Pembubaran diskusi Tan Malaka buah kekerasan budaya pasca 1965
Merdeka.com - Pembubaran diskusi Tan Malaka di C20 Library, Surabaya, Jawa Timur, oleh massa Front Pembela Islam (FPI) Jumat pekan lalu, adalah peristiwa kesekian kalinya untuk acara yang berbau ideologi kiri. Mereka seolah tak peduli Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Nasional.
"Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI, Tan Malaka itu kan tokoh Marxist," kata Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur KH Dhofir ketika itu.
Bagaimana kebencian terhadap komunisme, sebagai salah satu ideologi, bisa sebegitu awet di benak masyarakat Indonesia, bahkan setelah hampir setengah abad pasca-peristiwa 1965?
Lewat disertasinya yang berjudul 'Exposing State Terror: Violence in Contemporary Indonesian Literature (2011)', Wijaya Herlambang menjelaskan, masih awetnya wacana anti-komunisme sampai sekarang ini karena adanya proses legitimasi kekerasan terhadap kaum komunis atau mereka yang dituduh komunis pada 1965-1966, lewat berbagai produk kebudayaan.
"Pemerintah Orde Baru dan para agen kebudayaannya, termasuk para penulis liberal pro-Barat, memperluas upaya dan sumber-sumber kekuatan mereka untuk melegitimasi pembangunan rezim fasis-kapitalistik di atas darah kaum komunis," kata Wijaya.
Dalam penelitiannya, PhD jebolan University of Queensland ini bahkan menunjukkan sejumlah bukti korespondensi antara budayawan Indonesia yang pro-Barat dengan Congress for Cultural Freedom (CCF), lembaga AS yang diduga ditunggangi CIA.
"Saya mengajukan bukti-bukti bahwa Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya telah menerapkan legitimasi sistematis terhadap kekerasan yang dialami oleh kaum komunis," kata Wijaya.
Wijaya mengatakan, ideologi dan produksi kebudayaan, di masa sebelum maupun selama Orde Baru, telah berkontribusi besar dalam membentuk pandangan umum seluruh lapisan masyarakat Indonesia "bahwa PKI, komunisme, dan praktik kebudayaan kiri seperti yang dilakukan oleh Lekra adalah entitas iblis."
Di bawah bendera ide-ide liberalisme Barat, lanjut Wijaya, para intelektual Indonesia pro-Barat, termasuk para agen-agen kebudayaannya, memanipulasi gagasan 'kebebasan berekspresi' dan 'demokrasi' dengan cara mencitrakan komunisme sebagai gerakan politik dan kebudayaan paling berbahaya dan mengancam demokrasi.
"Dalam konteks ini, liberalisme dimanfaatkan sebagai senjata untuk meruntuhkan basis ideologis dari komunisme termasuk praktik kebudayaannya. Artinya, demokrasi hanya dapat ditegakkan ketika komunisme telah dihancurkan," ujar Wijaya yang disertasinya dicetak dalam bentuk buku dengan judul 'Kekerasan Budaya Pasca 1965', terbitan Marjin Kiri.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komunisme lahir sebagai tanggapan terhadap ketidaksetaraan sosial dan ekonomi pada abad ke-19.
Baca SelengkapnyaDalam sistem demokrasi, rakyat memegang kekuasaan tertinggi.
Baca SelengkapnyaKonflik adalah suatu proses sosial yang terjadi ketika ada perbedaan pandangan atau kepentingan antara dua pihak atau lebih.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Mental ideologi adalah sikap dan cara berpikir yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar negara Indonesia, seperti Pancasila.
Baca SelengkapnyaPemilu merupakan penerapan nyata dari kehendak rakyat untuk menjalankan negara secara demokratis.
Baca SelengkapnyaIdeologi terbuka adalah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Karl Popper, seorang filsuf dan ahli epistemologi ternama.
Baca SelengkapnyaBagi masyarakat Betawi, golok bukan sekadar senjata tajam, tapi juga punya makna mendalam.
Baca SelengkapnyaAdanya nilai-nilai berharga yang terkandung dalam pantun adat, generasi muda diajak belajar dan menghargai warisan budaya.
Baca SelengkapnyaSecara filosofi, ketupat merupakan makanan khas dalam budaya Indonesia sebagai simbol perayaan keluarga dan sosial.
Baca Selengkapnya