan berbagai macam cara. Saat itu, saya berada ribuan kilometer jauhnya dari rumah saya, tempat yang selama ini saya anggap sebagai zona paling yang nyaman dan bisa memberikan kedamaian. Namun, nyatanya kedamaian itu juga saya bisa rasakan di sungai Gangga, tempat tersuci bagi umat Hindu. Saya pikir kedamaian bukanlah hanya tentang tempat, namun bagaimana kita bisa membuka hati untuk bersyukur sehingga kita bisa berdamai dengan diri sendiri.
Ayo ikuti terus petualangan seru saya di Negeri Bollywood!
(mdk/des)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
India Lepaskan Merpati yang Dituding Jadi Mata-Mata China, Di Sayapnya Ada Tulisan
Baca SelengkapnyaPara peneliti di India baru-baru ini menemukan seekor katak hidup dengan jamur kecil tumbuh di sisi tubuhnya. Yuk, simak penjelasannya!
Baca SelengkapnyaMasyarakat perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memilih belanja kebutuhan rumah tangga ke Malaysia dengan berjalan kaki.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Ruang angkasa merupakan tempat hampa yang tidak memiliki atmosfer untuk menyebarkan cahaya bintang atau matahari.
Baca SelengkapnyaIrham memulai perjalanan karirnya saat masih kuliah. Saat itu dia senang mempelajari ilmu yang berkaitan dengan pengembangan diri.
Baca SelengkapnyaMasyarakat diingatkan BMKG untuk meminimalisir paparan sinar matahari pada pukul 10.00-16.00 WIB.
Baca SelengkapnyaJemaahnya tidak hanya berasal dari Indonesia, ada juga dari mancanegara.
Baca SelengkapnyaSejak ratusan tahun lalu, setiap kali tanah di kawasan ini digali, selalu muncul api.
Baca Selengkapnya