Menyuap dengan survei?
Merdeka.com - Dunia survei di Indonesia tengah menjadi sorotan. Di tengah dugaan ketidakjujuran sejumlah lembaga dalam merilis hasil survei Pilgub DKI, kini dunia riset politik kembali ditimpa masalah yang tidak main-main, yakni korupsi.
Dugaan korupsi yang menyerempet dunia penelitian ini muncul lewat pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Saiful Mujani, pendiri sekaligus pemilik lembaga survei dan konsultasi politik Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Mujani memang diperiksa hanya sebagai saksi untuk tersangka kasus suap Bupati Buol, Amran Batalipu. Namun, pemeriksaan salah satu pendiri Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu seakan telah membuka sebuah dugaan modus korupsi politik baru: menyuap dengan survei.
Usai diperiksa KPK kemarin, Rabu (18/7), Mujani mengaku lembaganya memang pernah melakukan survei untuk Amran yang akan maju lagi dalam Pemilihan Bupati Buol Juli 2012. Namun, "Ini bukan dari Pak Amran tapi dari Pak Totok Lestiyo," kata Mujani.
Totok Lestiyo yang dimaksud Mujani adalah Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP), perusahaan yang beberapa pejabatnya sudah ditangkap KPK karena diduga telah menyuap Amran demi kelancaran hak izin penggunaan lahan di Buol. Dari sinilah dugaan suap yang berkelindan dengan dunia konsultasi politik itu muncul. Jika survei untuk kepentingan pemenangan Amran, mengapa lantas seorang pengusaha yang meminta survei?
Wilayah tersebut memang belum bisa terjawab karena menjadi pembuktian KPK. Namun jamak diketahui, menjelang pilkada/pilpres para pengusaha memang kerap diam-diam (tanpa sepengatahuan kandidat) meminta lembaga survei untuk meriset elektabilitas beberapa calon demi kepentingan donasi. Hasil survei nantinya dapat memberikan masukan kepada pengusaha agar tidak menyumbang kandidat yang kemungkinan kalah. Bukankah menyumbang kandidat yang bakal tamat tidak akan menjadi investasi politik bagi pengusaha?
Namun kasus Amran ini sepertinya berbeda. Seorang sumber merdeka.com membisikkan Amran juga pernah berhubungan dengan pihak Mujani. Bahkan sumber itu mengungkapkan calon incumbent tersebut juga pernah memaki-maki peneliti SMRC.
"Saat itu bupati Buol memaki-maki peneliti SMRC karena hasil surveinya rendah," kata sumber yang merupakan orang dekat Mujani.
Jika Amran dan pihak Mujani pernah berhubungan, dugaan yang paling mungkin adalah survei dipakai sebagai suap pihak perusahaan kepada sang bupati. Disebut suap karena biaya untuk melakukan survei tidaklah sedikit.
Dalam sebuah diskusi Survei Ilmiah atau Dagang di Jakarta, Selasa (17/7), peneliti PRIDE Indonesia Agus Herta Sumarto, mengungkapkan untuk setiap kali survei setingkat Pilkada kabupaten/kota, klien harus merogoh kocek sekitar Rp 150-250 juta per pasangan calon, tergantung dari luas dan jumlah pemilih di wilayah tersebut. Belum lagi, survei untuk tiap pilkada biasanya dilakukan minimal tiga kali. Jika diambil angka minimal, berarti Rp 150 juta x 3 = Rp 450 juta. Ini nilai yang tidak sedikit untuk sebuah suap di daerah.
Untuk survei dilakukannya terhadap Amran, Mujani tidak mengungkapkan berapa rupiah yang bayarkan Totok kepadanya. "Tidak boleh, itu rahasia," kata doktor ilmu politik jebolan Ohio State University itu.
Kepada pers, Mujani juga mengaku tidak tahu menahu soal apa di balik order survei yang diminta Totok itu, termasuk dugaan survei tersebut sebagai suap untuk Amran. "Saya tidak tahu dia (Totok) mempunyai tujuan apa," kata Mujani. "Tidak (curiga) karena saya sudah kenal Totok sejak lama."
Apakah sikap Mujani yang seperti tak mau tahu itu tepat? Dalam Kode Etik Profesional dan Praktek Ilmiah versi World Association for Public Opinion Research (WAPOR) memang tidak ada aturan yang mewajibkan seorang peneliti untuk mengetahui kepentingan sponsor di balik riset yang dilakukan. Kode etik hanya mengharuskan peneliti berusaha sekuat tenaga mengikuti secara teliti spesifikasi proposal penelitian yang telah diajukan kepada sponsor.
Kode etik juga tidak mewajibkan seorang peneliti untuk bertanya dari mana uang penelitian itu berasal. Namun, jika berkaca dari kasus Mujani ini, ke depan ada baiknya peneliti tidak hanya berpaku pada kode etik. Peneliti kini wajib super hati-hati agar tidak masuk dalam pusaran kasus korupsi yang sudah melilit negeri.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
69,3 Persen penerima bansos berdasarkan hasil survei LSI memilih Prabowo-Gibran.
Baca SelengkapnyaMayoritas responden menyatakan puas atas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaLembaga survei sudah mengeluarkan hasil quick count Pemilihan Presiden 2024.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sejumlah lembaga survei memotret elektabilitas atau tingkat keterpilihan capres dan cawapres empat hari menjelang pencoblosan.
Baca SelengkapnyaLembaga survei SMRC sudah mengeluarkan hasil quick count Pemilihan Presiden 2024
Baca SelengkapnyaJelang pelaksanaan debat ketiga, sejumlah lembaga telah mengeluarkan hasil survei terkait elektabilitas tiga paslon.
Baca SelengkapnyaLembaga survei SMRC sudah mengeluarkan hasil quick count Pemilihan Presiden 2024.
Baca SelengkapnyaSurvei dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan data melalui wawancara tatap muka langsung dengan responden terpilih.
Baca SelengkapnyaSurvei yang selesai mereka lakukan pada 6 Februari itu menemukan bahwa elektabilitas Prabowo-Gibran sebesar 53,5 persen.
Baca Selengkapnya