Pendatang dicintai penduduk asli
Merdeka.com - Delapan tahun lalu, rombongan pendeta dari Gereja Masehi Injili Minahasa mengunjungi kediaman Jafar Buchari. Mereka ingin tahu bagaimana penduduk Kampung Jawa yang muslim bisa hidup berdampingan dengan warga sekitar mayoritas menganut Nasrani.
Barangkali para pemuka Kristen itu heran bagaimana bisa Kampung Jawa terlompati oleh misi Kristenisasi. “Sekitar Mei 1830, Kiai Modjo sudah berada di Kampung Jawa Tondano," kata Jafar saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Kampung Jawa, Tondano, akhir bulan lalu. Sedangkan pendeta Riedel dan Schwartz, misionaris dari Jerman, baru tiba di Tondano setahun kemudian. Keduanya bertugas di Langoan dan Kakas.
Menurut Jafar, salah satu putusan Belanda dibacakan oleh Residen Manado, Pichtermaat, Kiai Modjo bersama anak buahnya sudah dibebaskan sebagai tahanan politik sejak dipindah ke Tondano. Mereka diminta hidup sesuai kemampuan masing-masing di wilayah baru. Status itu sekaligus bentuk kesetaraan dengan penduduk Minahasa. Mereka dibolehkan menikah asal melapor.
Belanda meminta Kiai Modjo dan pengikutnya menjadi contoh bagi masyarakat sekitar dan saling bekerja sama membangun wilayah ditempati. Mereka juga tidak boleh menghasut rakyat Minahasa untuk melawan pemerintah kolonial. Dengan semua syarat itu, Kiai Modjo diberikan tanah garapan, tempat tinggal, dan uang tunjangan hidup. “Sejak saat itu, Kiai Modjo memulai kehidupan baru dengan pengikutnya," ujar Jafar.
Setelah setahun Kiai Modjo dan pengikutnya bisa mengembangkan sistem pertanian seperti di Jawa. Mereka membuka lahan baru, kemudian menanam padi, jagung, tembakau, dan lainnya, memanen, hingga membajak sawah. Mereka juga membikin bengkel untuk kebutuhan pertanian seperti peralatan bajak dari besi.
Pada Oktober 1831, residen Manado mengunjungi Kiai Modjo. Dia memberi tahu lokasi itu pemberian kepala Walak Distrik Tondano. Jafar menegaskan meski baru setahun menetap, Kiai Modjo dan anak buahnya sudah menjalin persahabatan dengan warga setempat. "Kiai Modjo dan pasukannya bisa menarik perhatian penduduk sekitar dengan cara bercocok tanam berbeda dan mendapatkan hasil banyak," tuturnya.
Tidak mengherankan penduduk mencintai dan menghormati Kiai Modjo. Sebab mereka mengajarkan cara bertani dan bisa memajukan wilayah itu. Perbedaan agama tidak menjadi halangan. Karena itu, mereka bisa membangun masjid sejak tinggal di sana.
Jafar mengungkapkan residen Manado berhasil mengupayakan pinjaman buat Kiai Modjo memajukan pertanian di sana. Surat dari residen dengan nomor 117 ini ke Batavia bertanggal 30 April 1839. Kemudian dibalas oleh pemerintah kolonial di Batavia pada 14 Juni 1839 dengan nomor surat 2520. "Diberikan pinjaman 500 gulden untuk membeli sapi, mengelola sawah, dan menyewa pembajak sawah,” kata Jafar membacakan surat putusan Belanda saat itu dari bukunya.
Hingga saat ini, hubungan warga Kampung Jawa dengan penduduk sekitar berjalan baik. Bahkan dia menuturkan saat kerusuhan agama pada 1999 di Maluku dan Ternate, sekitar 130 ribu orang mengungsi ke Kampung Jawa dan beberapa wilayah di Tondano karena dianggap aman.
Kiai Modjo meninggal pada 20 Desember 1849. Dia mewariskan ajaran bagaimana menjadi manusia bermartabat. Hidup damai dengan masyarakat berbeda agama dan budaya.
Makamnya sekitar satu setengah kilometer dari Kampung Jawa. Terletak di perbukitan Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa, Sulawesi Utara. Kiai Modjo dan generasi pertama lainnya dikubur secara khusus di pemakaman itu. Pada 10 Novemver 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi gelar pahlawan nasional buat Kiai Modjo dan Kiai Ahmad Rifai.
(mdk/fas)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kata-kata pepatah yang berbunyi “kehidupan seperti roda sedang berputar” menggambarkan kehidupan Yati.
Baca SelengkapnyaAtikoh berasal dari keluarga yang tumbuh di lingkungan pesantren sederhana.
Baca SelengkapnyaMayoritas warga di sana merupakan petani yang menggarap lahan tadah hujan. Kalau musim kemarau lahan itu dibiarkan kosong.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Saat musim tanam tiba, para perantau itu pulang sebentar untuk menanam jagung dan selanjutnya pergi merantau lagi
Baca SelengkapnyaKedutan mata oleh masyarakat Indonesia acap dikaitkan dengan pertanda baik dan buruk.
Baca SelengkapnyaJokowi mengimbau dan mengajak masyarakat untuk mudik lebih awal
Baca SelengkapnyaSeorang pemuda di Maros, Sulawesi Selatan, MA (22) gelap mata setelah ditegur karena membawa pacarnya ke rumah. Dia tega membunuh kakak kandungnya AA (31).
Baca SelengkapnyaInilah deretan realita kurang menyenangkan yang harus dihadapi ketika hidup di negara bermusim dingin.
Baca SelengkapnyaPerempuan ini membagikan kisah pahit asmaranya di masa lalu yang diremehkan ibu dari kekasihnya.
Baca Selengkapnya