RUU larangan minuman beralkohol dinilai bikin miras oplosan marak
Merdeka.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini tengah menggodok UU pelarangan minuman beralkohol. Dalam RUU tersebut setidaknya pemerintah ingin melarang produksi, distribusi hingga konsumsi minuman beralkohol.
Namun DPR memberikan pengecualian terhadap peredaran minuman beralkohol ini seperti di kawasan wisata, ritual keagamaan dan aktivitas medis.
"Ini kan aneh. Satu sisi mereka melarang, di sisi lainnya mereka memperbolehkan. Dalam aturan ini terlihat mereka ingin menerapkan hal yang antara alkohol dan narkotika," tutur peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Rofi Uddarojat di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (15/6).
Data dari WHO menunjukkan, konsumen minuman beralkohol di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni konsumen yang meminum alkohol legal dan ilegal (oplosan). Konsumen minuman beralkohol legal hanya 0,1 liter per kapita, sementara minuman beralkohol ilegal (oplosan) sebanyak 0,5 liter per kapita.
"Masyarakat Indonesia lebih banyak mengonsumsi yang ilegal, kw, atau oplosan. Makanya banyak kasus minuman oplosan yang menyebabkan kematian, bukan yang diakibatkan minuman beralkohol legal," terang Rofi.
Sehingga pihaknya menilai, pemerintah telah salah arah dalam membuat kebijakan seperti yang ada di RUU tersebut. Seharusnya, pemerintah meregulasi minuman beralkohol yang ilegal ketimbang yang legal.
"Pemerintah itu salah arah, harusnya melarang yang legal tapi ilegal. Kalau pemerintah mau regulasi minuman beralkohol, harusnya melarang dulu yang ilegal bukan yang legal," tambahnya.
Rofi menilai banyak masyarakat yang konsumsi minuman beralkohol ilegal karena harga minuman beralkohol yang legal terlalu mahal bagi masyarakat kelas menengah. Minuman beralkohol yang diperbolehkan pemerintah biasanya didatangkan langsung dari luar negeri sehingga harganya lebih tinggi.
"Karena bea dan cukai alkohol tinggi. Pajak bea golongan b (wine) dan c (vodka) yang impor itu sekitar 150 persen. Kalau gol a (bir) ada pabriknya di Indonesia tapi sangat diperketat dan tidak ingin dibuat berkembang," jelas Rofi.
"Jadi sangat memungkinkan masyarakat kelas bawah tidak bisa mengonsumsi alkohol legal, sehingga memilih yang oplosan. Karenanya korban oplosan lebih banyak dibandingkan yang legal," pungkasnya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
DPR RI dan pemerintah menyepakati Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan.
Baca SelengkapnyaKetua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas menjelaskan pemenang Pilkada tak perlu memperoleh suara 50+1 seperti pada aturan Pilpres.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut DPR direncanakan pada tanggal 13 Maret 2024.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
"Korban ditemukan tewas dengan banyak luka. Diduga akibat pembunuhan," ungkap Kasi Humas Polres OKU Iptu Ibnu Holdon
Baca SelengkapnyaHal itu diprediksi dari rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Pemilu 2024
Baca Selengkapnya74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.
Baca SelengkapnyaPelanggaran mulai dari pelanggaran tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dan non-Pemilu.
Baca SelengkapnyaMU kepergok bersama seorang wanita di sebuah rumah
Baca SelengkapnyaDPR sebelumnya mengimbau kepada KPU untuk segera mengantisipasi lonjakan suara PSI dengan penghitungan secara manual.
Baca Selengkapnya