Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Demokrat geram SBY dituding penyusun draf pasal penghinaan presiden

Demokrat geram SBY dituding penyusun draf pasal penghinaan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. © richestlifestyle.com

Merdeka.com - Penyelipan pasal 263 ayat 1 dan diperluas lewat pasal 264 dalam RUU KUHP yang disodorkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang Penghinaan Presiden menjadi polemik. Namun, pihak Istana mengatakan draf revisi pasal tersebut sudah ada di era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi hanya meneruskan saja.

Menanggapi hal tersebut Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Salim S Mengga merasa geram karena lagi-lagi pemerintahan SBY disalahkan. Menurutnya perilaku saling menyalahkan ini tak mencerminkan sikap pejabat negara yang kesatria.

"Jadi kalau mengusulkan sesuatu kemudian ditolak, ya biasa saja lah, enggak usah bilang ini dari yang sebelumnya. Itu kan tidak gentle, politisi harusnya punya jiwa kesatria dong. Kalau ada penolakan dari publik dievaluasi kenapa ada penolakan. Enggak usah nyalain yang lain-lain. Ini sikap dari politisi seperti apa cuma bisa menyalahkan orang," kata Salim saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Kamis (6/8).

Menurut Salim, tidak adil jika orang yang sudah tidak menjabat dijadikan kambing hitam. Sebab percuma saja SBY tetap tidak bisa memperbaikinya karena masa jabatannya sudah berakhir.

Salim menegaskan tak perlu pejabat negara cari kambing hitam. Dia malah memberi saran agar ada keberanian untuk menjelaskan kepada masyarakat.

"Kalau saya melihat hal seperti itu kalau misalnya ada yang menawarkan tapi ditolak publik, pertama lakukan upaya untuk meyakinkan publik ini untuk apa. Berguna atau tidak untuk bangsa ini. Kalau tidak mampu meyakinkan publik, ya mending ditarik kembali, jangan diterbitkan, itu aja," tegasnya.

Menurut Salim pasal penghinaan tersebut sebenarnya sudah ada di era Orde Baru Soeharto. Pasal tersebut pernah menjadi penolakan publik besar-besaran. Maka dari itu Salim berharap agar berhati-hati dalam mengusulkannya lagi. Sedangkan dalam pengusulan sebaiknya berani atas segala risiko yang akan didapat.

"Lah sekarang mau diusulkan kembali, karena di media sosial terlalu banyak ucapan-ucapan yang dianggap tidak pantas. Kan dia bisa evaluasi, bisa dibaca kalau memang tidak cocok kan mending dibatalkan. Sekarang mereka mengusulkan lagi ditolak oleh publik lalu menyalahkan orang lain, buat apa?" tutupnya.

Sebelumnya, Pemerintah berupaya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Draf revisi pasal tersebut telah diajukan secara langsung untuk dibahas di Komisi III DPR.

Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki menjelaskan, draf revisi KUHP sebetulnya telah diajukan sejak pemerintahan Presiden SBY. Namun, saat itu pembahasannya belum tuntas.

"Putusan MK kan tahun 2006. Kemudian pemerintahan SBY usulkan 2012, tapi tidak tuntas pembahasannya, sehingga dikembalikan lagi pada pemerintah. Lalu oleh Menkum HAM sama DPR diputuskan untuk masuk dalam prolegnas tahun 2015. Jadi secara substansi sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan pemerintahan lalu," jelas Teten kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (4/8).

(mdk/eko)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
JK Ungkap Penyebab Pemilu 2024 Diwarnai Protes

JK Ungkap Penyebab Pemilu 2024 Diwarnai Protes

Demokrasi tidak berjalan sesuai yang diharapkan dan didambakan oleh rakyat.

Baca Selengkapnya
Saksi Ahli Kubu AMIN Sebut Penetapan Gibran sebagai Cawapres Langgar Hukum dan Konstitusi

Saksi Ahli Kubu AMIN Sebut Penetapan Gibran sebagai Cawapres Langgar Hukum dan Konstitusi

Bambang berujar, tak semestinya syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diubah dan diamandemen kan di tengah proses Pemilu sedang berlangsung.

Baca Selengkapnya
Jokowi Enggan Komentari Pencopotan Firli Bahuri dari Ketua KPK

Jokowi Enggan Komentari Pencopotan Firli Bahuri dari Ketua KPK

Jokowi menyebut, Firli saat ini masih menjalani proses hukum terkait status tersangkanya dalam kasus dugaan pemerasan SYL.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Status Jakarta Masih Ibu Kota sampai Presiden Terbitkan Keppres Perpindahan ke IKN

Status Jakarta Masih Ibu Kota sampai Presiden Terbitkan Keppres Perpindahan ke IKN

Menurutnya, IKN secara hukum akan efektif menjadi ibu kota negara menggantikan Jakarta pada saat Keppres diterbitkan.

Baca Selengkapnya
Jelang Pencoblosan, Anies Berharap Tidak Ada Lagi Pelanggaran Etik

Jelang Pencoblosan, Anies Berharap Tidak Ada Lagi Pelanggaran Etik

DKPP menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari melanggar etik.

Baca Selengkapnya
Demokrat Hampir 10 Tahun jadi Oposisi, Kritik AHY: Pembangunan di Indonesia Belum Merata

Demokrat Hampir 10 Tahun jadi Oposisi, Kritik AHY: Pembangunan di Indonesia Belum Merata

AHY menegaskan ingin fokus memenangkan Partai Demokrat dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Dulu AHY Kritik IKN Sita Anggaran Negara, Usai Jadi Menteri Puja Puji

Dulu AHY Kritik IKN Sita Anggaran Negara, Usai Jadi Menteri Puja Puji

AHY resmi dilantik Presiden Jokowi menjadi Menteri ATR/BPN di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/2/2024) lalu.

Baca Selengkapnya
Presiden Jokowi Diseret Dalam Sidang Sengketa Pilpres, Istana Minta Pembuktian Tuduhan di MK

Presiden Jokowi Diseret Dalam Sidang Sengketa Pilpres, Istana Minta Pembuktian Tuduhan di MK

Pihak Istana masih menunggu pembuktian atas tuduhan yang disampaikan persidangan.

Baca Selengkapnya
Dewas KPK Vonis Firli Bahuri Bersalah, Jatuhkan Sanksi Berat untuk Mengundurkan Diri

Dewas KPK Vonis Firli Bahuri Bersalah, Jatuhkan Sanksi Berat untuk Mengundurkan Diri

ertemuan itu pun dianggap oleh Tumpak adanya kepentingan tertentu.

Baca Selengkapnya