Merdeka.com - Perdebatan tentang asal usul virus corona masih berlanjut dengan kabar soal penelitian virus di China yang didanai oleh pihak Amerika Serikat.
Dilansir dari laman BBC, Jumat (23/7), selama ini ada dua teori yang paling mengemuka soal asal usul virus corona Sars-CoV-2 yang menyebabkan pandemi Covid-19, yaitu virus itu memang berpindah dari hewan ke manusia secara alami atau virus itu berasal dari kebocoran di laboratorium di Wuhan, tempat pertama kali virus itu terdeteksi.
Senator AS dari Partai Republik Rand Paul menuding dana AS dipakai untuk membiayai penelitian yang bertujuan menciptakan sejumlah virus (bukan virus corona) yang lebih menular dan mematikan, disebut juga dengan 'penelitian tepat guna'.
Apa itu penelitian 'tepat guna'?
"Tepat guna" artinya ketika sebuah organisme mampu mengembangkan kemampuan baru.
Hal ini bisa terjadi secara alamiah di alam atau bisa dilakukan di sebuah laboratorium ketika ilmuwan memodifikasi kode genetik atau menempatkan sebuah organisme di sebuah lingkungan berbeda untuk mengubah sifat organisme itu.
Misalnya ilmuwan menciptakan tanaman yang bisa bertahan hidup meski kekurangan air atau memodifikasi vektor penyakit di tubuh nyamuk agar mereka kemampuan mereka menularkan penyakit menjadi lemah.
Dengan virus yang bisa mengancam kesehatan manusia, artinya virus itu bisa berpotensi menular dan berbahaya.
Para ilmuwan beralasan penelitian semacam itu bisa membuat umat manusia lebih siap dalam menghadapi wabah di masa depan dengan memahami bagaimana virus itu berevolusi dan dengan begitu bisa menyiapkan penanganan yang tepat serta membuat vaksin.
Jawabannya benar. AS mendanai sejumlah penelitian itu.
Dr Anthony Fauci, penasihat Presiden Joe Biden adalah sekaligus Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID), bagian dari Institut Nasional Kesehatan (NIH). Lembaganya menyalurkan dana kepada sebuah organisasi yang bekerja sama dengan Institut Virologi Wuhan.
Organisasi yang bernama EcoHealth Alliance yang berbasis di AS itu diberi izin pada 2014 untuk meneliti kemungkinan adanya virus corona dari kelelawar.
EcoHealth menerima dana USD 3,7 juta dari NIH dan sebanyak USD 600.000 dari dana itu diberikan kepada Institut Virologi Wuhan.
Pada 2019, proyek itu diperpanjang untuk lima tahun lagi, namun kemudian dibatalkan oleh pemerintahan Trump pada April 2020 setelah merebaknya pandemi virus corona.
Apakah dana AS dipakai untuk penelitian 'tepat guna'?
Pada Mei lalu, Dr Fauci menyatakan NIH "tidak pernah dan tidak mendanai penelitian tepat guna di Institut Virologi Wuhan."
Senator Rand Paul menanyakan soal ini kepada Dr Fauci dalam Kongress pekan ini, sambil mengatakan, "Anda tahu bahwa berbohong kepada Kongress adalah tindak kejahatan."
Senator Paul meyakini penelitian itu memang masuk kategori "tepat guna" dan merujuk dua makalah akademis dari Institut Virologi Wuhan, satunya ditulis pada 2015 bersama Univeristas North Carolina, dan satu lagi pada 2017.
Salah satu ilmuwan terkemuka yang mendukung pendapat ini--dan dikutip oleh Senator Paul--adalah Profesor Richard Ebright dari Universitas Rutgers.
Dia mengatakan kepada BBC, penelitian dalam dua makalah itu memperlihatkan virus baru (yang bukan muncul secara alamiah) diciptakan dan hal ini "berisiko menciptakan patogen jenis baru" yang lebih menular.
"Penelitian di dua makalah itu adalah penelitian tepat guna," kata dia.
Mengapa Dr Fauci membantah tudingan ini?
Dr Fauci mengatakan dalam rapat dengan Senat pekan ini bahwa penelitian itu sudah "dievaluasi beberapa kali oleh orang yang kompeten agar tidak masuk dalam definisi penelitian tepat guna."
Dia juga menuturkan penelitian semacam itu 'secara molekular mustahil' untuk menciptakan virus seperti virus corona, meski dia tidak mengelaborasi lebih jauh.
NIH dan EcoHealth Alliance juga menyangkal tudingan soal pendanaan penelitian 'tepat guna' di China.
Mereka mengatakan mereka mendanai sebuah proyek untuk meneliti 'di tataran molekular' virus kelelawar baru dan mahkota proteinnya (yang bisa membantu virus mengikatkan diri ke bagian sel makhluk hidup) "tanpa mempengaruhi lingkungan atau kondisi psikologis organisme tersebut".
Salah satu ilmuwan AS yang bekerja sama dalam penelitian 2015 pada virus kelelawar bersama Institut Wuhan adalah Dr Ralph Baric dari Universitas North Carolina.
Dia mengatakan kepada the Washington Post, penelitian itu dievaluasi oleh NIH dan komite keamanan hayati Universitas North Carolina agar "tidak menjadi penelitian tepat guna".
