Demi Kopi Jawa, Daendels Turunkan Derajat Bangsawan Sunda
Merdeka.com - Perlakuan keras Gubernur Jenderal Hindia Belanda versi Prancis terhadap kaum bangsawan di Priangan berimbas kepada penurunan produksi kopi jawa.
Penulis: Hendi Jo
Begitu Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808—1811) menginjakkan kakinya di tanah Jawa pada 5 Januari1808, awan hitam melingkupi kehidupan para menak dan santana Sunda. Bukan hanya soal pendapatan yang langsung menurun drastis, kedudukan sosial-politik mereka pun dipreteli tanpa ampun.
Sebagai wakil Kaisar Napoleon Bonaparte di tanah Jawa, Daendels memang mengemban tugas berat. Selain harus memperbaiki sistem administrasi di Pulau Jawa yang kacau balau akibat korupsi dan kolusi, penganut fanatik ide-ide Revolusi Prancis itu pun dibebani target memperbaiki ekonomi tanah jajahan.
Pengelolaan bisnis kopi adalah salah satu bidang yang harus dibenahi Daendels. Menurut Prawoto Indarto dalam The Road to Java Coffee, Prancis sangat memperhatikan soal itu karena sangat sadar begitu pentingnya komoditas kopi jawa untuk mengisi pundi-pundi negara.
"Mereka berkaca kepada pengalaman Belanda dalam mengeksploitasi kopi di tanah Jawa sebelumnya," ungkap Prawoto dalam suatu diskusi soal sejarah kopi Jawa beberapa waktu lalu.
Bupati jadi Bawahan Deandels
Langkah pertama dilakukan Daendels dengan membentuk Inspektur Jenderal Tanaman Kopi pada 9 Juni 1808. Institusi yang kemudian diserahkan kepada C. van Winkelman itu bertugas mengatur semua yang berhubungan dengan bisnis kopi di Jawa. Mulai dari pembukaan lahan perkebunan kopi hingga penyetoran biji kopi ke seluruh gudang pemerintah.
Dalam tesisnya yang berjudul Bupati Priangan, Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19, sejarawan U. Sobana Hardjasaputra menyebutkan bahwa setiap tahun Winkelman wajib melaporkan daftar tanaman kopi di seluruh Jawa kepada Daendels. Dia juga yang bertanggungjawab terhadap peraturan yang mewajibkan setiap keluarga di Jawa untuk menanam 500 pohon kopi.
"Padahal pada waktu sebelumnya hanya diwajibkan menanam 200 pohon kopi," tulis Hardjasaputra.
Tidak cukup itu, kewajiban tanam paksa juga diikuti dengan upaya mengeliminasi peran para pelaku tradisional yang utama dalam bisnis kopi sebelumnya. Derajat para menak Sunda yang terdiri dari bupati dan bawahannya, 'diturunkan' hanya sebatas bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda. Jadi posisi para bupati yang sebelumnya setara dibuat oleh Daendels sebagai bawahannya saat itu.
"Untuk menghilangkan hak-hak istimewa penguasa tradisional, Daendels menerapkan sistem gaji buat mereka," ujar sejarawan Bondan Kanumoyoso.
Sistem Militer dalam Pengelolaan Kopi
Daendels pun memberlakukan sistem kemiliteran dalam pengelolaan kopi. Lewat Winkelman, dia mengangkat tenaga pengawas perkebunan yang diberinya pangkat kapten. Seorang Kapten Kopi diharuskan menyetor 300 pikul kopi (perpikul=126 pon) kepada pemerintah Hindia Belanda.
Andaikan dia tidak bisa memenuhi target tersebut, maka penurunan pangkat menjadi letnan pertama akan menantinya. Begitu seterusnya hingga dia berhasil kembali memenuhi kuota 300 pikul.
Yang paling membuat para menak dan santana 'sengsara' adalah masalah harga kopi pun diurusi Daendels. Pada 4 April 1809, dia menetapkan harga kopi perpikul seberat 225 pon adalah 4 ringgit uang perak bagi orang biasa. Sedangkan khusus untuk kopi yang berasal dari tangan para bupati, perpikulnya (seberat 126-128 pon) dihargai dengan uang seringgit.Menurut Bondan, efisiensi birokrasi itu semata-mata bukan karena soal ekonomi. Sebagai penganut garis keras ide-ide Revolusi Prancis, Daendels sangat membenci sistem feodal yang sudah mendarahdaging di kalangan para menak Sunda. Karena itu, dia berupaya memberantasnya.
Pemberlakuan peraturan itu dilaksanakan secara keras dan konsisten. Untuk para bupati yang membangkang, di tak segan melakukan pemecatan. Sebagai korban pertama jatuh kepada Bupati Parakanmuncang Tumenggung Aria Wira Tanureja yang menolak untuk menanam 300.000 pohon kopi di wilayahnya.
Akibat kebijakan radikal Daendels itu, alih-alih mengalami kemajuan, bisnis kopi Jawa justru terjun bebas. Sebagai perbandingan saat awal Daendels berkuasa pada 1808, ekspor kopi dari Jawa berjumlah 7.289 ton. Jumlah itu menurun tajam ketika akhir kekuasaannya: hanya 1.224 ton.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masyarakat perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memilih belanja kebutuhan rumah tangga ke Malaysia dengan berjalan kaki.
Baca SelengkapnyaJatim punya ratusan desa devisa, jahe hingga bonggol jati laris di pasar luar negeri.
Baca SelengkapnyaDulunya jenis kopi ini menjadi favorit Ratu Belanda yang diproduksi khusus dari biji kopi terbaik.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kopi bisa menjadi katalisator dari berbagai ide kreatif karena kandungan yang ada di dalamnya.
Baca SelengkapnyaAFA leluasa masuk rumah keluarga korban karena masih tetangga dekat kemudian diam-diam memasukkan sianida ke gelas kopi.
Baca SelengkapnyaAreal panen kopi di Indonesia rata-rata seluas 1.25 juta ha/tahun.
Baca SelengkapnyaGerai baru kopi asal Amerika Serikat tersebut hadir untuk membantu mengurangi dampak lingkungan.
Baca SelengkapnyaBudaya ngopi orang Aceh sendiri sudah ada sejak tahun 1980-an yang identik dengan bapak-bapak yang duduk di warung kopi.
Baca SelengkapnyaSimak cerita di balik tempat bersejarah dan saksi bisu ditangkapnya Pangeran Diponegoro.
Baca Selengkapnya