Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Membongkar Pemicu Resesi Ekonomi dan Dampak Dirasakan Masyarakat

Membongkar Pemicu Resesi Ekonomi dan Dampak Dirasakan Masyarakat pertumbuhan ekonomi. ©2019 Merdeka.com/Imam Buhori

Merdeka.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi atau minus 3,49 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka pertumbuhan ini terbilang lebih baik dibanding kuartal II-2020, di mana ekonomi tumbuh minus 5,32 persen. Namun demikian, Indonesia tak bisa menghindari resesi ekonomi.

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia resmi mengalami resesi. Sebab selama dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. "Indonesia sudah resmi resesi," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Kamis, (5/11).

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai kontraksi ekonomi RI kuartal III-2020 yang mencapai 3,49 persen masih cukup dalam. Padahal pada periode itu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah dilonggarkan.

Menurut dia, realisasi pertumbuhan itu perlu menjadi catatan karena pengetatan dalam PSBB yang direlaksasi namun ekonomi belum bisa mengalami perubahan cukup besar. "Artinya potensi ke depan bisa jadi dalam beberapa kuartal, kita masih akan mengalami pertumbuhan yang kontraksi," imbuhnya.

Meski demikian, Tenaga Ahli Utama Kedeputian III Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono menyatakan, Indonesia sudah melampaui titik terendah dan mulai beranjak maju. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2020 masih negatif, Edy mengklaim angka negatif lebih kecil dibandingkan kuartal II-2020.

"Terpenting adalah, pertumbuhan kita di kuartal III-2020 lebih baik daripada kuartal II-2020, sehingga menunjukkan bahwa secara bertahap kita bergerak menuju pemulihan ekonomi," kata Edy dalam keterangan pers, Kamis (5/11).

Edy membandingkan di masa pandemi ini pertumbuhan ekonomi Indonesia juga lebih baik dibanding beberapa negara. Indonesia masih lebih baik dibandingkan Singapura (-7,0 persen) dan Meksiko (-8,58 persen).

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto juga mencatat kondisi perekonomian mulai menunjukkan adanya tandanya pemulihan, meski secara keseluruhan masih terkontraksi pada triwulan III-2020. Pemulihan ini terlihat dari adanya pertumbuhan ekonomi secara kuartal sebesar 5,05 persen (qtq) pada triwulan III-2020.

Dari sisi lapangan usaha, kondisi industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi maupun pertambangan menunjukkan adanya perbaikan dibandingkan triwulan II-2020. Sektor industri tercatat tumbuh 5,25 persen, pertanian tumbuh 1,01 persen, perdagangan tumbuh 5,68 persen, konstruksi 5,72 persen dan pertambangan tumbuh 1,72 persen.

Namun demikian, Indonesia tak bisa menghindari resesi karena ekonomi masih tumbuh negatif. Sebenarnya apa penyebab atau pemicu ekonomi Indonesia tetap tumbuh negatif dan menyebabkan resesi? Berikut Uraianya:

Daya Beli Masyarakat Masih Rendah

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira mengatakan pada kuartal III-2020 konsumsi rumah tangga masih mengalami kontraksi minus 4,04 persen. Kondisi ini bermakna masyarakat, khususnya kalangan menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah.

Dia menilai kalangan menengah dan atas masih diliputi kekhawatiran untuk belanja di luar rumah masih cukup tinggi. Ini membuat kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman.

Situasi ini sulit mengalami perubahan jika masalah fundamental gerak masyarakat masih terbatas, sebab masalah pandemi belum juga diselesaikan. "Masyarakat khususnya menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah," kata Bhima di Jakarta, Kamis, (5/11).

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konsumsi rumah tangga memang masih sangat terbatas di kuartal III-2020 ini. Hal itu disebabkan, karena pada periode Juli - September kondisi pandemi Covid-19 sedang berada pada puncaknya.

"Konsumsi dari rumah tangga kelas menengah atas masih terbatas. Ini dikarenakan kondisi covid memang belum berakhir," kata dia dalam video conference, di Jakarta, Kamis (5/11).

Dia mengatakan, karakter dari konsumsi rumah tangga menengah atas didominasi oleh barang dan jasa yang sensitif terhadap mobilitas. Sehingga, dampak dari pandemi covid-19, secara tidak langsung menahan konsumsi kelas menengah atas.

