Kominfo bantah Indonesia tidak miliki kedaulatan frekuensi
Merdeka.com - Bantahan cukup keras dilontarkan Kepala Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto terkait anggapan bahwa Indonesia merupakan negeri yang tidak memiliki kedaulatan frekuensi.
Menurut dia, sesuai dengan ketentuan International Telecommunication Union (ITU), telah jelas diatur kalau setiap negara memiliki kedaulatan frekuensi, artinya memiliki hak mengatur spektrum frekuensinya masing-masing.
"Apakah waktu Kominfo memutuskan soal merger XL dan Axis, kami tergantung Kuala Lumpur dan Riyadh? No way," tegasnya melalui timeline di Twitter.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya menyetujui akuisisi-merger antara XL dengan Axis. Persetujuan tersebut dilanjutkan dengan pengambilan frekuensi keduanya di pita 2,1 GHz selebar 10 MHz dan tidak mengambil pita frekuensi di 1800 MHz.
Pengambilan pita frekuensi yang hanya terjadi di pita 2,1 GHz menjadikan komposisi Telkomsel dan XL sama dan seimbang. XL bahkan bisa lebih unggul dari anak usaha Telkom itu bila berhasil mendapatkan satu blok di pita 2,1 GHz melalui lelang.
Sejak awal, Kementerian Kominfo melalui tim ad hoc merger-akuisisi XL-Axis mengklaim tak ada tekanan dari manapun, termasuk dari Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Namun, bukti-bukti tidak adanya kedaulatan frekuensi di Indonesia terlihat dari hampir 90 persen frekuensi dikuasai oleh asing, atau operator yang dimiliki asing. Artinya, bukan hanya aliran pulsa dan uang saja yang terbang ke luar negeri, demikian juga dengan informasi penting dan bersifat rahasia.
Yang membuat kita sedikit miris adalah Telkomsel, yang disebut-sebut merupakan operator paling merah putih ternyata hanya benar-benar dimiliki Indonesia sebesar 33 persen. Mengapa? Karena meski Telkomsel dimiliki Telkom sebesar 65 persen, namun dalam Telkom sendiri terbagi dua, yaitu 51 persen NKRI dan 49 persen asing.
Bahkan ternyata operator Tri masih lebih Indonesia dari Telkomsel, setelah pengusaha nasional Erick Thohir berhasil mendaratkan modalnya sebesar 35 persen di operator asal China tersebut.
XL Axiata sudah dikuasai hampir 100 persen asing, yang mana Axiata Investments Sdn Bhd menguasai 66,5 persen dan publik yang juga didominasi asing menguasai 33,5 persen.
Bila kemudian frekuensi yang tersisa di pita 700 MHz, 2,3 MHz, dan 2,1 GHz serta slot orbit nasional juga kembali diobral kepada asing, belum lagi membanjirnya vendor perangkat dan ponsel asing, maka tak ada lagi yang tersisa, yang ada hanyalah negeri yang tidak memiliki kedaulatan digital sama sekali.
(mdk/mtf)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
BAKTI Kementerian Kominfo menerima usulan sekitar 80.000 titik penyediaan akses internet dari KPU.
Baca SelengkapnyaSatelit Merah Putih 2 ini akan menjadi tolak ukur perkembangan digitalisasi Indonesia.
Baca SelengkapnyaBerikut adalah laporan dari We Are Social yang memotret kondisi internet di seluruh dunia.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Bahkan Menkominfo menyebut situasi ruang digital lebih baik dibandingkan pada 2019.
Baca SelengkapnyaDampak perubahan iklim global tidak hanya dirasakan oleh Indonesia, melainkan juga seluruh negara di dunia.
Baca SelengkapnyaGara-gara kecepatan internet Indonesia masih kalah dengan negara tetangga, Menkominfo mau buat regulasi khusus.
Baca SelengkapnyaDari penelitian yang dilakukan, melibatkan beragam keluarga dari berbagai negara, salah satunya Indonesia.
Baca SelengkapnyaIndonesia memiliki sebuah kereta yang kehadirannya sama sekali tidak diharapkan, jika kereta tersebut keluar, berarti sedang ada hal buruk yang terjadi.
Baca SelengkapnyaBank Dunia yang menyebut Indonesia harus bisa menyediakan lapangan kerja berkualitas agar bisa menjadi negara berpendapatan tinggi.
Baca Selengkapnya