Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Penyadapan KPK yang bikin gerah anggota DPR

Penyadapan KPK yang bikin gerah anggota DPR Gedung KPK. ©2014 merdeka.com/dwi narwoko

Merdeka.com - Bukan rahasia umum jika para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terusik dengan kewenangan penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, dalam sejumlah kasus korupsi terungkap dari penyadapan itu.

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menilai operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK selama ini ilegal. Hal itu karena Mahkamah Konstitusi bersidang lalu membatalkan pasal 31 Ayat D UU ITE tentang penyadapan.

Pertimbangannya karena penyadapan adalah pelanggaran HAM. Sehingga, penyadapan itu tidak boleh diatur dengan ketentuan yang di bawah UU. Payung hukum penyadapan ada dua yakni Perppu dan UU.

Pernyataan Fahri merespons OTT yang dilakukan KPK terhadap Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berinisial T, dua pengacara dan office boy.

"Kalau saya begini ya, saya menganggap semua OTT itu ilegal, mohon maaf ya," kata Fahri.

Dia bercerita, awalnya pasal 31 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memang mengatur penyadapan diatur melalui peraturan pemerintah (PP). Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring saat itu menyiapkan draf PP‎ dan dibawa ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Lantas, saat PP mau disahkan, banyak aktivis khawatir PP itu berbahaya karena bersifat mengikat. Dan bagi pelanggarnya bisa terjerat hukum. Setelah mendapat penolakan, pasal 31 itu digugat ke MK. Hasilnya, MK menganulir pasal tersebut dan tidak diperbolehkan diatur oleh aturan di bawah UU.

"Karena (PP) ada prosedur dan prosedurnya mau dibikin mengikat. Kalau dilanggar bisa kena hukum," jelasnya.

Untuk kondisi sekarang, Fahri mengira pemerintah bakal mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang pasca putusan MK tersebut. Namun, nyatanya pemerintah tak menerbitkan Perppu. Sehingga, dia menegaskan KPK tak lagi punya dasar melakukan penyadapan.

Dalam rapat dengar pendapat KPK dengan DPR pekan ini, Komisi III pun banyak mencecar terkait penyadapan yang dilakukan lembaga antirasuah itu. Wakil ketua KPK, Laode M Syarif pun menanggapi terkait penyadapan yang selalu dipermasalahkan.

Menurut dia, penyadapan adalah kewenangan yang berlaku di setiap instansi penegak hukum. Dia pun heran kenapa hanya penyadapan KPK yang disoal.

"Semua aparat penegak hukum punya kewenangan penyadapan. Polisi, Jaksa, KPK tapi memang saya kurang paham kenapa penyadapan di KPK ini dipermasalahkan?" tanya Laode.

Menurut dia, penyadapan tersebut sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, kata Laode, MK memerintahkan kepada pemerintah dan parlemen untuk membuat UU khusus yang mengatur penyadapan ini.

Kemudian, Laode juga mengatakan, pihaknya tetap ingin adanya kewenangan penyadapan dalam institusi KPK. "Apakah kami tetap ingin soal itu ya tetap ingin. Enggak ada di dunia ini satu itu tidak dilengkapi dengan kewenangan penyadapan," pungkas dia.

Laode juga mengatakan perkara korupsi yang terungkap dari hasil OTT hanya 10 persen. Menurutnya, kebanyakan kasus korupsi terungkap dari hasil pengembangan.

"Saya pikir kasus di KPK yang OTT 10 persen, kebanyakan pengembangan. Cuma pemberitaan media selalu lebih wah, bahkan selama ini kami divonis tak pernah melakukan pencegahan," kata Laode.

Laode menerangkan, KPK biasanya melakukan OTT terhadap kasus-kasus yang telah memiliki bukti dan informasi permulaan yang lengkap. Kemudian, kata Laode, KPK tidak selalu menggunakan cara-cara penyadapan dalam melakukan OTT.

"Tak semua OTT pakai penyadapan ada juga OTT tak pakai penyadapan, laporan tidak lengkap dari masyarakat kita tutup saja," tegas Laode.

Namun, Laode menerangkan, ada juga OTT yang hanya mengandalkan informasi yang akurat. Semisal, OTT terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius terkait suap proyek pengerjaan pengerukan pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.

"Kalau OTT enggak ada pilih-pilih, OTT ada peristiwa dan akurat. Misal hubla, OTT itu sebenarnya susah sekali. Tetapi kalau ada informan enggak ada pilih-pilih. Kami akurat ada keterangan kita lakukan," sambungnya.

Selain itu, Komisi III juga menanyakan soal mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Penyadapan menjadi senjata KPK sebelum melakukan OTT. Meski demikian, KPK membantah seluruh OTT dilakukan dengan penyadapan.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya tidak bisa sembarangan melakukan penyadapan. Penyadapan berawal dari usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Eksekutor penyadapan dilakukan di bawah kendali Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK.

Usulan itu kemudian disampaikan ke pimpinan KPK. Jika lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), operasi tersebut baru bisa dilakukan.

"Yang menyadap bukan Direktorat Penyelidikan, tetapi Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data (Inda) KPK," kata Agus.

Penyadapan itu juga diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. "Jadi, Direktorat PI yang selalu memeriksa lockbox penyadapan tadi," terangnya.