"Dengan adanya Covid-19 di mana mobilitas menjadi terbatas, maka konsumsi kelas menengah atas juga menjadi tertahan," kata dia.

Oleh karena itu, salah satu upaya pemerintah untuk mendongkrak kembali konsumsi rumah tangga adalah dengan penemuan vaksin. Dengan demikian, harapan akan adanya vaksin tersebut mampu mengembalikan tren konsumsi rumah tangga terutama kelompok menengah atas.

"Sehingga perbaikan diharapkan dan diyakini akan terjadi pada kuartal keempat dan seterusnya," tandas dia.

Seperti diketahui, pada kuartal III 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 3,49 persen secara year on year (yoy). Meski begitu, ekonomi kuartal III tumbuh 5,05 persen dibandingkan dengan kuartal II, dan secara year to date (ytd) sejak kuartal I sampai dengan kuartal III, ekonomi tercatat minus 2,03 persen.

Investasi Tak Mampu Topang Pertumbuhan Ekonomi

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai kinerja investasi belum bisa menopang pertumbuhan ekonomi di masa pandemi Covid-19. Hal ini tidak sejalan dengan kampanye pemerintah yang ingin menarik relokasi industri dan Omnibus Law Cipta Kerja.

"Kinerja investasi tidak sejalan dengan kampanye masih Pemerintah untuk menarik relokasi industri dan Omnibus Law Cipta Kerja," kata Bhima di Jakarta, Kamis (5/11).

Ini tercermin pada pertumbuhan investasi terkoreksi hingga -6,48 persen. Artinya ada indikasi masalah utama investasi saat ini pada beberapa hal. Mulai dari penanganan pandemi, perbaikan daya beli, pemberantasan korupsi dan penurunan biaya logistik.

Berbagai masalah ini harus segera diatasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kembali pulih. "Masalah fundamental tersebut banyak yang tidak segera diatasi oleh pemerintah," kata Bhima.

Sisi lain, laju pertumbuhan industri manufaktur belum ada perbaikan yang signifikan, saat ini masih bertahan di level negatif menjadi -4,3 persen. "Indikasi sektor manufaktur masih alami tekanan yang cukup dalam seiring belum pulihnya permintaan di dalam dan pasar ekspor," kata dia.

Selain itu sektor tradable (produksi barang) lesu dan sumbangan terhadap PDB cenderung menurun. Industri manufaktur masih berada dibawah 20 persen dari PDB. Sektor pertanian mengalami penurunan dari 15,4 persen persen pada kuartal ke II 2020 menjadi 14,6 persen di kuartal ke III.

Belanja Pemerintah Tak Mampu Dorong Ekonomi

Belanja pemerintah belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Meskipun ada kenaikan pertumbuhan sebesar 9,76 persen, namun kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69 persen pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2020 ini.

"Kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69 persen pada kuartal ke III, hanya naik tipis dibanding kuartal ke II yakni 8,67 persen dari PDB," kata Peneliti Indef, Bhima Yudhistira.

Selain itu, efektivitas belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695 triliun masih rendah. Bhima menilai terdapat kesalahan konsep dalam penyaluran stimulus.

Dia mencontohkan program Kartu Prakerja yang tetap dilanjutkan. Padahal target sasaran tidak fokus dan training secara online belum dibutuhkan dalam situasi masyarakat membutuhkan bantuan langsung.

Namun demikian, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perbaikan kinerja perekonomian didorong oleh peran stimulus fiskal atau peran dari instrumen Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Utamanya dalam penanganan covid-19 serta program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Dia menyebut, pada kuartal III-2020 penyerapan belanja negara mengalami akselerasi peningkatan. Tercatat sampai dengan akhir September kuartal III-2020 tumbuh 15,5 persen. Terutama di topang realisasi bantuan sosial dan dukungan untuk dunia usaha, dan usaha kecil mikro.

"Rilis BPS juga mengonfirmasi percepatan realisasi belanja negara meningkat pesat pada kuartal III telah membantu pembalikan dari pertumbuhan konsumsi pemerintah yang positif sebesar 9,8 persen yoy," tandas dia.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, satu-satunya menjadi penopang ekonomi pada kuartal III-2020 tersebut dari sisi konsumsi pemerintah atau pengeluaran. Sementara beberapa komponen penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) lainnya masih mencatat negatif.

