Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Utak atik pasal demi hindari KPK

Utak atik pasal demi hindari KPK Setya Novanto. ©dpr.go.id

Merdeka.com - Setjen dan Badan Keahlian DPR RI mengirim surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isinya, keberatan terhadap pemanggilan Ketua DPR Setya Novanto sebagai saksi atas untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudiharjom dalam kasus proyek e-KTP.

KPK dinilai tak bisa memanggil seorang anggota DPR dalam pemeriksaan tanpa izin tertulis dari Presiden Joko Widodo. Hal ini merujuk dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-XII/2014.

Pekan lalu Novanto dijadwalkan untuk diperiksa untuk saksi Anang. Tetapi dia mangkir lantaran sedang melakukan kunjungan di masa reses DPR. Kemudian, Jumat (3/11), dia memenuhi panggilan jaksa penuntut umum KPK sebagai saksi untuk terdakwa Andi Narogong di pengadilan.

Kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi menjelaskan, dalam putusan MK tersebut terkait uji materi Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3, pasal 245 ayat (1) tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai.

Bunyi pasal 245 yakni 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden'.

Pasal 245 ayat (1) dalam UU MD3 menuliskan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Lalu pada ayat (2), tertulis, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.

Sementara putusan MK No 76/PUU-XII/2014, tanggal 20 November 2014, Fredrich memaparkan, makna 'persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan' dalam Pasal 245 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'persetujuan tertulis dari Presiden'.

Kata Fredrich, Pasal 245 ayat (1) usai putusan MK, selengkapnya menjadi 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden'.

"Dengan demikian penyidik wajib meminta izin tertulis dari Presiden dan wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah kehormatan Dewan sebagaimana pasal 245 (2) yang tidak dibatalkan Oleh MK RI," ungkap Fredrich.

Tanggapan KPK

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya akan mempelajari lebih dahulu alasan Setya Novanto mangkir dari pemeriksaan.

"Pertama tentu harus kita baca dan pelajari lebih dulu. Kedua apakah isi surat tersebut dibuat dengan sepengetahuan saksi SN, kita tidak tahu," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (6/11).

Dia menjelaskan, dalam surat tersebut perlu dikaji karena alasannya adalah merujuk pada Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17/2014 UU MD3 yang harus ada izin Presiden.

"Bagi KPK sebenarnya pelaksanaan tugas yang kita lakukan sebaiknya tetap diletakkan di koridor hukum, dan Presiden saya kira punya tugas yang jauh lebih besar. Jadi jangan sampai kemudian ketika itu tidak diatur Presiden juga ditarik-tarik pada persoalan ini," ungkap Febri.

Febri juga menjelaskan, sebelumnya pihak KPK telah menerima surat mangkirnya Setya Novanto lantaran alasan tengah turun ke konstituen di masa reses DPR. Surat tersebut diterima pihak KPK dengan ditandatangani Setnov sendiri. Oleh karena itu, pihaknya akan mempelajari lagi terkait alasan Setnov kali ini.

"Jadi ini adalah alasan yang baru dan kita perlu baca aturan-aturan yang diatur uu MD3 dan putusan MK tersebut," ungkap Febri.

Analisa pengamat

Tafsir putusan MK dari kubu Novanto dianggap salah kaprah. Kubu Novanto dianggap tidak mampu dan tidak memahami UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, serta perkembangan ketatanegaraan pasca adanya Putusan MK tahun 2015 yang lalu.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menjelaskan, saat ini pasal yang mengatur mengenai prosedur dalam hal anggota DPR menghadapi pemeriksaan aparat penegakan hukum karena melakukan tindak pidana adalah Pasal 245 UU MD3 yang oleh Mahkamah Konstitusi Melalui Putusannya Nomor 76/PUU-XII/2014 telah diberikan pengertian/makna baru.

Bayu mengatakan, jika sebelum adanya putusan MK tersebut pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) maka setelah adanya putusan MK persetujuan tertulis dari MKD diganti dengan persetujuan tertulis dari Presiden.

"Artinya, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana setelah adanya Putusan MK ini harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden," kata Bayu saat dikonfirmasi wartawan, Senin (6/11).

Namun demikian, Bayu melanjutkan, menurut MK apabila Presiden tidak memberikan persetujuan tertulis paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, maka pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan tetap dapat dilakukan. Artinya persetujuan tertulis Presiden tidak bisa dijadikan alat untuk mangkir atau menunda dilakukannya Penyidikan. Hal ini dalam rangka mewujudkan proses hukum yang berkeadilan serta menjamin kepastian hukum.

"Pasal 245 UU MD3 pasca adanya Putusan MK mengatur persetujuan tertulis Presiden diperlukan hanya untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana," katanya.

