Indonesia Harus Memposisikan Diri di Tengah Polarisasi Kekuatan Ekonomi
Merdeka.com - Gita Wirjawan, pengusaha yang juga mantan Menteri Perdagangan melakukan analisa ekonomi dunia pasca Covid-19. Kondisi perekonomian secara global karena pandemi Covid-19 berubah drastis. Segalanya saat ini serba tidak pasti. Termasuk tak ada yang bisa memastikan kapan pandemi bakal berakhir.
Gita Wirjawan melihat, dalam kondisi sekarang ada beberapa hal yang bakal terjadi pasca Covid-19.
Pertama, perlambatan pertumbuhan ekonomi dikarenakan penurunan daya beli atau aggregate demand. Kedua, penurunan produktivitas dikarenakan disrupsi terhadap rantai pasok atau supply chain.
Ketiga, peningkatan utang di level negara, korporasi, maupun individu yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan likuiditas untuk pemulihan ekonomi. Empat, model bisnis yang lebih merangkul paradigma non-komunal ataupun virtual atau digital.
Kelima, peningkatan divergensi antara pasar uang atau modal dan perekonomian riil yang ditopang oleh semakin banyaknya pencetakan uang oleh beberapa negara maju. Keenam, peningkatan proteksionisme atau aspirasi masing masing negara untuk menjadi bagian dari deglobalisasi rantai pasok dan juga untuk meningkatkan daya saingnya.
Terakhir, deglobalisasi geopolitik yang diwarnai oleh peningkatan polarisasi antara China dan Amerika Serikat bersama negara-negara yang ingin berafiliasi dengan ataupun memanfaatkan salah satu dari dua super power tersebut.
Dunia Diwarnai Kerumitan
Menurut analisa Gita, perbedaan respons kebijakan (policy response) oleh banyak negara, telah dan akan berdampak pada perbedaan proses pemulihan dan daya saing mereka pasca Covid-19. Di satu sisi, hal tersebut tidak terelakkan karena telah berkurangnya koordinasi maupun kepemimpinan global ataupun regional yang sangat dibutuhkan selama ini. Di sisi lain, aspirasi dan ruang politik untuk melakukan pemulihan dan peningkatan daya saing di masing-masing negara cukup berbeda.
Perbedaan daya saing di masing-masing negara akan sangat menentukan kapasitas negara terkait untuk menarik modal atau investasi dari luar negeri. Keputusan penanaman atau eksportasi modal tersebut tidak lepas dari dua perekonomian terbesar di dunia yaitu Tiongkok (dengan pendapatan domestik bruto atau PDB sekitar USD14 triliun) dan Amerika Serikat (dengan PDB sekitar USD22 triliun) yang memiliki akses ke modal yang luar biasa dan pengaruh terhadap negara-negara lain yang juga memiliki akses ke modal.
Pengaruh yang bisa dilakukan terhadap negara-negara lain oleh Tiongkok maupun Amerika Serikat sangat terkait dengan keeratan mereka dalam hubungan perdagangan, ekonomi, budaya, maupun geopolitik. Yang semakin menarik adalah bagaimana hubungan negara-negara tersebut dengan Tiongkok maupun Amerika Serikat akan semakin dipengaruhi oleh hubungan kedua negara.
Perangkap Thucydides
Banyak kalangan akademis telah memperkirakan bahwa China, setelah kehilangan kejayaannya semenjak awal abad ke-19, akan segera mengungguli Amerika Serikat dalam beberapa atribut.
Pertama, kendati terjadinya aberasi Covid-19, diperkirakan perekonomian China akan tetap tumbuh lebih cepat dan menjadi lebih besar dibandingkan perekonomian Amerika Serikat dalam beberapa tahun ke depan.
Kedua, China juga sudah berhasil menjelma menjadi pusat produksi dominan untuk barang dan jasa yang dikonsumsi oleh seluruh dunia. Termasuk di Amerika Serikat. Ini menyebabkan ketergantungan banyak negara terhadap China dikarenakan kurang atau tidak adanya alternatif lain yang bisa menyaingi kapasitas produksi Tiongkok.
Ketiga, China juga sudah terlihat berhasil meningkatkan porsi konsumsi dalam negeri terhadap PDB-nya secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Sehingga ketergantungannya terhadap pasar internasional tidak terlalu menjadi kerentanan.
Keempat, investasi yang signifikan (termasuk untuk penelitian dan pengembangan) dalam beragam teknologi mutakhir (termasuk pemberdayaan artificial intelligence) membuat posisi China terdepan dalam pengaruhnya terhadap mancanegara.
Perangkap Thucydides akan berdampak terhadap banyak negara yang harus berkalkulasi arah ke depan yang tepat untuk mereka. Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga, populasi terbesar keempat, anggota terbesar dari perkumpulan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), dan salah satu anggota dari G-20 (perkumpulan 20 ekonomi terbesar dunia) harus arif dan cermat mangambil sikap ke depan.
Polarisasi Kekuatan Ekonomi
Dunia dalam masa pasca Covid-19 akan lebih diwarnai kerumitan yang mendalam secara ekonomi dan geopolitik. Indonesia bukan hanya harus menyadari keterbatasan tersebut, namun juga bagaimana bisa unggul dalam memajukan demokrasi yang lebih membawa kesejahteraan untuk masyarakat luas.
Decoupling atau polarisasi antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia akan lebih mendorong pergeseran dari multilaterisme menuju bilateralisme dan bahkan unilateralisme. Dalam konteks tersebut, yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia bukan hanya kekuatan, namun lebih penting lagi kapasitas adaptasi ataupun agilitas yang bisa dibuahkan dalam beberapa hal.
Sumber: dream.co.id
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam menghadapi ketidakpastian global, Jokowi menekankan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi Indonesia.
Baca SelengkapnyaJokowi menekankan pentingnya persatuan dan kerukunan antar masyarakat agar Indonesia menjadi negara maju.
Baca SelengkapnyaKeduanya membahas tentang situasi dan kondisi dunia saat ini, termasuk kepada masalah ekonomi dan keamanan negara.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
penyelenggaraan pesta demokrasi memberi dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Baca SelengkapnyaPada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Baca SelengkapnyaJokowi mengatakan kondisi ini disebabkan ketidakpastiaan ekonomo dan konflik geopolitik yang tak kunjung usai.
Baca SelengkapnyaWalau begitu, perekonomian Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan di angka 5,05 persen.
Baca SelengkapnyaDia berharap agar penerus kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mampu mempertahankan stabilitas ekonomi di Indonesia.
Baca Selengkapnya