Perjuangan Tan Malaka bebaskan romusha Banten dari penderitaan
Merdeka.com - Ditetapkannya status tersangka terhadap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar hitam perjalanan bangsa ini. Jika dulu para pendiri bangsa tak pernah berpikir memperkaya diri sendiri dan hanya memikirkan Indonesia merdeka lepas dari imperialisme, kini hal sebaliknya justru dilakukan para pejabat negeri.
Korupsi menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan di negeri ini terus abadi. Namun, para petinggi korup seperti tak pernah sadar untuk memikirkan nasib rakyat banyak. Mereka hanya sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk pribadi dan golongannya.
Mereka bahkan tak malu bergaya hidup mewah di tengah kesulitan rakyat. Di Banten, gaya glamor Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Banten. Jika Atut punya banyak busana mahal dan Wawan punya banyak mobil mewah, rakyat miskin di Banten justru malah bertambah.
Berdasarkan Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, di website banten.bps.go.id, jumlah penduduk miskin di Banten pada Maret 2013 mencapai 626.243 orang (5,74 persen), naik dibandingkan dengan September 2012 sebesar 648.254 orang (5,71 persen).
Sejak era kolonial, kemiskinan dan kesulitan seakan enggan pergi dari rakyat Banten. Pada era kolonial Belanda, rakyat Banten kerap disiksa untuk menuruti kemauan negeri kapitalis itu.
Selain menderita akibat sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial, rakyat Banten yang kala itu mayoritas berprofesi sebagai petani menderita dengan tingginya pajak yang dibebankan oleh pemerintah kolonial.
Belanda melalui penguasa pribumi yang menjadi kaki tangannya saat itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Jika rakyat tak mampu membayar pajak, mereka tak segan mengambil paksa harta rakyat.
Hal itu kemudian memicu sejumlah pemberontakan di Banten. Beberapa di antaranya adalah pemberontakan 1888 yang dilakukan para petani bersama pendekar dan ulama serta pemberontakan PKI pada 1926.
Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada 1942 tak berarti pada berakhirnya penderitaan rakyat Banten. Jepang yang kala itu tengah perang dengan pihak sekutu membutuhkan banyak makanan untuk serdadunya dan bahan bakar untuk armada perangnya. Saat itu, Jepang ingin Jawa mandiri memenuhi kebutuhan batu bara untuk kereta lokomotif.
Sebab, kebutuhan batu bara untuk Jawa dipasok dari Kalimantan dan Sumatera. Sementara, kapal-kapal yang bertugas mengangkut banyak digunakan untuk kepentingan perang Jepang kala itu.
Jepang yang mendapat laporan soal cadangan batu bara di Bayah, Banten, langsung melakukan ekspansinya. Untuk mengangkut batu bara tersebut, Jepang membangun jalur kereta api dari Saketi hingga Bayah. Pembangunan rel kereta dimulai pada 1943 dan dikerjakan oleh para pekerja paksa (romusha).
Dikutip dari buku 'Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, Karya Harry A Poeze, pada tahun yang sama, Juni 1943, Ibrahim Datuk Tan Malaka pindah dari Jakarta ke Bayah, Banten. Di tempat itu, Tan Malaka yang menyamar dengan menggunakan nama Ilyas Hussein bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha.
Tan hijrah ke Bayah, karena mata-mata Jepang saat itu mulai mencurigai kegiatan Tan Malaka di Jakarta. Selain itu, kondisi keuangan Tan yang makin menipis membuatnya harus bekerja.
Sambil bekerja, Tan memberi pendidikan kepada para romusha. Hatinya pedih melihat penderitaan rakyat yang dipaksa bekerja membangun rel kereta dengan upah tidak manusiawi. Bahkan konon kabarnya, upah romusha saat itu hanya cukup untuk membeli sebuah pisang.
Belum lagi jumlah romusha yang meninggal kala itu amat banyak. Kabarnya, jumlah romusha yang meninggal kala itu mencapai 94 ribu orang bahkan ada yang menyebut 100 ribu orang. Dalam buku 'Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara' Tan bahkan mengaku mendapat cerita soal asal usul nama Saketi yang berarti 100 ribu. Angka tersebut kabarnya mengacu pada banyaknya jumlah romusha yang tewas selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah.
Para romusha meninggal karena kelaparan, kerja yang begitu keras, penyakit kudis, malaria, disentri, serta tak adanya obat-obatan. Saat itu, Tan kerap membelikan makanan untuk romusha dengan upahnya sendiri. Dia juga kerap bersuara lantang agar upah para romusha dinaikkan. Namun, upayanya itu sia-sia belaka.
Dengan bantuan para pemuda, Tan juga mendirikan dapur umum untuk para romusha dan membangun rumah sakit. Di masyarakat, Tan menyalurkan kritiknya kepada Jepang atas penderitaan romusha melalui pertunjukan sandiwara. Dia juga mendirikan tim sepak bola.
Kegeraman Tan Malaka terhadap Jepang memuncak saat negeri fasis itu berencana mengurangi jatah makan bagi para romusha. Protes tersebut dilakukannya dengan cara berorasi di depan rakyat banyak. Upaya Tan berhasil. Jepang tak jadi mengurangi jatah makan para romusha.
Sikap kritis Tan Malaka itu kemudian memicu Kempetai (polisi Jepang) curiga. Kempetai lantas sempat mencari tahu identitas asli Tan Malaka yang kala itu menyamar sebagai Ilyas Hussein.
Kalahnya Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945 berakibat pada berhentinya penambangan batu bara di Bayah. Indonesia kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945. Sejak saat itu Tan Malaka lebih banyak tinggal di Jakarta.
Demikianlah kisah Tan Malaka dan romusha di Banten. Sungguh sosok yang pantas menjadi teladan tak seperti para pejabat korup yang hanya bisa mencuri uang rakyat untuk perutnya sendiri.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Polres Bantul memetakan jalur rawan kecelakaan dan bencana jelang persiapan menyambut arus mudik Lebaran 2024.
Baca SelengkapnyaPerbuatan tersangka dipicu sakit hati kepada warganya.
Baca SelengkapnyaBegini cerita awal pelabuhan Merak yng dipakai Belanda untuk meredam pemberontakan rakyat.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Mengetahui ada kegiatan di lokasi terlarang, polisi segera membubarkan kegiatan tersebut.
Baca SelengkapnyaSaat akan melintas di lokasi kejadian dan melihat beberapa orang berada di rel kereta api, masinis segera membunyikan suling lokomotif berulang-ulang agar orang
Baca SelengkapnyaMereka adalah kelompok rentan yang sering dimanfaatkan untuk mendulang suara. Ragam perjuangan mereka lakukan guna mendapatkan hak-haknya.
Baca SelengkapnyaDari hasil rekapitulasi jumlah kendaraan pada arus mudik dari Merak ke Bakauheni yang didata Polda Banten sebanyak 259.216 kendaraan bermotor.
Baca SelengkapnyaKejaksaan Agung menetapkan enam tersangka korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017-2023.
Baca SelengkapnyaPemerintah akan menutup 123 titik perlintasan sebidang antara jalan raya dan jalur kereta api pada 2024.
Baca Selengkapnya