Dengan demikian, lanjut Bayu, untuk pemanggilan oleh aparat penegak hukum seperti kepolisian, KPK dan pengadilan yang ditujukan kepada anggota DPR untuk kepentingan

seperti menjadi saksi perkara pidana tentu tidak memerlukan persetujuan tertulis menjadi saksi. Dengan demikian tidak bisa anggota DPR menolak hadir dipanggil aparat penegak hukum sebagai saksi karena alasan belum ada izin tertulis Presiden karena memang hal demikian tidak diperlukan.

Lagipula, Bayu menjelaskan lebih dalam, Pasal 245 ayat 3 UU MD3 masih tetap berlaku menjadi satu kesatuan Makna dengan Pasal 245 ayat (1). Pasal 245 ayat (3) UU MD3 isinnya adalah kewajiban meminta persetujuan tertulis kepada presiden untuk memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana tidak berlaku apabila anggota DPR:

a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;

b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau

c. disangka melakukan tindak pidana khusus.

"Dengan demikian pemeriksaan anggota DPR sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang masuk tindak pidana khusus tidak perlu persetujuan tertulis Presiden," katanya.

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Dipanggil Terkait Kasus Korupsi Eks Mentan SYL, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Tak Penuhi Panggilan KPK
Dipanggil Terkait Kasus Korupsi Eks Mentan SYL, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Tak Penuhi Panggilan KPK

Arief Prasetyo meminta penjadwalan ulang. Ali menjamin, KPK akan menginformasikan jadwal pemeriksaan berikutnya.

Baca Selengkapnya
KPK Tetapkan Kepala BPPD Sidoarjo Jadi Tersangka Korupsi Pemotongan Insentif Pegawai
KPK Tetapkan Kepala BPPD Sidoarjo Jadi Tersangka Korupsi Pemotongan Insentif Pegawai

AS ditahan 20 hari pertama terhitung tanggal 23 Februari 2024 sampai dengan 13 Maret 2024 di Rutan KPK.

Baca Selengkapnya
KPK Periksa IRT Usut Kasus Bupati Sidoarjo Potong Dana Insentif ASN
KPK Periksa IRT Usut Kasus Bupati Sidoarjo Potong Dana Insentif ASN

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD Siska Wati sebagai tersangka korupsi pemotongan dana insentif ASN Sidoarjo

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Pejabat KKP Dituduh Terima Suap dari Perusahaan Jerman, Begini Respons Menteri Trenggono
Pejabat KKP Dituduh Terima Suap dari Perusahaan Jerman, Begini Respons Menteri Trenggono

Perusahaan asal Jerman dikabarkan menyuap pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan pada periode 2014-2018.

Baca Selengkapnya
DPR Minta KPK Usut Terduga Pelaku yang Bocorkan Informasi OTT
DPR Minta KPK Usut Terduga Pelaku yang Bocorkan Informasi OTT

Akibatnya, kebocoran infomasi kerap membuat gagal operasi tangkap tangan (OTT).

Baca Selengkapnya
KPK Amankan 4 Koper Usai Geledah Rumah Dinas Bupati Sidoarjo Terkait Korupsi Dana Insentif
KPK Amankan 4 Koper Usai Geledah Rumah Dinas Bupati Sidoarjo Terkait Korupsi Dana Insentif

Dari yang terlihat, setidaknya ada 4 koper yang dibawa oleh petugas KPK

Baca Selengkapnya
Sudah Naik Penyidikan, KPK Beberkan Modus Korupsi LPEI Rugikan Negara Rp3,4 Triliun
Sudah Naik Penyidikan, KPK Beberkan Modus Korupsi LPEI Rugikan Negara Rp3,4 Triliun

KPK membeberkan ada tiga perusahaan terlibat terindikasi fraud atau kecurangan hingga mengakibatkan negara rugi Rp3,4 triliun.

Baca Selengkapnya
Komisi III DPR Ingin  Dugaan Korupsi di Antam Jadi Momen 'Bersih-bersih' BUMN
Komisi III DPR Ingin Dugaan Korupsi di Antam Jadi Momen 'Bersih-bersih' BUMN

Korupsi yang diduga dilakukan Budi Said di Antam ditaksir mencapai Rp1,1 triliun

Baca Selengkapnya
Santri Ponpes Makassar Tewas di Tangan Senior, Anggota DPR Colek Kapolda hingga Kapolri 'Beri Hukuman Setimpal'
Santri Ponpes Makassar Tewas di Tangan Senior, Anggota DPR Colek Kapolda hingga Kapolri 'Beri Hukuman Setimpal'

Menanggapi hal ini, sosok anggota DPR RI memberi atensi.

Baca Selengkapnya