Deretan Kasus Peretasan Hacker Bikin Heboh Indonesia, Para Politisi Ini Pernah jadi Sasaran
Serangan hacker Indonesia ke situs-situs pemerintahan Israel sedang jadi perbincangan.
Aksi para hacker membuat aparat siber Indonesia bekerja keras memulihkan data-data yang diretas.
Deretan Kasus Peretasan Hacker Bikin Heboh Indonesia, Para Politisi Ini Pernah jadi Sasaran
Serangan hacker Indonesia ke situs-situs pemerintahan Israel sedang jadi perbincangan. Para hacker melancarkan serangan siber sebagai bentuk dukungan kepada Palestina.
Ternyata serangan siber ke Israel itu melibatkan aksi hacker Indonesia yang dikenal dengan nama VulzSecTeam. Mereka mengklaim telah membobol data kementerian pendidikan, kesehatan dan luar negeri Israel.
Selain menyasar Israel, kasus-kasus peretasan para hacker pernah menggemparkan Indonesia. Situs-situs pemerintah Indonesia beberapa kali dibobol hacker. Data-data pemerintah dipublikasikan ke publik.
Hacker yang baru-baru ini menghebohkan jagat dunia maya Indonesia adalah Bjorka. Aksi para hacker membuat aparat siber Indonesia bekerja keras memulihkan data-data yang diretas.
Berikut kasus-kasus hacker bikin heboh yang ditangani Polri:
1. Kasus Surabaya Black Hat
Pada tahun 2018 yang lalu, Surabaya dihebohkan dengan kasus sekelompok hacker yang dinamakan Surabaya Black Hat (SBH). Mereka mampu meretas 3.000 sistem elektronik dan 600 website yang berada di 44 negara (sebelumnya ditulis 40 negara).
Kasus itu diungkap oleh Polda Metro Jaya bersama dengan Polrestabes Surabaya dan Federal Bureau of Investigation (FBI). Mereka membongkar sindikat hacker internasional. Tiga pelaku yang dibekuk, ATP, NA dan KPS yang merupakan warga Surabaya ini terbilang mempunyai kemampuan yang mumpuni di bidang sistem informasi.
Kabid Humas Polda Metro Jaya saat itu Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan pelaku memulai aksinya di tahun 2017. Dalam selama satu tahun, mereka mampu mengantongi keuntungan hingga Rp200 juta.
Saat itu, Argo menjelaskan, apabila situs korban sudah diretas, para pelaku meminta uang secara bervariasi. Kebanyakan, kata Argo, uang tebusan itu dipatok berkisar dari Rp15 juta hingga Rp25 juta persatu website.
Diketahui, pelaku masih berusia 21 tahun dan berstatus mahasiswa aktif jurusan Informasi Teknologi (IT) di salah satu kampus di Surabaya.
Ketiga tersangka yang ditangkap dikenakan Pasal 29 ayat 2 Juncto Pasal 45 B, Pasal 30 Juncto Pasal 46, Pasal 32 Juncto Pasal 48 Undang Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Para pemuda ini terancam hukuman pidana 12 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 2 miliar.
2. Kasus Hacker Peretas 1.300 Akun Lembaga Pemerintah
Di tahun 2020, Bareskrim Siber Polri menangkap hacker pelaku peretasan 1.300 lebih akun lembaga pemerintah yang telah beraksi sejak 2014 lalu. Tiga laporan polisi pun tercatat di Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Bareskrim Polri dan Polda Jawa Barat.
Bareskrim Polri mengungkap, pelaku menjalankan aksinya dengan memasukan malware ke ribuan akun tersebut, yang kemudian diikuti tuntutan uang tebusan. Jika tidak dipenuhi, maka pemilik akun akan kehilangan akses pengelolaannya.
"Tersangka mengakui telah melakukan hack di akun pemerintah, akun swasta, juga akun jurnal-jurnal. Itu ada 1309 akun yang dihack," katanya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (7/7) seperti dilihat merdeka.com (27/11).
Pelaku juga dengan sengaja mengubah tampilan akun yang diretas sebagai bentuk bukti dan ancaman. Di setiap aksinya, pelaku menerima tebusan sekitar Rp2 juta hingga Rp5 juta.
