Pasal penghinaan Presiden bukti demokrasi di Indonesia masih feodal
Merdeka.com - Pakar hukum Tata Negara, Margarito Kamis, menilai pasal penghinaan terhadap presiden membuat pemerintah menjadi otoriter. Indonesia yang sudah menjadi demokrasi juga menjadi feodalisme terhadap muncul kembali pasal penghinaan itu.
"Saya istilahkan pasal itu Filterisasi State, sudah demokrasi tapi feodalisme. Menurut saya ada kekeliruan konsep tata negara sebab presiden itu bukan simbol negara, simbol negara itu garuda, Bhineka Tunggal Ika dan bendera," kata Margarito di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (5/8).
Menurut dia, munculnya kembali pasal penghinaan itu lantaran ada upaya pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Media massa juga bisa dibungkam lantaran pasal penghinaan itu.
"Di Amerika tahun 1801 sudah hilang, namun di Indonesia dalam era sekarang ini dihidupkan kembali. Tapi juga tidak jelas apa yang dimaksud pasal itu, orang maksud ngomong apa dikira menghina, hina dimaksud orang belum tentu sama dengan orang lain," kata mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara ini.
Meski adanya pasal penghinaan itu, kata dia, Presiden Joko Widodo belum tentu tahu. Pasal penghinaan itu, kata dia bukan berasal dari niat pribadi Presiden Jokowi.
"Beliau itu (Presiden Jokowi) sudah biasa diejek dan dihina sejak menjabat Wali Kota Solo dan Gubernur DKI. Pasal ini lolos ke DPR karena pembantu Presiden tak memberikan informasi yang utuh kepada Jokowi," tukas dia.
Untuk diketahui, Pemerintah menyodorkan 786 Pasal RUU KUHP ke DPR untuk dimasukkan ke KUHP. Salah satu pasal adalah tentang penghinaan presiden. Pasal itu sebelumnya oleh pengacara Eggy Sudjana pada 2006 pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk di Judicial Riview. Dipimpin Ketua MK, Jimly, Judicial Review itu dikabulkan dan mencabut pasal itu karena dianggap tidak memiliki batasan yang jelas.
Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak kategori IV."
Adapun pada pasal 264 disebutkan tentang ruang lingkup penghinaan Presiden. Bunyi pasal itu adalah "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, akan dipidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden akhirnya buka suara terkait polemik pemberian bansos beras kemasan 10 kg di tahun politik.
Baca SelengkapnyaBahlil menegaskan pihak-pihak yang mengkritisi penyaluran bansos, dapat diartikan pihak tersebut tidak senang masyarakat menerima bantuan.
Baca SelengkapnyaWajar jika Presiden Jokowi akan mendapat peran penting di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Pihak Istana masih menunggu pembuktian atas tuduhan yang disampaikan persidangan.
Baca SelengkapnyaIstana menegaskan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi tak terganggu dengan munculnya wacana pemakzulan Jokowi.
Baca SelengkapnyaSejumlah kampus besar melakukan petisi hingga deklarasi menyelamatkan demokrasi dan mengkritik Presiden Jokowi.
Baca SelengkapnyaBahlil: Jokowi-Megawati Beda Pemikiran dengan Hasto, Masa Disamain sama yang Enggak Pernah jadi Presiden
Baca Selengkapnya