Kongkalikong dan upaya amankan Miryam agar tak buka suara soal e-KTP
Merdeka.com - Sidang kasus dugaan korupsi KTP elektronik memunculkan fakta baru. Dari sidang yang menghadirkan Miryam S Haryani, jaksa memutar video pemeriksaan yang dilakukan penyidik Novel Baswedan dan Ambarita Damanik terhadap Miryam.
Dalam video itu Miryam menceritakan adanya pertemuan antara tujuh orang yang terdiri dari penyidik dan pegawai KPK dengan Komisi III DPR. Pertemuan itu diduga untuk 'mengamankan' Miryam sebagai saksi e-KTP. Novel bertanya kepada Miryam mengenai siapa penyidik yang dimaksud. Politisi Hanura itu mengaku tidak kenal, hanya saja dia menyodorkan secarik kertas. Ada satu nama yang diduga merupakan direktur.
"Siapa namanya?" Tanya Novel saat itu.
"Enggak kenal," jawab Miryam.
"Nih coba nih ini Pak," kata Miryam memberikan secarik kertas pada Novel.
"Hmm Pak Direktur," ucap Novel saat melihat kertas yang diberikan Miryam.
Penyidik atau pejabat KPK tersebut juga disebut meminta uang untuk mengamankan Politikus Hanura tersebut.
"Dia yang malu, tapi saya enggak ngomong. Pokoknya ini ya kamu bayar dulu tapi saya enggak ngomong," ungkap Miryam saat menirukan pernyataan tersebut.
"Mereka minta berapa Bu?" Tanya Novel.
"Rp 2 miliar Pak. Terus Mbak, saya enggak ngomong, saya enggak ngomong," ungkap Miryam menirukan pernyataan pejabat KPK itu.
Fakta lain menyebutkan adanya upaya dari sejumlah anggota Komisi III DPR agar Miryam tak membeberkan kasus korupsi e-KTP saat diperiksa penyidik KPK. Anggota Komisi III itu adalah Desmond J Mahesa, Aziz Syamsuddin, Syarifuddin Sudding, Bambang Soesatyo, Hasrul Azwar dan Masinton Pasaribu.
Miryam menceritakan kepada penyidik soal apa saja yang dibicarakan saat itu. "Ee..Desmond, Aziz yang ngomong (suara batuk)...(suara tidak jelas) gue panggil luh. Gue yang malu, Pak," katanya.
"Jangan pernah sebut partai, jangan pernah sebut orang. Ya saya biasa saja, Oh iya, oke ke ke." lanjut Miryam.
Miryam kerap bertemu dengan mereka. Apalagi, mereka juga anggota Badan Anggaran DPR. "Jadi gini 'Ini nih Haruna ini pengamanan, pengamanan' gitu to, ngomongnya begitu 'pengamanan pengamanan' buat apa lagi pengamanan?."
"Saya belum dipanggil ya pak, dipanggil aja, 'Pak silakan kan lu belum dipanggil aja 'Kan saya belum dipanggil' gitu gitu. 'gue ngasih tau dan nanti ni ya, sampai diajarin Pak, 'Nanti Miryam, ruangannya kecil, yang nyidik nanyanya bolak-balik, terus pasti ditinggal. Trus pas itu nanti ditanya bolak-balik, gitu. Pokoknya apa yang ditanya jangan ngaku salah, jangan ngaku'."
Namun, Miryam mengakui kalau itu sulit karena merupakan mitra kerja. "Kenapa Giarto ke rumah? Ee misalnya Pak Giantro ketemu di mana, dipanggilnya ke di mana gitu," lanjut Miryam menceritakan saat bersama Desmond cs.
"Jangan jangan gitu. 'Ada titipan? 'Nggak ada titipan pokoknya, pokoknya di ujung pembicaraan tidak ada yang ngaku."
Kepada penyidik, Miryam pun mengakui kalau ternyata Komisi III ulahnya demikian. "Dia laur biasa Pak, Komisi tiga kok saya jadi waduh kacau ini mah. Luar biasa komisi tiga, gila. Cuma ama lu (penyidik KPK) gw kasih tahu kayak gini. Dipanggil bener, bener minggu lalu," ungkapnya.
