Jejak Militer Belanda di Negeri Sultan Siak
Peninggalan Belanda itu berupa bangunan militer yang berdiri sejak abad ke 18.
Peninggalan Belanda itu berupa bangunan militer yang berdiri sejak abad ke 18
Jejak Militer Belanda di Negeri Sultan Siak
Desir air sungai menghempas kesunyian di lorong bangunan lawas. Angin berhembus pelan mengusir teriknya mentari katulistiwa, menambah gairah pengunjung Tangsi Belanda.
Aroma sejarah begitu kental tercium di Tangsi Belanda, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Meski telah dipoles menjadi begitu rupawan, tak meninggalkan rekam histori yang panjang.
Kompleks bangunan yang telah selesai dipugar Kementerian Pekerjaan Umum tersebut berlokasi di pinggir sungai Siak.
Bangunan yang megah di zamannya tersebut telah berdiri sejak tiga abad silam atau tepat pada abad ke 18, atau pada masa Sultan Siak ke-9, Sultan Asy-Syaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin. Sultan yang berkuasa sejak tahun 1827-1864, peninggalannya menjadi cagar budaya.
Dalam kompleks tangsi atau benteng itu terdapat enam unit bangunan yang membentuk formasi melingkar dengan halaman di bagian dalam yang memiliki beragam fungsi seperti sebagai penjara, asrama, kantor, gudang senjata, dan logistik.
Tangsi Belanda ini didirikan setelah pembangunan Istana Siak.
Markas Belanda itu juga berfungsi untuk memata-matai pergerakan Sultan Siak yang ada di seberang sungai. Memang, posisi Istana Siak tempat Sultan menjalankan pemerintahannya itu berada di seberang sungai dari tangsi.
Saat itu, Belanda takut kalau sewaktu-waktu sultan melakukan penyerangan mendadak. Menurut cerita, Belanda membuat benteng ini sebagai tempat berlindung dan pertahanan mereka, sekaligus penjara untuk penduduk pribumi yang dianggap memberontak.
Kadis Pekerjaan Umum Tarukim Pemkab Siak Irving Kahar menyebutkan bangunan Tangsi Belanda telah direvitalisasi. Itu dilakukan Kementerian PUPR dengan melibatkan Tim Arkeolog dan Tim Ahli Cagar Budaya dalam hal pengkajian.
Mereka menggunakan metode teknologi mutakhir untuk mengetahui struktur asli bangunan. Teknologi arsitektural pada pondasi tangsi ternyata sangat mendekati bangunan kolonial di negara asalnya, Eropa. “Asumsi kita struktur pondasi seperti ini diaplikasikan pada kondisi air tanah yang tinggi dan pada struktur tanah gambut. Bentuk pondasi yang sempat diasumsikan masyarakat sebagai terowongan rahasia ini menjadi salah satu keistimewaan Tangsi Belanda. Bentuknya fungsional dan sangat identik dengan bangunan kolonial yang ada di Eropa,” ujar Irving.
Ada lima bangunan yang berdiri di kompleks itu. Bangunan I yang berada di sebelah timur merupakan bangunan 2 lantai, berukuran panjang 18 meter dan lebar 9,6 meter.
Untuk lantai bawah, terdiri dari bangunan sayap utara yang berfungsi sebagai ruang jaga, kantor dan ruang tahanan. Lalu bangunan sayap selatan terdapat empat ruangan yang dahulu pernah digunakan sebagai kamar mayat dan rumah sakit.
Sedangkan bangunan II dan bangunan III berada di belakang, terdiri dari dua lantai yang sama bentuknya dan berukuran 155 x 11 meter. Lantai bawah dahulu pernah difungsikan sebagai kantor, lantai atas sebagai asrama dan tempat tinggal tentara Belanda.
Bergeser ke sebelah ujung selatan halaman dalam, terdapat sisa-sisa bangunan IV. Di sebelah utara bangunan utama terdapat bangunan bekas gudang senjata (bangunan V) berukuran 6,7 x 6 meter. Kemudian di ujung barat halaman, juga terdapat sisa bangunan WC dan kamar mandi berukuran 6 meter persegi yang terdiri dari 3 ruangan. Uniknya, struktur pondasi bangunan tangsi, yang berbentuk setengah lingkaran dengan peletakan tiga sendi. "Keunikan lain ada pada tata letak bangunan menghadap sungai dan menerapkan konsep waterfront city, yang memungkinkan Belanda pada waktu itu mengintai kapal yang masuk dari muara Sungai Siak," kata Irving.Pada Tahun 2018 lalu, Kementerian PUPR melaksanakan proyek revitalisasi senilai Rp 5,2 Miliar pada Gedung A dan Gedung F, yang berada paling depan dan belakang kompleks tangsi.
Gedung F yang paling belakang itu dahulu dijadikan tempat makan para tentara. Sebenarnya bangunan itu ada dua, namun yang sudah dibangun Kementerian PUPR satu unit gedung yang berada paling belakang. Karena berdasarkan hasil identifikasi tim ahli, strukturnya dinyatakan lebih lengkap.
Sementara bangunan kedua hanya tersisa tapak pondasinya saja. Akhirnya pemerintah mengemas sebagai objek tapak situs untuk menceritakan bahwa dahulu pernah ada bangunan yang identik dengan bangunan di sebelahnya. Bahkan menggunakan modifikasi pencahayaan untuk menambah nilai estetika.
Kompleks Tangsi Belanda ini juga sangat cocok dijadikan lokasi studi seni arsitektur bangunan kolonial abad 19, khususnya bagi mahasiswa teknik sipil. Pemkab Siak berharap aset kompleks tangsi bisa tetap lestari melalui peran suatu badan pengelola situs cagar budaya yang ada di kota pusaka.
"Supaya kita tak hanya mendapatkan nilai tambah magnet pariwisata, namun situsnya tetap terjaga dan bisa diwariskan untuk generasi masa depan,” ucap Irving. Kontributor: Abdullah Sani