Hakim pertanyakan apakah uji materi UU DKI terkait Jokowi
Merdeka.com - Uji materi terkait syarat pelaksanaan putaran kedua Pilgub DKI tidak semulus yang dibayangkan. Hakim Konstitusi Harjono mempertanyakan kedudukan hukum pemohon uji materi pasal 11 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI).
Hal ini ditanyakan Harjono karena pemohon tidak jelas menyebutkan posisinya terkait permohonan pasal Pilgub DKI, apakah berada di pihak Jokowi-Ahok atau di luar pasangan tertentu.
"Apakah Anda terkait Jokowi-Ahok, atau tutup mata dengan pasangan Pilkada DKI mana pun?" ujar Hakim Harjono dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (20/7).
Pemohon mendalilkan Pilgub DKI dengan perolehan 50 persen suara telah melanggar hak konstitusionalnya. Tetapi, pemohon tidak memberikan bukti terkait dalil itu.
"Saudara harus membuat pembuktian bahwa pelaksanaan Pilkada DKI dengan perolehan suara harus 50 persen untuk satu putaran merugikan hak konstitusional saudara," kata Harjono.
Selain itu, Harjono juga mengingatkan, dasar pemohon dalam mengajukan permohonan untuk menghapuskan Pilkada DKI putaran kedua keliru. Ini karena pemohon mendasarkan pelaksanaan putaran kedua DKI dari hasil perhitungan cepat (quick count).
"Putaran kedua itu dasarnya rekapitulasi, bukan quick count," ucap dia.
Terkait pokok permohonan, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva turut menanyakan alasan pengujian yang diajukan pemohon.
"Apakah persoalannya hanya karena tidak sinkron dengan daerah lain sehingga bertentangan dengan UUD 1945? Padahal, banyak norma dalam UU DKI yang tidak sesuai dengan daerah lain. Kenapa perbedaan yang lain tidak saudara uji juga?" tanya Hamdan.
Iwan Prahara, kuasa hukum pemohon, mengatakan pihaknya akan memperbaiki permohonannya. "Permohonan ini kami buat satu hari setelah perhitungan suara, jadi belum maksimal," ujarnya.
Permohonan uji materi Pasal 11 ayat (2) UU Pemprov DKI diajukan oleh tiga orang warga DKI yakni Abdul Havid Permana, Mohammad Huda dan Satrio Fauzia Damardjati. Ketiganya mendalilkan, KPU DKI telah dengan sengaja menggunakan aturan yang saling tumpang tindih dalam pelaksanaan Pilkada DKI.
Tumpang tindih yang dimaksudkan pemohon adalah penggunaan pasal tersebut, yang menyebutkan Pilkada DKI berjalan satu putaran apabila terdapat satu pasangan calon yang memperoleh suara sebanyak 50 persen ditambah 1. Menurut mereka, seharusnya KPU DKI menggunakan ketentuan yang termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan Pilkada berjalan satu putaran apabila ada salah satu pasangan calon memperoleh suara sebesar 30 persen ditambah 1.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok menyebut, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa kerja.
Baca Selengkapnya"Kita tahu beliau dulu Panglima (TNI), saya kira untuk mengatasi hal yang berkaitan politik, hukum, dan keamanan sangat siap," kata Jokowi
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Ahok ragu nantinya Prabowo akan melanjutkan program Jokowi.
Baca Selengkapnyahakim semula hendak memanggil Jokowi untuk meminta keterangan. Namun, dibatalkan demi menghargai kepala negara.
Baca SelengkapnyaIa menduga, wacana pemakzulan mungkin adalah taktik pengalihan isu atau refleksi kekhawatiran pendukung calon lain akan kekalahan.
Baca SelengkapnyaKetua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menanggapi kabar Presiden Joko Widodo (Jokowi) diusulkan memimpin koalisi besar Prabowo-Gibran.
Baca SelengkapnyaBasuki Tjahja Purnama alias Ahok meluruskan dirinya bukanlah orang yang menolak pembangunan IKN yang telah dicanangkan Presiden Jokowi.
Baca Selengkapnya