Kemenko Perekonomian: Jangan Lihat Perjanjian Perdagangan Bebas sebagai Ancaman
Merdeka.com - Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Rizal Affandi Lukman mengingatkan para pelaku industri agar tidak memaknai perjanjian perdagangan bebas, termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebagai sebuah ancaman. RCEP harus ditanggapi sebagai suatu peluang memperbesar kapasitas pasar.
"Perjanjian perdagangan bebas, RCEP ataupun yang lain, dilihat jangan hanya dari aspek ancamannya. Tapi kita juga arus liat itu sebagai kesempatan. Di antaranya berupa koneksi akses yang diperoleh dengan perjanjian dengan negara lain," ujarnya di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Rabu (20/11).
Sebab, hingga kini besarnya ekspor terhadap ekonomi Indonesia tinggal 21 sampai 22 persen. Hal tersebut menandakan pasar domestik atau domestic market telah menjadi zona nyaman bagi pelaku industri industri lokal. Padahal seharusnya, industri harus mampu melebarkan sayap ke dunia internasional.
"Jadi pelaku usaha jangan hanya menganggap Indonesia sebagai comfort zone. Jangan hanya defensif, tapi ofensif. Jangan jadi jago kandang belaka," katanya.
Siap Hadapi Pertandingan Global
Sementara itu, Direktur Perundingan ASEAN Kemendag Donna Gultom mengatakan, untuk menghadapi pertandingan 2 sampai 3 tahun mendatang, harus sangat disiapkan kemampuan untuk merangsek pasar negara lain.
"Kita sedang siapkan supaya mampu bertanding. Sehingga kita mampu memasuki pasar negara lain. Otomatis dengan kemampuan itu, kan pasti pasar dalam negeri sudah dikuasai," katanya.
Pemerintah menyebut kerja sama di kawasan ASEAN dalam kerangka Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akan berpotensi besar memajukan industri dalam negeri, khususnya otomotif dan kimia yang didorong untuk paling depan memanfaatkan kerja sama tersebut.
"Saya pikir sektor industri kita lumayan ya, di industri besi dan baja kita dorong meski PR (Pekerjaan Rumah) kita banyak sekali. Otomotif yang sedang kita garap, kalau kita bisa lebih efisien lagi, mungkin otomotif ini yang paling duluan kita bisa dapatkan manfaatnya. Kemudian industri kimia, farmasi, itu semua yang potensial buat Indonesia," ungkapnya.
Namun demikian, Donna Gultom menegaskan bahwa peluang-peluang tersebut tidak akan membuahkan hasil jika Indonesia tidak mempersiapkan infrastruktur-infrastruktur pendukung. Salah satunya seperti pelabuhan untuk ekspor.
"Jadi memang banyak hal yang harus kita siapkan. Korea sudah masuk permintaan farmasi, lalu otomotif juga kita harapkan bertambah dari Jepang. Yang jelas kalau kita merasa belum mampu berdaya saing, kita akan dorong investasi ke sana karena kita ingin meningkatkan kapasitas produksi kita, kemampuan kita ekspor, supaya pada saatnya kita buka itu kita sudah mampu bersaing," tandasnya.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Indonesia kini menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit.
Baca Selengkapnyapenyelenggaraan pesta demokrasi memberi dampak positif terhadap perekonomian nasional.
Baca SelengkapnyaTerdapat empat aspek yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia ke depan.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Ekonomi hijau dinilai sebagai solusi dari sistem ekonomi eksploitatif yang selama ini cenderung merusak lingkungan.
Baca SelengkapnyaKeduanya membahas tentang situasi dan kondisi dunia saat ini, termasuk kepada masalah ekonomi dan keamanan negara.
Baca SelengkapnyaSalah satu faktornya adalah kinerja ekspor sepanjang tahun 2023 mampu menembus USD 258,82 miliar.
Baca SelengkapnyaPersiapan pemilu juga ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2023.
Baca SelengkapnyaDuta Besar RI untuk Inggris Desra Percaya terus mendorong optimalisasi peran diaspora Indonesia dalam membangun ekonomi berbasisinovasi.
Baca SelengkapnyaSaat ini investor cenderung memperhatikan arah kebijakan, kemungkinan perubahan-perubahan di sisi pemerintah yang akan mempengaruhi bisnis.
Baca Selengkapnya