Sidang yang menghadirkan Andi Narogong juga mengungkap fakta yang menyinggung keterlibatan Setya Novanto dalam pusaran kasus korupsi e-KTP. Uang sebesar USD 3.300.000 digelontorkan Andi Narogong untuk Badan Anggaran DPR. Uang itu sebagai tindak lanjut pertemuan Andi Narogong dengan Setya Novanto.
"Kemudian di ruang kerja Setya Novanto di DPR RI terdakwa mengalokasikan uang USD 3.300.000 untuk badan anggaran," ujar jaksa KPK Irene Putri saat membacakan surat dakwaan milik Andi di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (14/8).
Sebelum menyerahkan dana tersebut, Andi menemui Setya Novanto di ruang kerjanya bersama Irman, mantan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri sekaligus terdakwa terhadap kasus yang sama. Kedatangan keduanya sebagai bentuk penegasan Andi kepada Irman mengenai pembahasan proyek e-KTP tersebut.
"Ini sedang kita koordinasikan perkembangannya silakan nanti ke Andi," ujar jaksa saat menirukan pernyataan Setya saat ditemui Andi dan Irman.
Dari sidang itu terungkap, 51 persen atau senilai Rp 2.662.000.000.000 dari nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun akan dipergunakan untuk belanja modal atau belanja riil pembiayaan proyek. Sedangkan sisanya sebesar 49 persen atau senilai Rp 2.558.000.000.000 dibagi-bagi. Rinciannya, 7 Persen atau senilai Rp 365.400.000.000 untuk Kementerian Dalam Negeri; 5 persen atau senilai Rp 261.000.000.000 untuk Komisi II DPR; 11 persen atau senilai Rp 574.200.000.000 untuk Andi Narogong dan Setya Novanto; 11 persen atau senilai Rp 574.200.000.000 untuk Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin; serta 15 persen atau senilai Rp 783.000.000.000 dibagi untuk rekanan pelaksana proyek.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komisi III DPR Minta Kejagung Tak Tutup Ada Tersangka Lain di Korupsi Kereta Besitang-Langsa
Modusnya, para pelaku melakukan korupsi dengan sengaja memecah proyek
Baca SelengkapnyaJelang Pencoblosan, Anies Berharap Tidak Ada Lagi Pelanggaran Etik
DKPP menyatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari melanggar etik.
Baca SelengkapnyaDipanggil Terkait Kasus Korupsi Eks Mentan SYL, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Tak Penuhi Panggilan KPK
Arief Prasetyo meminta penjadwalan ulang. Ali menjamin, KPK akan menginformasikan jadwal pemeriksaan berikutnya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Komisi III DPR Ingin Dugaan Korupsi di Antam Jadi Momen 'Bersih-bersih' BUMN
Korupsi yang diduga dilakukan Budi Said di Antam ditaksir mencapai Rp1,1 triliun
Baca SelengkapnyaKPK Soal Hakim Gugurkan Status Tersangka Eddy Hiariej dengan KUHAP: 20 Tahun SOP Digunakan Tidak Ada Persoalan
Penetapan Eddy Hiariej sebagai tersangka oleh KPK dinyatakan gugur setelah praperadilan guru besar Ilmu Hukum Pidana itu dikabulkan Pengadilan Negeri Jaksel.
Baca SelengkapnyaKomisi II: Putusan DKPP soal Etik Ketua KPU Mirip MKMK, Tuai Perdebatan Publik
Ketua KPU terbukti melanggar etika saat menerima pendaftaran pencalonan Gibran Rakabuming Raka
Baca SelengkapnyaVIDEO: DKPP Putuskan Ketua KPU Langgar Etik, TKN Tegaskan Pendaftaran Gibran Tetap Sah
Menurut Habiburokhman, putusan DKPP tidak bersifat final.
Baca SelengkapnyaTak Proses Dua Pengaduan Pelanggaran Pemilu, Komisioner Bawaslu Dilaporkan Tim Hukum Timnas AMIN ke DKPP
Kedua pengaduan itu telah dilaporkan ke Bawaslu RI pada 19 Februari 2024 dan dibalas pada 22 Februari 2024, dengan status laporan tidak memenuhi syarat materil.
Baca SelengkapnyaPKS soal Putusan DKPP: Rakyat Tentu Tidak Ingin Orang yang Dipilih Bermasalah Etika
Dia meminta harus bisa dihentikan dan tidak menjadi tren.
Baca Selengkapnya