Di samping itu, akun yang berhasil diretas antara lain situs Badilum milik Mahkamah Agung (MA), situs Pengadilan Negeri Sleman, situs AMIK Indramayu, situs polri.go.id, situs Dumasan Polda DIY, situs Pemprov Jateng, dan situs UNAIR.
3. Kasus Pembobol Website Pedulilindungi
Pada saat 2021 saat pandemi COVID-19, Polda Metro Jaya berhasil meringkus dua tersangka berinisial FH dan HH yang terlibat dalam kasus ilegal akses pencurian data aplikasi dengan membobol data website pedulilindungi.
Kapolda Metro Jaya saat itu, Irjen Pol Fadil Imran menyebut jika kedua pelaku turut memanfaatkan situasi masyarakat yang saat ini sedang membutuhkan surat sertifikat vaksin sebagai persyaratan untuk berbagai aktivitas.
Data tersebut digunakan untuk membuat surat sertifikat vaksin palsu. Adapun identitas pelaku pertama yang menawarkan sertifikat vaksin palsu adalah FH (24) seorang karyawan swasta pemilik akun Facebook dengan nama Tri Putra Heru yang menjajakan layanan kartu vaksin.
FH membeberkan tindak kriminalnya itu dengan cara memberikan datanya ke HH (30) seorang staf pada Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara untuk mengambil data nomor induk kependudukan (NIK) melalui data BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) yang terkoneksi dengan data website pedulilindungi.
Alhasil setelah mendapatkan NIK, HH, bisa langsung mencetak sertifikat vaksin tanpa melalui prosedur penyuntikan vaksin sebelumnya, hingga akhirnya mendapatkan sertifikat secara resmi.
Dari hasil kejahatannya, terungkap jika HH bersama FH telah menjual sebanyak 93 sertifikat vaksin yang terhubung dengan website aplikasi pedulilindungi. Setiap sertifikat dihargai Rp350 ribu hingga Rp500 ribu.
4. Kasus Bjorka
Sepanjang tahun 2022, hacker dengan nama Bjorka berhasil meretas tiga jenis data rahasia. Di antaranya, data 1,3 miliar pengguna SIM card, 150 juta data penduduk Indonesia, dan surat rahasia Badan Intelijen Negara (BIN) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Politisi jadi Sasaran Bjorka
Yang terbaru, Bjorka telah membobol identitas pribadi eks menteri kominfo Jhonny G Plate, data Puan Maharani, Erick Thohir, dan Denny Siregar. Bjorka mengklaim berhasil membongkar seseorang dalang di balik pembunuhan aktivis Munir Said.
Bjorka membuat gempar masyarakat atas kelakuannya. Dimana, Bjorka diduga menjual sebanyak 150 juta data pribadi penduduk Indonesia.
Selain organ pemerintahan dan pribadi, Bjorka juga menyerang instansi perusahaan milik negara. Bjorka pernah mengancam untuk membobol data situs MyPertamina.
5. Kasus WNI Bobol Kartu Kredit Warga Jepang
Kasus terbaru di bulan Agustus 2023, polisi membongkar kasus peretasan kartu kredit untuk pembayaran secara elektronik di Jepang. Polisi menangkap dua pelaku berinisial DK dan SB, Warga Negara Indonesia (WNI).
Direktur Tipidsiber Bareskrim Polri Brigjen Adi Vivid Agustiadi Bachtiar mengatakan, pelaku DK merupakan otak dari peretasan tersebut. DK yang berada di Indonesia berperan mengendalikan tersangka SB di Jepang.
Kedua pelaku beraksi dengan membeli akses peretasan di 16shop sekitar Rp700 ribu. SB dan DK diketahui merupakan rekan sesama disjoki waktu berada di Bali. Namun, untuk profesi SB saat ini juru masak di Jepang. Penangkapan kedua tersangka kerja sama polisi Indonesia dan Jepang. Polisi lebih dulu menangkap SB di Jepang.
"Setelah SB menerima barang elektronik, kemudian dilakukan penjualan. Setelah penjualan, kalau enggak salah total dari Rp1,6 miliar itu Rp1 miliar dikirim ke DK, sementara SB sekitar Rp600 juta. Kemudian DK dipakai keperluan sehari-hari," ungkap Adi.