Potret Kawasan Eksklusif Kaum Eropa di Surabaya, Begini Nasib Pribumi dan Etnis Lain
Pada masa itu, permukiman penduduk dibagi berdasarkan identitas etnis.
Pada masa itu, permukiman penduduk dibagi berdasarkan identitas etnis.
Bangsa Eropa memberi sebutan sebutan ‘beneden stad’ (kota bawah) untuk sentra bisnis dan ‘boven stad’ (kota atas) untuk rumah tinggal kaum Eropa. Kota bawah di Surabaya saat itu yakni daerah sekitar jembatan merah.
Sedangkan yang disebut kota atas merupakan daerah hunian kaum Eropa seperti kawasan Gubeng, Darmo dan
Ketabang.
Mengutip Instagram @lovesuroboyo, saat itu, kawasan sekitar Jembatan Merah Surabaya yang merupakan Kota Bawah yang menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan kegiatan ekonomi.
Setelah adanya Undang-Undang Wijkenstelsel tahun 1843, permukiman penduduk Surabaya dibagi berdasarkan etnis. Kaum Eropa mendiami kawasan barat Kalimas. Sedangkan pribumi, etnis Tionghoa, Arab, dan Melayu bermukim di sisi timur Kalimas. Pada April 1871, pemerintah menghancurkan benteng pemisah bekas wilayah Kota Atas dan Kota Bawah. Ketiadaan benteng pemisah membuat perkembangan pusat kota bergeser ke sisi selatan Surabaya. Kota Bawah yang jadi wilayah permukiman pribumi dan etnis lain tak lagi menjadi pusat kota.
Kawasan Tunjungan, Kayoon, Diponegoro, Arjuno, dan Darmo yang merupakan kawasan elite Eropa berkembang sebagai pusat kota Surabaya. Dulunya, kawasan itu disebut sebagai Kota Atas.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Surabaya adalah kota penting karena merupakan pelabuhan ekspor-impor di Nusantara. Berbagai fasilitas penunjang dibangun pihak kolonial. Termasuk jaringan jalan kereta api sebagai pendukung
transportasi hasil perkebunan dari daerah pedalaman pada abad ke-19 dan selesai pada awal abad ke-20. Jaringan jalan kereta api tersebut juga mengikuti jalan sepanjang Kalimas menuju ke pelabuhan Tanjung Perak.
Sampai zaman kolonial
(abad 18 sampai pertengahan abad ke 20), bentuk dan struktur utama Kota Surabaya masih
mengikuti aliran Kalimas yang membelah kota. Bentuk dan struktur Kota Surabaya mulai mengalami perkembangan pesat setelah adanya kebijakan
ekonomi pemerintah kolonial yang disebut Tanam Paksa (Cultuurstelsel pada tahun 1830-1870). Disusul dengan Undang-Undang Agraria (Agrarischewet tahun 1870). Kebijakan politik ekonomi kolonial mengeksploitasi daerah pedalaman Jawa ini
memicu munculnya kota–kota sentra produksi,
distribusi serta perdagangan hasil perkebunan di Jawa,
termasuk di Jawa Timur.
Mengutip tulisan berjudul SURABAYA KOTA PELABUHAN karya Handinoto dan Samuel Hartono (Jurnalis DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 35, 2007), eksploitasi partikelir lewat perkebunan menimbulkan penjabaran ekonomi di dalam fungsi kota, dan berakibat langsung kepada bentuk dan struktur kota. Wajah kota berubah secara keseluruhan, terutama Surabaya sebagai stasion kota pelabuhan
terakhir di Jawa Timur.
Hingga kini, makamnya selalu bersih dan rapi karena banyak diziarahi warga lokal
Baca Selengkapnya"Sama rumahku bagusan kuburan ini," curhat seorang warganet.
Baca SelengkapnyaSejak puluhan abad silam, daerah ini sudah jadi wilayah penting bagi kehidupan masyarakat.
Baca SelengkapnyaDaerah-daerah terluar kerajaan ini punya ciri khusus yang unik
Baca SelengkapnyaPemilu 2024 menjadi momen penting bagi seluruh warga negara Indonesia, tak terkecuali para artis terkenal.
Baca SelengkapnyaBekas permukiman elite zaman Majapahit ini ditemukan secara tidak sengaja oleh warga
Baca SelengkapnyaBaru-baru ini Inul Daratista disebut orang paling kaya nomor 5 di Indonesia, lalu seperti apa kediamannya?
Baca SelengkapnyaAl, El, dan Dul sekali lagi memperlihatkan kekompakan mereka dalam perjalanan bersama sang ayah.
Baca SelengkapnyaPotret pondok pesantren di Surabaya, Jawa Timur yang pernah dijadikan markas prajurit Indonesia pada perang 10 November 1945.
Baca Selengkapnya