"Satu-satunya komponen yang tumbuh positif dan sangat tinggi adalah konsumsi pemerintah yaitu 9,76 persen," kata dia di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Kamis (5/11).

Berdasarkan data BPS, kuartal III-2020, konsumsi pemerintah tercatat tumbuh 9,76 persen. Sementara konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi minus 6,48 persen, Konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 2,12 persen, ekspor minus 10,28 persen, dan impor minus 21,86 persen.

"Jadi kalau di kuartal II yang lalu konsumsi pemerintah minus 6,9 persen sekarang posisinya berbalik dan tumbuh tinggi sekali," ungkapnya.

PSBB Jakarta

Direktur PT Garuda Berjangka, Ibrahim Assuhaibi mengatakan kontraksi ekonomi yang terjadi di kuartal III-2020 ini di luar prediksi pemerintah dan para ekonom. Sebab sebelumnya, pemerintah memperkirakan kontraksi berada dikisaran - 2 persen sampai - 1 persen.

"Ini di luar dugaan karena sebelumnya dianggap kontraksi dikisaran negatif 2 persen dampak negatif 1 persen," kata Ibrahim saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (5/11).

Ibrahim menjelaskan, kontraksi saat ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada kuartal pertama tahun 2020. Sementara, saat itu pemerintah belum memberikan stimulus ekonomi kepada masyarakat. Sedangkan pada kuartal III-2020 ini, pemerintah telah menggelontorkan berbagai program stimulus ekonomi. "Tapi kenyataannya ini kontraksi di 3,49 persen ini hampir 3,5 persen," kata Ibrahim.

Ibrahim menilai, kondisi ini salah satunya dipengaruhi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sempat kembali melakukan kebijakan PSBB selama satu bulan. Padahal kala itu DKI Jakarta sudah memasuki tahapan PSBB transisi.

"Penyebabnya PSBB DKI yang tadinya memasuki masa transisi melakukan pengetatan PSBB selama satu bulan," kata dia.

Akibatnya, daya beli masyarakat yang mulai tumbuh di masa transisi kembali menurun drastis saat kebijakan PSBB diberlakukan. Mal dan restoran yang sempat buka harus kembali tutup mengikuti aturan pemerintah daerah.

"Ini dampak langsungnya ke konsumsi masyarakat," kata dia.

Penerapan kebijakan PSBB kembali pun sempat mengganggu iklim investasi. Maka, tak heran jika PSBB ini memberikan sumbangsih pada kontraksi ekonomi yang terjadi di kuartal ketiga tahun ini. "Sehingga ini yang mengakibatkan kontraksi yang tajam, yang tadinya diprediksi minus 2 sampai minus satu menjadi minus 3,49 persen," tutur Ibrahim.

Dia menambahkan dampak lainnya yaitu sektor pembangunan infrastruktur yang saat ini tidak jadi perhatian pemerintah. Selama pandemi, pembangunan infrastruktur baik yang dilakukan swasta maupun pemerintah dihentikan.

Semua perhatian pemerintah pada penanganan kesehatan. Sehingga menghambat sektor investasi. Meski saat ini kondisinya mulai membaik namun tetap masih anjlok dan mengakibatkan kontraksi yang diluar perkiraan.

"Walaupun investasi di Indonesia sedikit lebih baik, tetapi masih jeblok dibandingkan tahun sebelumnya. Ini mengkhawatirkan, jadi wajar Q3 kontraksi," kata dia mengakhiri.

Dampak Dirasakan Masyarakat

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira menjabarkan dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat akibat resesi ekonomi. Pertama yaitu turunnya pendapatan kelompok masyarakat kalangan menengah dan bawah secara signifikan. Sehingga jumlah orang miskin baru akan bertambah.

"Turunnya pendapatan di kelompok masyarakat menengah dan bawah secara signifikan. (Sehingga) akan ada orang miskin baru," kata Bhima di Jakarta, Kamis (5/11).

Bhima melanjutkan, akibat resesi ekonomi ini, desa akan jadi tempat migrasi pengangguran. Mereka datang dari kawasan industri karena gelombang PHK massal.

