DPR: Revisi UU Pemilu Tersandera Isu Pilkada, Padahal Banyak Lebih Penting
Merdeka.com - Wakil Ketua Komisi II DPR, Saan Mustopa menilai, pembahasan Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedang tersandera. Hal ini akibat perdebatan jadwal pelaksanaan Pilkada yang tetap digelar pada 2024 sesuai UU Pilkada atau normalisasi menjadi 2022 dan 2023 dalam revisi UU Pemilu.
"Terkait revisi UU pemilu, sepertinya kita sekarang yang ada di parlemen sepertinya tersandera dengan isu keserentakan pilkada itu yang membuat polemik dan menghiasi hari-hari halaman media kita dan perdebatan kita," kata Saan ketika diskusi virtual dengan tema 'Menjamin Penguatan Kebijakan Afirmasi Melalui Revisi UU Pemilu' pada Jumat (5/2).
Menurutnya, banyak pekerjaan yang harus dituntaskan dan lebih penting selain jadwal pelaksanaan Pilkada Serentak. Karena keserentakan Pilkada hanya salah satu isu krusial yang sedang dibahas, bersamaan dengan sistem pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, distrik magnitude, konversi suara.
"Ada beberapa hal terkait revisi UU Pemilu yang sekarang drafnya di Baleg untuk diharmonisasi, dan disinkronisasikan," katanya
Padahal, lanjut Saan, masih banyak hal penting yang harus diperbaiki, seperti pengadilan khusus pemilu agar pelaksanaanya lebih efektif dan efisien. Termasuk inovasi dan penerapan teknologi dalam pemilu.
"Meliput juga terkait dengan soal isu inovasi pemilu, dengan menerapkan. Teknologi informasi. Sekaligus juga menjawab polarisasi pembelahan di masyarakat dari dampak pemilu tersebut," jelasnya.
"Dan juga ada memang konsen di kami terkait dengan penguatan politik afirmatif bagi perempuan. Politik afirmatif ini penting, karena memang dari waktu ke waktu dari pemilu ke pemilu juga harus terus mengalami penguatan dari sekedar keterwakilan 30 persen, kita juga harus atur penempatan nomor urut, dan sebagainya," tambahnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga menyoroti jika dinamika pembahasan jadwal Pilkada Serentak serasa mengesampingkan agenda pembahasan keterwakilan perempuan.
"Keterwakilan perempuan ini cenderung terpinggirkan ya, hiruk pikuk kita ini terfokus pada pilkada serentak di 2024 atau tetap diadakan 2022 dan 2023 atau bagaimana. Jadi aspek dinamika politik praktis yang berkaitan dengan partai politik secara langsung dan elite itu selalu lebih mendominasi perhatian publik," kata Titi.
Padahal, kata Titi, banyak yang harus disoroti terkait pembahasan dalam Revisi Pemilu seperti penyelenggara pemilu, penegakan pemilu, tatakelola administrasi dan manajerial pemilu yang selalu mendapat porsi sedikit.
"Kalau bisa dibilang sisa-sisa lah ya, dibandingkan pembahasan politik yang sifatnya langsung berkaitan dengan elite-elite politik kita," katanya.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Banyaknya tahapan Pilkada 2024 yang akan bersinggungan dengan tahapan Pemilu nasional 2024.
Baca SelengkapnyaMasyarakat Indonesia patut bersyukur dan bersuka cita karena telah melewati proses Pemilu 2024
Baca SelengkapnyaDPR Akui Revisi UU Kementerian bakal Bahas Penambahan Jumlah Menteri jadi 40
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Di antara tahun 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia sempat mengimplementasikan sistem pemilu proporsional tertutup.
Baca SelengkapnyaFirman menjelaskan, bahwa UU MD3 itu awalnya dimasukkan dalam Prolegnas prioritas karena mempertimbangkan UU IKN.
Baca SelengkapnyaPantarlih adalah petugas yang dibentuk oleh PPS atau PPLN untuk melakukan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih.
Baca SelengkapnyaYogyakarta menjadi provinsi dengan tingkat hidup paling tinggi. Dibuktinya dengan banyaknya lansia yang masih hidup bahagia di provinsi ini.
Baca SelengkapnyaBadan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyetujui Revisi UU Desa.
Baca SelengkapnyaHal ini dikarenakan penanganan kasus ini mencerminkan upaya untuk mempertahankan integritas Pemilu
Baca SelengkapnyaPPS membantu kelancaran penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Baca Selengkapnya