7 Lokalisasi di Malang ditutup, 308 PSK dibina

Merdeka.com - Tujuh lokalisasi yang beroperasi di wilayah Kabupaten Malang, terhitung sejak Senin, 24 November 2014 ditutup oleh pemerintah setempat untuk selama-lamanya. Segala bentuk aktivitas dihentikan, dengan menyegel wisma-wisma tempat mereka beroperasi selama ini.

Pemerintah selanjutnya akan memfasilitasi untuk alih fungsi lahan yang selama ini digunakan. Penutupan dipusatkan di Lokalisasi Girun, Gondanglegi, dengan ditandai pembukaan papan nama 'Lokalisasi PSK Girun Gondanglegi Ditutup Total' dan penempelan stiker di pintu losmen.

Ketujuh lokalisasi itu meliputi lokalisasi Suko (Kecamatan Sumberpucung), Slorok (Kromengan), Kebobang (Wonosari), Girun (Gondanglegi), Kalikudu (Pujon), Embong Miring (Ngantang) dan Pulau Bidadari (Sumbermanjing Wetan). Total ada 308 PSK (pekerja seks komersial) penghuni panti dan 90 mucikari yang harus menghentikan profesinya.

Bupati Malang, Rendra Krisna mengungkapkan, rencana penutupan lokalisasi di Kabupaten Malang sudah diprogramkan sejak 2010. Tujuan muaranya adalah untuk meningkatkan derajat kemanusiaan dengan mendorong para PSK mendapatkan pekerjaan lain.

"Kita bukan tidak setuju, dalam artian memberikan pekerjaan, tapi bagaimana pekerjaan itu sesuai dengan norma-norma agama dan martabat," kata Rendra Kresna di Lokalisasi Girun, Senin (24/11).

Data PSK di tujuh lokalisasi tersebut berjumlah 324, namun mengalami perubahan setelah dilakukan verifikasi di lapangan oleh Kemensos. Terakhir jumlah mereka menjadi 308 orang.

Mereka telah mendapatkan pelatihan keterampilan dan mendapat sertifikat sebagai bekal setelah tidak lagi menjadi PSK. Dinsos juga melakukan pendampingan selama tiga bulan, termasuk pengawasan agar tidak kembali ke lokalisasi. Jika setelah penutupan dan ternyata masih ada PSK yang secara diam-diam tetap beroperasi, Muspika setempat akan melakukan penertiban.

Iwan Subagio dari LSM Paramitra melihat masih banyak pekerjaan pascapenutupan lokalisasi. Dirinya menyimpan kekhawatiran dari efek penutupan, jika pemerintah tidak mengantisipasinya secara tepat.

"Mobilisasi mereka akan semakin sulit dikontrol, karena mereka tidak lagi di lokalisasi, kemungkinan akan buka praktik secara sembunyi-sembunyi sangat besar. Soal prostitusi sebenarnya tidak hanya penutupan lokalisasi, meski ditutup mereka masih bisa berkomunikasi dengan pelanggan lewat SMS atau Facebook," katanya.

Pada tahapan seperti itu, faktor pendampingan sangat dibutuhkan. Tidak melulu pendampingan ekonominya, tapi penting juga untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak menjadi penyebar penyakit. Tetapi, karena keberadaan mereka yang tidak bisa dilokalisir akhirnya pekerjaan terkait pencegahan penyakit menular bahkan HIV/AIDS menjadi semakin berat.

Sementara tokoh masyarakat di lokalisasi Girun, Sekartadji Cahyono, akan melihat perkembangan lebih lanjut dari keputusan penutupan lokalisasi. Pihaknya setuju dengan penutupan lokalisasi, dengan disertai program-program pemberdayaan. Para PSK masih menunggu dana kompensasi yang bisa menjadi bekal usaha yang hingga kini belum mereka dapatkan.

"Kita ikuti saja program pemerintah seperti apa. Sebenarnya para penghuni di sini menunggu kompensasi yang akan diberikan," katanya.

Dinsos Kabupaten sendiri sedang mengajukan bantuan dana sebesar Rp 5 juta untuk setiap PSK ke Kemensos sebagai bekal membuka usaha. Namun hingga kini memang sedang dalam proses pengajuan.