Menambahkan penjelasan Agus, Deputi Bidang Inda KPK Hary Budiarto menjelaskan lebih detil cara KPK melakukan penyadapan. Penyadapan melibatkan tiga kedeputian di KPK, yakni, Deputi Penindakan, Deputi Inda dan Deputi PIPM.

Deputi Penindakan bertindak sebagai user dan akan mengirimkan nomor target yang akan disadap. Lalu, Deputi Inda melakukan penyadapan. Sementara, Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.

Hary melanjutkan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan berarti kegiatan itu tidak diawasi.

"Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali," terangnya.

Bicara soal teknis, kaya Hary, nomor target yang disadap juga tentu tidak sembarangan dan harus terkait dengan kasus hukum tengah ditangani KPK. Sebab, mesin juga punya keterbatasan dimana nomor hanya bisa berada di dalam mesin selama 30 hari. Di luar itu, akan dicancel otomatis oleh mesin.

"Nomor yang disadap itu untuk 30 hari. Ketika 30 hari terlampaui maka mesin akan cancel dan nomor lain masuk. Jadi, seperti antrean," tandasnya.

Setelah penyadapan akan dibuat rangkuman. Tidak semua kata dari mesin sadapan diterjemahkan. Pasalnya, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan karena dianggap sebagai privasi pihak yang disadap.

Lebih lanjut, Hary menjelaskan soal surat izin penyadapan. Dia menyebut surat penyadapan hanya berlaku 30 hari pertama. Jika selama 30 hari pertama tidak ada hasil, untuk melakukan penyadapan berikutnya dengan nomor yang sama harus mendapatkan surat perintah yang ditandatangani lima komisioner.

"Jika tidak ada surat perintah penyadapan lagi, akan kami hentikan. Kalau mau diulang, harus diterbitkan sprindap baru," bebernya.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III Bambang Soesatyo menerangkan, jika mekanisme itu telah berjalan, maka semua pihak bisa tenang. "Benar tidak? Kalau ini berjalan benar, tenang kita," tutupnya.

(mdk/eko)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
MK: DPR Tak Boleh Lepas Tangan soal Masalah Pemilu, Harus Jalankan Fungsi Konstitusional seperti Hak Angket
MK: DPR Tak Boleh Lepas Tangan soal Masalah Pemilu, Harus Jalankan Fungsi Konstitusional seperti Hak Angket

MK: DPR Tak Boleh Lepas Tangan soal Masalah Pemilu, Harus Jalankan Fungsi Konstitusional seperti Hak Angket

Baca Selengkapnya
8 Anggota DPR RI Fraksi PKB Sudah Tanda Tangan Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024
8 Anggota DPR RI Fraksi PKB Sudah Tanda Tangan Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024

8 anggota DPR fraksi PKB yang menandatangani usulan hak angket kecurangan pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Ada Anggota KPPS Meninggal Dunia, KPU Lempar Bola ke DPR
Ada Anggota KPPS Meninggal Dunia, KPU Lempar Bola ke DPR

KPU sudah pernah mengusulkan untuk pengubahan metode perhitungan suara, namun ditolak DPR.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
PPP Tegaskan Siap Dukung Hak Angket Usut Dugaan Kecurangan Pemilu 2024
PPP Tegaskan Siap Dukung Hak Angket Usut Dugaan Kecurangan Pemilu 2024

Sikap tegas mendorong hak angket di DPR agar pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Febuari lalu dapat terang benderang.

Baca Selengkapnya
KPK Beberkan Baru 29,55 Persen Legislator yang Lapor LHKPN, 6 Menteri Jokowi Belum Setor
KPK Beberkan Baru 29,55 Persen Legislator yang Lapor LHKPN, 6 Menteri Jokowi Belum Setor

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis tingkat kepatuhan pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Tahun 2023

Baca Selengkapnya
JK Nilai Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Cegah Parlemen Jalanan
JK Nilai Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu 2024 Cegah Parlemen Jalanan

JK kembali mengajak pihak-pihak keberatan dengan hasil Pemilu 2024 menempuh jalur konstitusional.

Baca Selengkapnya
Akui Kepercayaan Terhadap KPK Kurang, Mahfud Ingin Kembalikan UU KPK Lama Jika Terpilih Jadi Wapres
Akui Kepercayaan Terhadap KPK Kurang, Mahfud Ingin Kembalikan UU KPK Lama Jika Terpilih Jadi Wapres

Mahfud menegaskan keberadaan lembaga antirasuah itu masih sangat dibutuhkan untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Baca Selengkapnya
Cak Imin Pastikan PKB Ikut Dorong Hak Angket Pemilu, Tanda Tangan dan Nama Kader Menyusul
Cak Imin Pastikan PKB Ikut Dorong Hak Angket Pemilu, Tanda Tangan dan Nama Kader Menyusul

Cak Imin memastikan partainya akan ikut mendukung hak angket kecurangan Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Demokrat: Hak Angket Tidak Tepat, Kalau ada Indikasi Kecurangan Ranah Gakkumdu
Demokrat: Hak Angket Tidak Tepat, Kalau ada Indikasi Kecurangan Ranah Gakkumdu

Demokrat: Hak Angket Tidak Tepat, Kalau ada Indikasi Kecurangan Ranah Gakkumdu

Baca Selengkapnya