Dia juga menuturkan tidak satu pun dari virus dalam penelitian 2015 itu berhubungan dengan Sars-CoV-2 yang menyebabkan pandemi pada 2020.
Dia mengakui penelitian itu memperlihatkan virus memiliki kemampuan untuk menulari manusia namun "kami tidak pernah mengenalkan mutasi pada bagian mahkota virus untuk membuat mereka tumbuh dalam sel manusia". [pan]
Baca juga:
Varian Delta Merajalela, Filipina Larang Anak-Anak Keluar Rumah
Jeda Lebih Lama Antardosis Vaksin Pfizer Tingkatkan Antibodi Lebih Kuat
Pandemi Tak Terkendali di Indonesia Bisa Munculkan Varian Baru Virus Corona
Australia Izinkan Vaksin Pfizer-BioNTech untuk Anak Usia 12-15 Tahun
Pada Akhirnya Mereka Belajar 'Merelakan' dan Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Penelitian: Dua Dosis Vaksin Pfizer & AstraZeneca Ampuh Lawan Varian Delta
China Tolak Usulan WHO Kembali ke Wuhan untuk Selidiki Asal-Usul Virus Corona
Advertisement
Ramos-Horta Dilantik jadi Presiden Timor Leste, Ingin Perkuat Hubungan dengan China
Sekitar 17 Jam yang laluInggris Catat 11 Kasus Baru Cacar Monyet, di Spanyol 23 Kasus Baru Terkait Sauna
Sekitar 18 Jam yang laluTaliban Perintahkan Presenter TV Pakai Cadar, "Bagaimana Bisa Saya Baca Berita?"
Sekitar 22 Jam yang laluPria di Jepang Habiskan Uang Bantuan Covid untuk Seluruh Penduduk Kota di Meja Judi
Sekitar 1 Hari yang laluPenjelajah China Temukan Hutan Purba di Bawah Saluran Pembuangan
Sekitar 1 Hari yang laluKorea Utara Sarankan Warganya Berkumur Air Garam untuk Obati Covid-19
Sekitar 1 Hari yang laluElon Musk Dituduh Lakukan Pelecehan Seksual Terhadap Pramugari SpaceX
Sekitar 1 Hari yang laluPenelitian: Pengobatan Tradisional China Bisa Sembuhkan Kasus Covid Ringan
Sekitar 1 Hari yang laluMiliter Israel Identifikasi Senjata Tentara yang Tewaskan Jurnalis Shireen Abu Aqla
Sekitar 1 Hari yang laluMinyak Goreng Curah di Cirebon Melimpah, Harga per Liter Rp14.500
Sekitar 5 Jam yang laluJokowi Tinjau Harga Minyak Goreng dan Bagikan BLT di Pasar Muntilan
Sekitar 10 Jam yang laluPresiden Jokowi Cek Harga Minyak Goreng Curah di Pasar Muntilan
Sekitar 14 Jam yang laluPresiden Jokowi Pastikan Harga Minyak Goreng Curah Segera Menginjak Rp14.000
Sekitar 17 Jam yang laluJokowi Soal Harga BBM: Subsidi APBN Gede Sekali, Tahan Sampai Kapan?
Sekitar 11 Jam yang laluDemo di Patung Kuda, Buruh dan Mahasiswa Bawa Empat Tuntutan Ini
Sekitar 12 Jam yang laluAlternatif Cara Tahan Kenaikan Harga Pertalite dkk Tanpa Tambah Utang
Sekitar 15 Jam yang laluLangkah Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikan Harga BBM Hingga Tarif Listrik Tepat
Sekitar 17 Jam yang laluKritik Rusia, Eks Presiden AS George W Bush Keceplosan Sebut Invasi ke Irak Brutal
Sekitar 1 Hari yang laluPermintaan Ambulans untuk Ukraina Meningkat di Tengah Invasi Rusia
Sekitar 1 Hari yang laluPengamat Militer Rusia Punya Pandangan Mengejutkan tentang Perang di Ukraina
Sekitar 2 Hari yang laluSri Mulyani: Tiap Negara Punya Strategi Hadapi Kenaikan Harga Energi dan Pangan
Sekitar 2 Hari yang laluEks Jubir Covid-19 Achmad Yurianto Meninggal Dunia
Sekitar 9 Jam yang laluUpdate Covid-19 21 Mei 2022: Kasus Positif Bertambah 263 Orang
Sekitar 12 Jam yang laluIni Upaya Tekan Kasus Aktif saat Pelonggaran Aturan Covid-19 Diterapkan
Sekitar 22 Jam yang laluPeningkatan Mobilitas Masyarakat Saat Mudik Dorong Pemulihan Ekonomi
Sekitar 1 Hari yang laluLapor Jokowi, Menko PMK Sampaikan Kasus Kecelakaan Mudik 2022 Turun 11%
Sekitar 2 Hari yang laluPer 10 Mei, KAI Tolak Berangkatkan 707 Penumpang Terkait Covid-19
Sekitar 1 Minggu yang laluFrekuensi Belanja Masyarakat Meningkat Tajam di Ramadan 2022
Sekitar 1 Minggu yang laluAdvertisement
Advertisement
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami