Waspada! Ini Dampak Aturan Pemerintah Hapus Anggaran Wajib Kesehatan 5 Persen
UU Kesehatan telah menghapus kewajiban pemerintah mengalokasikan anggaran 5 persen dari APBN untuk belanja sektor kesehatan.
Waspada! Ini Dampak Aturan Pemerintah Hapus Anggaran Wajib Kesehatan 5 Persen
Waspada! Ini Dampak Aturan Pemerintah Hapus Anggaran Wajib Kesehatan 5 Persen
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR pada Selasa (11/7) lalu menuai kritik dari masyarakat, khususnya kelompok tenaga kesehatan. Pengesahan ini makin kontroversial saat anggaran wajib kesehatan (mandatory spending) sebesar 5 persen, dihapus. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan penghapusan 5 persen anggaran wajib kesehatan karena cenderung 'menghamburkan' uang. Dia kemudian membandingkan beberapa negara dengan mandatory spending yang besar tetapi tidak menjamin kesehatan masyarakatnya.
"Maka dari itu fokusnya jangan ke spending, fokusnya ke program, ke hasilnya. Jangan ke input, tapi ke outcome. Itu yang ingin kita didik ke masyarakat, jangan kita tiru kesalahan yang sudah dilakukan negara lain yang sudah buang-buang uang terlampau banyak tanpa ada hasilnya,"
ujar Budi di komplek parlemen DPR beberapa waktu lalu.
Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita menilai anggaran wajib untuk sektor kesehatan merupakan gambaran atas tanggung jawab negara dalam sektor publik. Sektor kesehatan setara dengan sektor pendidikan. Keduanya adalah masalah publik yang kehadiran negara harus dikunci secara tegas di dalam undang-undang."Bentuk kuncian tanggung jawab itu adalah mandatory spending," kata Ronny dalam keterangan tertulis, Kamis (13/7).
Dia berujar, dengan anggaran wajib kesehatan, siapa pun penguasanya nanti, siapapun menteri kesehatannya, apapun ideologinya, kewajiban belanja kesehatan sekian persen harus dipenuhi. "Artinya, tidak akan ada yang bisa mempengaruhinya, siapapun menteri kesehatannya nanti. Karena itulah harus mandatory sifatnya," ujarnya. Jika kewajiban ini dihilangkan, diganti dengan anggaran berbasis program dan outcome, Ronny khawatir menteri yang baru tidak mengajukan program seperti yang sama dengan alasan tidak ada kewajiban untuk mengalokasikan anggaran di undang-undang."Sehingga tidak wajib pula mengeluarkan program berupa tanggung jawab negara atas sektor kesehatan, terutama untuk kelas menengah ke bawah," kata dia.
Nasib Program BPJS Kesehatan
Ronny kemudian menyoroti nasib Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang selalu 'under perform' dari sisi keuangan. Jika dikaitkan dengan hilangnya anggaran wajib kesehatan sebesar 5 persen, maka iuran BPJS berpotensi mengikuti hukum ekonomi pasar. "Bagaimana jika BPJS tak mampu meng-cover beban biaya kesehatan publik yang ada? Selama ini saja, BPJS kesehatan nyaris selalu merah rapor keuangannya. Apakah kemudian akan menaikan iuarannya?" kata Ronny."Pernyataan menteri dalam membela penghapusan mandatory spending tidak saja sangat liberal, tapi juga sangat tidak pancasilais," sambungnya.
Seperti diketahui, dalam Pasal 402 ayat 1 UU Kesehatan hanya menyebut, pemerintah pusat melakukan pemantauan secara nasional dan regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan kesehatan. "Untuk mendukung pemantauan pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah pusat mengembangkan sistem informasi pendanaan kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional," bunyi Pasal 402 ayat (2) UU Kesehatan, dikutip, Selasa (11/7).Sementara pada ayat 4, setiap fasilitas layanan kesehatan, instansi pemerintah pusat dan daerah, sampai badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan harus melaporkan realisasi belanja kesehatan dan hasil capaian setiap tahun.
Hal yang sama berlaku bagi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, lembaga swasta, dan mitra pembangunan yang menjalankan fungsi kesehatan.
Sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten atau kota dialokasikan minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. “Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah,” bunyi Pasal 171 ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009.