Angkatan kerja baru pun makin sulit bersaing. Sebab lowongan pekerjaan menurun. Sisi lain jika ada perusahaan mencari pekerja baru akan memprioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman.

"Perusahaan kalaupun lakukan recruitment akan prioritaskan karyawan lama yang sudah berpengalaman," kata dia.

Dalam kondisi ini, masyarakat pun cenderung berhemat. Mereka akan menahan diri untuk membeli barang sekunder dan tersier.

Fokus masyarakat hanya pada barang kebutuhan pokok dan kesehatan. Lebih jauh, konflik sosial di masyarakat bisa meningkat karena ketimpangan semakin lebar. "Orang kaya bisa tetap survive selain karena aset masih cukup juga karena digitalisasi," kata dia.

Sementara kelas menengah rentan miskin. Sebab tidak semua pekerjaan mereka dapat dilakukan di rumah. Di saat yang bersamaan juga pendapatan menurun.

(mdk/idr)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Ekonomi Indonesia Tahun 2023 Malah Melemah di Tahun Politik, Ada Apa?
Ekonomi Indonesia Tahun 2023 Malah Melemah di Tahun Politik, Ada Apa?

Persiapan pemilu juga ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2023.

Baca Selengkapnya
Ekonomi Kuartal III-2023 Turun, Masyarakat Lebih Banyak Bayar Cicilan Dibanding Belanja
Ekonomi Kuartal III-2023 Turun, Masyarakat Lebih Banyak Bayar Cicilan Dibanding Belanja

Indef menilai, ada perubahan pola konsumsi masyarakat yang mempengaruhi ekonomi.

Baca Selengkapnya
Penerimaan Pajak hingga Pertengahan Maret Tembus Rp342,88 Triliun
Penerimaan Pajak hingga Pertengahan Maret Tembus Rp342,88 Triliun

Mayoritas jenis pajak utama tumbuh positif sejalan dengan ekonomi nasional yang stabil.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Cukai Rokok Naik 10 Persen Mulai 1 Januari 2024, BPS: Bakal Berdampak ke Inflasi
Cukai Rokok Naik 10 Persen Mulai 1 Januari 2024, BPS: Bakal Berdampak ke Inflasi

Meski demikian, Amalia tidak menyebutkan besaran andil inflasi kenaikan cukai rokok hingga 10 persen di tahun ini.

Baca Selengkapnya
Masyarakat Banyak Belanja saat Ramadan dan Lebaran, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2024 Bakal Meroket
Masyarakat Banyak Belanja saat Ramadan dan Lebaran, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2024 Bakal Meroket

Kendati begitu, Perry mengakui kinerja ekspor barang belum kuat dipengaruhi oleh menurunnya ekspor komoditas.

Baca Selengkapnya
Pemerintah Klaim Reformasi Birokrasi 2023 Berhasil, Buktikan dengan Turunnya Angka Kemiskinan
Pemerintah Klaim Reformasi Birokrasi 2023 Berhasil, Buktikan dengan Turunnya Angka Kemiskinan

Melalui rencana aksi reformasi birokrasi di sektor ini, pemerintah mengklaim berhasil menekan angka inflasi sebesar 2,61 persen di 2023.

Baca Selengkapnya
Keuangan Masyarakat Sudah Pulih, Kadin Proyeksi Perputaran Uang Selama Lebaran Tembus Rp157,3 Triliun
Keuangan Masyarakat Sudah Pulih, Kadin Proyeksi Perputaran Uang Selama Lebaran Tembus Rp157,3 Triliun

Dengan perputaran yang cukup besar tersebut, dipastikan ekonomi daerah akan produktif mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga.

Baca Selengkapnya
Didorong Konsumsi Pemilu, Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh 5,5 Persen di 2024
Didorong Konsumsi Pemilu, Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh 5,5 Persen di 2024

penyelenggaraan pesta demokrasi memberi dampak positif terhadap perekonomian nasional.

Baca Selengkapnya
Hasto Sebut Prabowo-Gibran Didukung Kekuatan 30 Persen Penyumbang Perekonomian Nasional
Hasto Sebut Prabowo-Gibran Didukung Kekuatan 30 Persen Penyumbang Perekonomian Nasional

Hasto menyebut Prabowo-Gibran didukung kekuatan besar

Baca Selengkapnya