Ombudsman Beberkan Indikasi Komersialisasi Rapid Test Covid-19
Merdeka.com - Kewajiban melakukan rapid test atau tes cepat dalam melakukan sejumlah aktivitas masyarakat, berpotensi menciptakan komersialisasi atau bisnis pada fasilitas alat rapid test Covid-19.
Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty menilai, pelaksanaan rapid test saat ini memunculkan indikasi komersialisasi dalam penggunaannya yang semakin ke sini menjadi sebuah kebutuhan.
"Rapid test yang belakang terdapat indikasi komersialisasi. Dari mana, karena memang ini bisa jadi faktor hukum ekonomi yang bekerja. Awal barangnya langka dan jadi mahal," ujar Lely pada diskusi Radio Smart FM, Sabtu (4/7).
Kemudian, Lely menjelaskan beberapa contoh faktor potensi terjadi komersialisasi rapid test. Seperti hasil rapid test yang digunakan untuk surat bepergian menggunakan pesawat atau kapal. Kemudian sejumlah rumah sakit di Jakarta juga mensyaratkan orang yang akan berobat harus lolos rapid test dan rontgen paru.
"Maka saya kira, protokol ini saya kira ada yang berbeda dari protokol lain. Jadi penting adanya standarisasi layanan biaya, prosedur, protokolnya sampai SOP yang mengaturnya. Agar tidak mengikuti mekanisme pasar," sebutnya.
Selain itu, Lely menilai, standarisasi layanan rapid test Covid-19 baik dari segi biaya maupun regulasi harus dibuat Pemerintah. Agar bisa mengintervensi kondisi luar biasa seperti saat ini.
"Ya pemerintah negara harus hadir intervensi di sektor itu, terlebih ini sudah ekstraordinari ya," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Epidemologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, bahkan menilai rapid test sebaiknya dihentikan. Karena penggunaan rapid test bukan bagian dari penanggulangan Covid-19, melainkan untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang terinfeksi.
"Sehingga terjadi komersialisasi, memanfaatkan orang dan menggunakan sebagai syarat bepergian. Itu useless," tegas Pandu.
Dari semrawutnya pelaksanaan rapid test yang ada saat ini, Direktur Eksekutif IndoBarometer M Qodari ikut menanggapi bahwa perlunya ada payung hukum yang diterbitkan secara resmi dengan Undang-Undang tentang Kenormalan Baru.
"Iya memang transisi new normal ini betul-betul kacau harusnya dirumuskan dulu oleh Tim ahli, disimulasikan, dicoba pada sejumlah sektor. Tapi kan, konsep new normal yang muncul itu tanggal artinya keterbelakangan sekali,” sorot Qodari.
Akibatnya, lanjut Qodari, pada implementasinya memiliki beragam persepsi sehingga menimbulkan masalah-masalah baru yang berdampak pada masyarakat. Salah satunya dari rapid test ini.
"Tidak heran kalau ini jadi kacau, karena memang undang-undangnya belum ada. Sekarang ini cuman aturan berserakan antara Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan. Tetapi payung hukumnya belum ada," pungkasnya.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beras SPHP merupakan program pemerintah yang digulirkan melalui Perum Bulog sejak 2023 untuk menjaga stabilitas pasokan beras di pasaran.
Baca SelengkapnyaOmbudsman belum melakukan perhitungan nilai kerugian yang dialami masyarakat akibat maladministrasi dalam hal penggunaan lahan.
Baca SelengkapnyaPemerintah disarankan memperbanyak pasal tentang edukasi dan sosialisasi agar penguatan sistem kesehatan nasional dapat dilakukan.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Adapun bentuk maladministrasi terbanyak adalah penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut.
Baca SelengkapnyaTahanan digunduli guna pemeriksaan identitas, badan atau kondisi fisik dan menjaga atau memelihara kesehatan serta mengidentifikasi penyakit.
Baca SelengkapnyaKombes Pol Yade Setiawan Sukses raih Doktor dan Pertahankan Disertasi Penanganan Covid 19.
Baca SelengkapnyaBanyuwangi mendapatkan nilai 92,25 masuk dalam zona hijau (predikat kepatuhan tertinggi).
Baca SelengkapnyaTren kenaikan kasus mingguan Covid-19 nasional per 9 Desember 2023 dilaporkan menyentuh angka 554 kasus positif.
Baca SelengkapnyaAti mengaku kewajiban pembayaran cicilan KUR BRI Rp9 juta per bulan justru menjadi penambah semangat berjualan.
Baca Selengkapnya