Peneliti UGM Temukan Ada 204 Kasus Kekerasan di Papua Tewaskan 356 Orang Sejak 2010

Merdeka.com - UGM melakukan penelitian terkait kekerasan di Papua. Dari hasil penelitian UGM, diketahui sejak rentang waktu 2010 hingga 2020 telah terjadi 204 kasus kekerasan di Papua.
Peneliti di Gugus Tugas Papua UGM Gabriel Lele menjelaskan tim UGM menemukan 204 tindak kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat selama 2010 sampai Mei 2020. Dari kasus kekerasan itu, lebih dari setengahnya dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Kami ingin memetakan kasus kekerasan di Papua polanya seperti apa. Konfliknya multidimensi. Tidak hanya secara vertikal, tapi tidak sedikit yang berupa kekerasan horizontal," ujar Gabriel saat dihubungi wartawan, Jumat (27/11).
Gabriel menjabarkan lewat penelusuran di lapangan dan riset media lokal, tim UGM menemukan sebagian besar kasus kekerasan yakni 118 kasus dilakukan oleh KKB. Sementara itu 42 kasus oleh warga, 28 kasus oleh TNI-Polri, dan 16 kasus oleh orang tak dikenal.
Gabriel merinci bahwa kasus kekerasan itu mengakibatkan 1.869 orang menjadi korban. Dari angka tersebut, 356 orang meninggal dunia.
Dari 356 orang meninggal ini 250 orang adalah warga sipil, 46 personel TNI, 34 polisi, dan 26 anggota KKB. Gabriel menjabarkan bahwa dari rincian itu diketahui 70 persen korban meninggal dunia adalah warga sipil.
Gabriel memaparkan di tahun 2017, korban mencapai jumlah terbanyak yakni 635 orang. Adapun pada 2019, korban jiwa mencapai angka tertinggi yakni 250 orang. Sebagian besar daerah yang mengalami tindak kekerasan di wilayah pegunungan Papua, dengan kasus tertinggi di Kabupaten Puncak Jaya, Mimika, dan Nduga.
Gabriel menuturkan jika dari riset UGM menunjukkan jika 64 persen motif tindakan kekerasan terkait gerakan separatis. Selain itu, ada motif politik pada 11 persen kasus, balas dendam 10 persen, pemerkosaan dan ekonomi masing-masing dua persen.
"Pemerintah telah menempuh sejumlah pendekatan agar kekerasan di Papua tak terulang. Pendekatan keamanan secara tradisional seperti mengerahkan pasukan tak lagi jadi pilihan. Tapi pendekatan yang menjawab kebutuhan masyarakat agar bisa berubah. Kesehatan, pendidikan, ekonomi diperbaiki," ungkap dosen Fisipol UGM ini.
"Hanya saja, sekelompok orang terutama KKB, tak peduli dengan langkah pemerintah. Mereka harus didekati secara kultural dan dialog. Di titik ini, pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Tokoh agama dan masyarakat harus dirangkul," imbuh Gabriel.
Gabriel menyebut dua langkah itu menjadi upaya penanganan kekerasan vertikal di Papua. Adapun kekerasan horizontal diselesaikan melalui transformasi nilai konflik yang mencuat saat momen tertentu, seperti Pilkada.
"Kami melakukan advokasi ke Pemda bagaimana nilai kekerasan secara kultural itu ditransformasi ke nilai yang lebih damai," urai Gabriel.
Gabriel menambahkan jika temuan riset ini akan terus diperbarui dan menjadi bekal bagi pemerintah dan Pemda untuk meretas jalan damai di Papua.
"Satu kasus saja bisa membuat buyar berbagai terobosan positif pemerintah. Banyak capaian pembangunan kalah gaungnya dengan satu kasus kekerasan," kata Gabriel.
Sementara itu, salah seorang generasi muda Papua, Hemi Enumbi mengatakan bahwa harapan untuk Papua damai pun harus terus disuarakan.
"Papua yang damai itu sudah menjadi harapan yang melekat di diri kita sebagai manusia," ucap Hemi.
Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta ini menjabarkan jika banyak hal harus dibenahi oleh pemerintah daerah dan diperlukan interaksi yang baik oleh warga di sana yang beragam.
Hemi meyakini jika kondisi di Papua masih bisa dibenahi. Salah satunya dengan jalur pendidikan.
"Kejadian-kejadian di Papua adalah kurang pemimpin yang bijak dan kurangnya pemahaman kepada masyarakat Papua. Jadi intinya kembali ke pendidikan karena dari pendidikan itu bisa membawa Papua bisa lebih maju dan bisa hidup dengan damai," kata Hemi.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya