Legislasi: Jokowi lelet, DPR pasang tarif
Merdeka.com - Demonstrasi sopir taksi yang diwarnai beberapa aksi anarkis, Selasa (22/3), memperlihatkan bahwa pemerintah Jokowi lambat bertindak. Pemerintah sudah menyadari bahwa perkembangan teknologi tidak bisa dicegah, tetapi responsnya sebatas mengeluh, berwacana, dan berjanji akan melakukan ini itu.
Ini terlihat dari pernyataan Menkominfo Rudiantra dan Menhub Ignasius Jonan. Yang satu menyatakan bahwa industri digital harus dilindungi dan dikembangkan; yang satu lagi bilang, perkembangan industri digital menerjang banyak peraturan transportasi.
Wacana yang sudah muncul sejak mereka dilantik, mestinya segera ditindaklanjuti: mengubah peraturan yang menghalangi industri digital sekaligus menata industri digital dan transportasi agar benar-benar bermanfaat bagi orang banyak. Namun mereka berdebat terus, sampai sopir taksi dan tukang ojek baku hantam.
Memang tidak gampang menata kembali industri digital dan transportasi, jika perkembangan dua industri tersebut menyimpang atau menabrak undang-undang. Itu artinya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus diubah. Artinya juga harus melibatkan DPR.
Padahal kita tahu, DPR hasil Pemilu 2014 tidak kalah leletnya dalam urusan pembuatan undang-undang atau legislasi. Pada tahun pertama mereka bekerja (1 Oktober 2014 – 1 Oktober 2015), DPR hanya menghasilkan 3 undang-undang. Memasuki tahun kedua beberapa undang-undang disahkan, tapi masih jauh dari yang mereka targetkan sendiri.
Alih-alih meningkatkan kualitas kerja demi produktivitas legislasi, dalam urusan legislasi, DPR justru terang-terangan mengajak pemerintah bertransaksi.
Sepanjang Desember 2015-Januari 2016 lalu, pemerintah dan DPR berdebat panjang menyusun Program Legislasi 2016. Banyak rancangan undang-undang (RUU) yang disepakati untuk dibahas sepanjang tahun ini, tetapi dua RUU menyita waktu.
Di satu pihak, DPR ngotot agar RUU Perubahan UU KPK dibahas meski pemerintah keberatan; di lain pihak, pemerintah mendesak RUU Pengampunan Pajak, meski DPR hendak menolak. Keduanya lalu bertransaksi: DPR mau membahas RUU Pengampunan Pajak jika pemerintah mau membahas RUU Perubahan UU KPK.
Rupanya desakan publik untuk menolak perubahan UU KPK demikian kuat, sehingga Presiden menyatakan, pemerintah menolak perubahan UU KPK. Sebagai balasannya DPR pun menolak membahas RUU Pengampunan Pajak, yang disertai macam-macam alasan.
Tentu tidak adil jika rendahnya produk legislasi semata disebabkan oleh kinerja dan kelakuan DPR. Presiden justru pegang kendali dalam memastikan suatu undang-undang itu dibahas atau tidak. Pengalaman selama ini menunjukkan, 90% RUU berasal dari pemerintah, sehingga jika pemerintah tidak produktif membuat RUU, proses legislasi pun akan berjalan lambat
Contoh yang paling nyata adalah RUU Perubahan UU Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada Serentak Desember 2015 menunjukkan banyak masalah yang bersumber dari pasal-pasal dalam UU Pilkada (UU No 8/2015). Mahkamah Konstitusi telah membatalkan dan mengubah beberapa pasal.
Pemerintah dan KPU juga sudah melakukan evaluasi menyeluruh. Namun sampai saat ini, RUU tersebut belum jadi. Padahal Pilkada Serentak Februari 2017, sudah memasuki tahapan persiapan pada April 2016.
Nah, jika kembali ke masalah perkembangan industri digital dan transportasi yang membikin marah sopir taksi dan tukang ojek, pertanyaannya: apakah pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo dan Kemenhub sudah menyiapkan draf RUU Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan draf RUU Perubahan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan? Jika jawabnya belum, lalu ngapain saja selama ini?
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jokowi Dituding Tidak Netral, TKN Jelaskan Aturan Hukum Perbolehkan Presiden Dukung Capres
Jokowi memiliki hak individu untuk mendukung paslon manapun.
Baca SelengkapnyaJokowi Serahkan Bantuan Pangan di Maros
Bantuan tersebut sebagai upaya menghadapi kenaikan harga beras.
Baca SelengkapnyaJokowi Tegaskan Kelangkaan Beras Tak Ada Hubungan dengan Bantuan Pangan
Dia mengatakan, bantuan pangan yang diberikan pemerintah ke masyarakat mampu menahan harga beras agar tidak naik.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Presiden Jokowi Terbitkan Perpres Kenaikan Tunjangan Petugas Bawaslu: Dari Rp24.930.000 jadi Rp29.085.000
Besaran nominal tunjangan kinerja yang dibayar per bulan itu dibagi atas 17 tingkatan kelas jabatan.
Baca SelengkapnyaJokowi Kembali Singgung UU Perampasan Aset: Bolanya Ada di DPR
Jokowi Kembali Singgung UU Perampasan Aset: Bolanya Ada di DPR
Baca SelengkapnyaJokowi akan Pertimbangkan Kembali Rencana Naikkan PPN 12 Persen
Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 mendatang.
Baca SelengkapnyaCurhat Jokowi: Harga Beras Turun Saya Dimarahi Petani, tapi Kalau Beras Naik Saya Dimarahi Ibu-Ibu
Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa urusan pemerintah dalam mengelola pangan untuk 270 juta penduduk Indonesia bukan hal yang mudah.
Baca SelengkapnyaJokowi Terima Surat Kepercayaan 9 Duta Besar Negara Sahabat
Presiden Jokowi menerima surat kepercayaan dari sembilan duta negara-negara sahabat
Baca SelengkapnyaJokowi ke Pengusaha: Pilpres 2024 Lebih Adem, Tidak Perlu Khawatir
Presiden Jokowi menilai Pilpres 2024 lebih adem dibanding tahun 2014 dan 2019.
Baca Selengkapnya